Oleh: Ace Somantri, Dosen UM Bandung
BANDUNGMU.COM, Bandung — Jalan panjang yang terjal, penuh liku, menelusuri jalannya roda organisasi yang sudah malang melintang di waktu yang sangat panjang hingga makan garam. Generasi ke generasi silih berganti. Mulai dari KH Ahmad Dahlan hingga kini KH Haedar Nashir tetap berdiri tegak.
Gelombang pasang dinamika organisasi pun senantiasa menerpa bak badai laut yang rutin menggoyangkan samudera lautan luas. Suka dan duka para pimpinan Muhammadiyah dari tingkat ranting hingga pusat dilalui penuh khidmat.
Sekalipun banyak tanya dan heran, manakala masih terjadi penampakan sikap dan perilaku di antara sahabat handai tolan penggerak persyarikatan hanya sekedar ada dalam catatan surat keputusan struktural saja. Sementara itu fungsi dan kinerjanya belum maksimal. Apalagi optimal.
Dalam pembukaan AD/ART Muhammadiyah sangat jelas tentang maksud dan tujuan Muhammadiyah yang sangat hebat nan mulia. Sering terungkap dalam berbagai pengkaderan, menegakkan ajaran Islam dan mewujudkan masyarakat utama yang sebenar-benarnya. Semua warga Muhammadiyah sangat perlu memahami visi besar persyarikatan.
Bermacam ragam konsep dan rumusan bersyarikat yang baik sesuai dengan tuntunan yang disepakati. Baik khittah dan kepribadian Muhammadiyah, buku tarjih sebagai rujukan nash ta’abudi Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), Pedoman Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), maupun kaidah-kaidah lainnya yang dijadikan rujukan kader dan anggota Muhammadiyah untuk berkhidmat meraih rida-Nya.
Sekian banyak rumusan yang dibuat dan disepakati, tetapi belum semua warga Muhammadiyah melaksanakannya. Banyak yang tidak mengindahkan kaidah atau rumusan tersebut. Hal itu terjadi banyak dilihat oleh anggota yang lain, bahkan sempat beberapa kali terlontar pertanyaan, “Kenapa dia tidak memberikan teladan seperti yang tercantum dalan PHIWM, padahal dia pimpinan?”
Ada juga yang bertanya apakah ketika pimpinan Muhammadiyah melanggar kaidah ada sanksinya? Kenapa memberikan sanksi hanya kepada pegawai Muhammadiyah, sedangkan ketika ada salah satu pimpinan melanggar cenderung dibiarkan? Kenapa itu semua terjadi, padahal organisasi Islam ini didirikan dan dipelihara penuh dedikasi yang sangat baik dari para pejuang persyarikatan.
Memang tidak mudah menjalankan kaidah. Namun, bukan tidak bisa manakala ada komitmen agar proses dinamisasi pergerakan meningkatkan mutu atau kualitas kinerja.
Pun ketika saatnya regenerasi pimpinan persyarikatan maupun pimpinan amal usaha tidak mengalami stagnasi. Apabila terjadi ketersumbatan dan statgnasi kepemimpinan, tanpa terasa dalam waktu tertentu tiba-tiba muncul dampak buruk yang datang pada institusi persyarikatan.
Delapan indikator
Jangan hanya mengklaim berkamajuan. Namun, fakta dan data hanya terlihat simbol dan kemasan maju. Jangan biarkan isi dan substansinya keropos dan sangat minim nilai. Sederhana saja, alat ukur dan indikatornya mudah.
Pertama, produktivitas program kegiatan hanya seremonial semata yang cenderung menghamburkan anggaran pembiayaan. Kedua, dampak terhadap peningkatan gerak laju persyarikatan terjadi pelemahan tidak ubahnya “wujuduhu kaadamihi” di akar rumput paling bawah.
Ketiga, kualitas amal usaha tidak mengalami kemajuan, yang ada selalu minus tidak mensejahterakan. Keempat, nilai positioning sosial politik di pemerintahan dan publik dibawah standar.
Kelima, tergerusnya militansi kader lebih berorientasi pada oragmatisme politik sesaat. Keenam, mengalami kesulitan meregenerasi kader pimpinan yang unggul. Ketujuh, mengalami kesulitan akselerasi pendanaan organisasi. Kedelapan, organisasi hanya menjadi simbol eksistensi status individu seseorang bahwa dirinya sebagai aktifis ormas Islam.
Beberapa indikator tersebut tidak menjadi ukuran mutlak. Namun, dapat menjadi renungan bersama bahwa kemajuan dan kemunduran ada pada kader dan anggota persyarikatan.
Bahwa untuk mengukur kemajuan harus ada kesepakatan bersama sebuah kualitas dan kuantitas ketercapaian tujuan, baik laju pertumbuhan kader dan anggota militan hingga geliat dakwah amar makruf nayi munkar dapat dirasakan oleh masyarakat Islam.
Jadi, peran kolektif kolegia bukan hanya sistem yang dianut dan berhenti hanya sekedar selogan. Faktnya terindikasi lebih dominan dengan superioritas dan intervensi pucuk pimpinan sehingga atmosfer kepemimpinan kolektif kolegia sebatas tameng untuk menjadi alat melegitimasi.
Kaidah-kaidah yang dibuat persyarikatan untuk ditaati, bukan untuk menjadi alat legitimasi dan memukul kader yang dianggap bersebarangan dengan status quo anti-perubahan. Di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang, dan ranting ada beberapa data yang menunjukkan rangkap jabatan politis, baik itu di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dengan alasan untuk melancarkan kebutuhan komunikasi dengan kekuasaan, baik untuk kepentingan taktis ataupun strategis dan alasan lain kerap kali muncul di level tertentu, tidak ada kader lain yang peduli akan persyarikatan.
Semoga dalil itu menjadi alasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya untuk memanfaatkan demi keuntungan pribadi sesaat. Hal itu sangat mungkin terjadi, manakala tidak ada yang selalu mengingatkan.
Kalaupun rangkap jabatan tidak melanggar secara konstitusional persyarikatan, sejauh mana komitmen kerja dan berkhidmat di persyarikatan apabila merangkap menjadi abdi negara yang juga harus menjalankan tugasnya.
Sangat yakin akan menjadi perioritas pekerjaan di pemerintah daripada pekerjaan di persyarikatan karena ada konsekuensi hukum yang mengikat. Beda ketika di persyarikatan, ketika tidak menjalankan program, itu hal yang lumrah karena tidak mendapatkan sanksi hukum, paling hanya dipertanggungjwabkan ketika musyawarah pergantian pengurus.
Bagi seseorang abdi negara yang berposisi pimpinan persyarikatan ada peluang untuk dijadikan momentum menjadikan positioning untuk kenaikan jabatan pribadinya dalam instansi tempat mengabdi.
Hal itu bukan tidak mustahil terjadi karena secara formal dan terbuka tidak terlihat dengan kasatmata, tetapi dalam kacamata politis sangat terasa auranya. Sah dan boleh saja bagi Muhammadiyah selama untuk kebaikan dan cepat lajunya dakwah persyarikatan. Namun, apabila sebaliknya, itu sangat menyakitkan dan memilukan pada tubuh persyarikatan.
Benar kata Busyro Muqoddas dalam muktamar di Solo bahwa bagi pimpinan pusat yang terpilih untuk memilih antara jabatan politis di pemerintahan dengan anggota pimpinan. Namun, sayang sekali ungkapan tersebut tidak direspons baik. Cenderung diabaikan.***