Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • KH Abdullah bin Nuh, Ulama Pejuang dari Cianjur

    Dec 27 202222 Dilihat

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Kaum ulama berperan besar dalam menegakkan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Sejak zaman penjajahan, mereka turut berjuang untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

    Sayangnya, tidak sedikit pemuka agama Islam yang seolah-olah terlupakan atau jarang disoroti kontribusinya. Salah seorang tokoh yang patut terekam dalam historiografi nasional adalah KH Abdullah bin Nuh.

    Dalam artikelnya yang berjudul “Mengenal Perjuangan KH Abdullah bin Nuh”, Reiza D Dienaputra mengatakan, nama ulama asal Cianjur, Jawa Barat, itu seperti tersisihkan di panggung sejarah.

    Popularitasnya mungkin tidak sepopuler ulama-ulama lain, semisal KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), HOS Tjokroaminoto (penggerak Sarekat Islam), atau Buya Hamka (alim-sastrawan Minangkabau).

    Padahal, Kiai Abdullah bin Nuh tidak hanya berkiprah di dunia dakwah atau pendidikan Islam. Ia bahkan turut membangun Tanah Air dalam bidang politik pergerakan. Pada era revolusi, namanya tercatat sebagai salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga yang menjadi cikal bakal DPR RI.

    Salah seorang inisiator Universitas Islam Indonesia (UII) itu lahir di Kampung Bojong Meron, Cianjur, pada 30 Juni 1905. Ayahnya adalah seorang ningrat lokal, Raden Haji Mohammad Nuh bin Idris. Adapun ibundanya bernama Nyi Raden Aisyah. Kakek dari garis ibunya adalah seorang wedana di Tasikmalaya.

    Tokoh yang akrab disapa Mama Abdullah itu tumbuh di tengah lingkungan yang religius. Kedua orang tuanya sangat mengutamakan pendidikan agama. Buah hati mereka pun dibesarkan dengan penuh kasih sayang sekaligus disiplin.

    Saat masih berusia anak-anak, Abdullah sempat dibawa ke luar negeri untuk bermukim di Makkah Al-Mukarramah. Selama dua tahun di Tanah Suci, ia tinggal dengan nenek dari garis ayahnya, Nyi Raden Kalipah Respati. Sebelum hijrah ke Arab, wanita itu menerima warisan dalam jumlah banyak dari almarhum suaminya. Alih-alih menghabiskan harta untuk urusan duniawi, Nyi Raden bercita-cita, yakni wafat di Masjidil Haram dalam kondisi beribadah.

    Untuk mewujudkan harapan itu, nenek Abdullah tersebut menetap di Makkah. Selama tinggal dengan neneknya, anak lelaki ini tetap menerapkan disiplin. Baginya, berada jauh dari kampung halaman adalah kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri.

    Sebelum bermukim di Makkah, Abdullah telah mengenyam pelbagai pendidikan agama. Mula-mula, dirinya menuntut ilmu di Madrasah Ianah yang didirikan ayahnya. Kemudian, ia meneruskan belajar di Madrasah Syamailul Huda, Pekalongan, Jawa Tengah.

    Dalam masa itulah, anak tersebut mulai mengasah kemampuannya dalam penguasaan bahasa Arab. Untuk menyokong dirinya, beberapa guru meminjamkan buku-buku sastra dan majalah berbahasa Arab kepadanya.

    Begitu lulus dari Syamailul Huda, Abdullah melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur. Salah seorang gurunya di sana adalah Sayyid Muhammad bin Hasyim. Sang guru tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga menempa dirinya agar memiliki mental kepemimpinan dan pendakwah. Kepiawaiannya dalam berpidato mulai terasah dari madrasah tersebut.

    Sayyid Muhammad mengusulkan kepadanya agar mengejar pendidikan tinggi ke Universitas Al-Azhar Kairo. Antara tahun 1926 dan 1928, Abdullah pun menempuh studi di Mesir. Dirinya berfokus pada kajian ilmu fikih di kampus tersebut.

    Seusai menyelesaikan studinya, ia kembali ke kampung halamannya. Tidak lama kemudian, Abdullah mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyi Raden Mariyah alias Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah. Gadis itu terbilang masih kerabat dekatnya.

    Kaji Al-Ghazali

    Sejak menikah, KH Abdullah bin Nuh bukan hanya aktif dalam kegiatan-kegiatan Cianjur, melainkan juga Bogor. Kedua daerah tersebut bisa dikatakan sebagai medan syiar Islam yang dilakukannya pada masa itu. Pada 1934, ia mulai terlibat dalam beberapa organisasi pendidikan, termasuk Madrasah Penolong Sekolah Agama (PSA) yang didirikan RH Manshur.

    Menurut Akhsan Ustadzi dalam artikelnya di laman Nahdlatul Ulama, gaya dakwah Kiai Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sosok Imam Al-Ghazali. Ulama tersebut sangat mendalami pemikiran tokoh yang berjuluk Hujjatul Islam itu. Begitu pula dengan spirit persaudaraan (ukhuwah) yang digelorakan cendekiawan dari abad ke-12 M tersebut.

    Kiai Abdullah berjasa antara lain dalam menerjemahkan banyak buku karya Al-Ghazali. Tentunya, salah satu garapannya adalah alih bahasa atas Ihya Ulum ad-Din, kitab monumental sang Hujjatul Islam. Adapun karya terjemahan lainnya atas legasi Al-Ghazali adalah Minhaj al- Abidin: Jalan Bagi Ahli Ibadah, Al-Munqiz Min al-Dalal: Pembebas dari Kesesatan, dan Penjernihan Bagi Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul.

    Di Bogor, ia mendirikan perguruan Islam yang dinamakannya Majelis Al-Ghazali. Di sana dirinya memimpin kajian rutin atas Ihya. Pengajian yang diadakan setiap sepekan sekali itu selalu dihadiri banyak jamaah, termasuk para yang ustaz dari Bogor dan daerah-daerah sekitar. Menurut Akhsan, ketertarikan Kiai Abdullah pada Al-Ghazali diwariskan dari ayahandanya. Kiai Muhammad Nuh diketahui sering menelaah gagasan-gagasan sang sufi.

    Kiai Abdullah tidak sekadar menerjemahkan karya-karya al-Ghazali. Ia lebih lanjut memaparkan pelbagai pemikiran sang Hujjatul Islam ke dalam bahasa lokal. Hal itu didukung penguasaannya yang brilian atas bahasa Arab.

    Kemampuannya dalam berbahasa Arab memang mengagumkan. Saat masih muda, sang kiai sudah mampu menggubah syair-syair Arab. Kitab Alfiyah karangan Ibnu Malik pun telah dihafalkannya dalam usia belia. Yang luar biasa, dirinya juga menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman secara autodidak.

    Mantan Menteri Agama RI Maftuh Basyuni menyebutkan kesaksian tentang mantan gurunya itu. Saat Maftuh menjadi mahasiswa Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, Kiai Abdullah adalah salah satu dosen setempat. Dalam mengoreksi hasil kerja para mahasiswa, sang kiai menurutnya bekerja dengan amat teliti.

    Di sepanjang hayatnya, Kiai Abdullah menghasilkan banyak karya, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Yang termasyhur di antaranya Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang dikerjakannya bersama dengan Oemar Bakry.

    Adapun buah penanya yang ditulis dalam bahasa Arab, antara lain, Al-Alam al-Islamy, Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram, La Taifiyata fi al-Islam, Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun Mu’allimu al-Arabi, dan Al-Lu’lu’ al-Manshur.

    Kemudian, karya-karyanya yang hadir dalam bahasa Indonesia adalah Cinta dan Bahagia, Zakat Modern, Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, dan Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten.

    Zaman Jepang

    Pada 1942, perubahan fundamental terjadi di Tanah Air. Rezim kolonial Belanda tunggang langgang akibat diserang bala tentara Jepang. Dalam waktu relatif cepat, Dai Nippon meneguhkan pemerintahan pendudukan di Indonesia.

    Mulanya, Jepang menerapkan politik cari simpati kepada orang-orang pribumi. Kaum Muslimin pun turut menjadi sasaran. Tidak sedikit tokoh alim ulama yang diajak bekerja sama dengan Nippon.

    Taktik Jepang kemudian terkuak. Pemerintah pendudukan hanya ingin mengeruk tenaga dan sumber daya Indonesia demi kemenangan Nippon dalam Perang Dunia II kancah Asia Pasifik. Bagaimanapun, para tokoh nasional juga bersiasat. Mereka bersedia mengikuti kemauan Jepang, tetapi dengan tujuan jangka panjang, yakni kesiapan bangsa Indonesia dalam menyongsong kemerdekaan penuh.

    Selama berkuasa di Tanah Air, Jepang membentuk antara lain Pembela Tanah Air (PETA). Karena mengharapkan dukungan dari umat Islam, pemerintah pendudukan pun menempatkan sejumlah kiai pada posisi komandan batalyon (daidancho). Untuk daerah Cianjur, Bogor, dan Abdullah Sukabumi, Kiai Abdullah diminta mengisi jabatan tersebut.

    Aktivitas Abdullah di dalam PETA pada perkembangan selanjutnya membawanya banyak terlibat dalam kegiatan di tingkat nasional. Setelah Indonesia meraih Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ia pun banyak berkiprah di Jakarta. Sebagai contoh, sejak 23 Agustus 1945 dirinya menjadi salah satu anggota KNIP. Di luar itu, dirinya pun sempat diangkat menjadi pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk wilayah Cianjur.

    Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda.

    Dari UII Hingga UI

    Hanya beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan RI, Belanda kembali datang ke Tanah Air. Negeri Kincir Angin hendak kembali menjajah republik ini. Dalam upaya mewujudkan ambisi itu, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) juga mengerahkan kekuatan militer.

    Di lapangan, NICA menyasar banyak tokoh nasional maupun lokal. Khususnya di daerah Cianjur dan Bogor, salah satu targetnya adalah KH Abdullah bin Nuh. Sang alim pada masa pendudukan Jepang aktif dalam Pembela Tanah Air (PETA). Pada awal terbentuknya RI, ia turut berkiprah dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR).

    Sejak Juni 1946, ibu kota Rl pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Kiai Abdullah pun turut hijrah ke sana. Tidak hanya aktif dalam mendukung pertahanan nasional, ulama tersebut juga ikut berjuang uang di ranah pendidikan. Selama di Kota Gudeg, ia bersama rekan-rekan seperjuangan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI). Kini, institusi tersebut dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII).

    Untuk semakin memopulerkan perjuangan Indonesia di dunia internasional, Kiai Abdullah juga menyerukan pentingnya siaran radio berbahasa Arab. Dari Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, dirinya turut membangun Siaran Bahasa Arab. Sejak itu, pelbagai peristiwa yang terjadi di Tanah Air pun dikabarkan ke luar negeri, utamanya negara-negara Timur Tengah. Publik kawasan Arab pun antusias dalam mengikuti perkembangan perjuangan RI.

    Dalam masa perjuangan ini, Kiai Abdullah menikah lagi. Perempuan yang dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, salah seorang murid KH Abdullah di STI. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari pernikahannya dengan istri pertama, Nyi Raden Mariyah, sang alim memperoleh Sejak 1950, Belanda mengakui kedaulatan lima orang anak.

    Sejak 1950, Belanda mengakui kedaulatan RI. Situasi dalam negeri pun perlahan-lahan menjadi kondusif. Kiai Abdullah lalu memboyong keluarganya untuk hijrah ke Jakarta. Hingga 1964, ia menjadi kepala Siaran Bahasa Arab RRI Jakarta. Kemudian, dirinya mengajar sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Itulah pekerjaan akhirnya hingga tutup usia.

    Menjelang masa tuanya, Kiai Abdullah menetap di Bogor hingga ajal menjemput. Sang alim pejuang berpulang ke rahmatullah pada 24 Oktober 1987. Mereka yang berduka bukan hanya dari kalangan keluarga atau para sahabat di Tanah Air.

    Banyak tokoh luar negeri yang turut merasa kehilangan. Sebab, di puncak kariernya sebagai pengajar dirinya sering menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar internasional di beberapa negara, termasuk Arab Saudi, Yordania, India, Irak, dan Iran. Bahkan, raja Yordania ketika itu adalah salah seorang sahabat baiknya.***

    __

    Penulis: Hasanul Rizqa

    Sumber: “Republika” edisi Ahad 18 Desember 2022

    Editor: FA



    sumber berita ini dari bandungmu.com

    Author

    Share to

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top