Bubur Sumsum dan Candil
Oleh : Safrin Octora
Aslinya bernama bubur sumsum. Mungkin karena lembut dan bisa disesap juga, persis seperti sumsum sapi, maka diberi nama bubur sumsum. Di atas bubur sumsum ini, diletakkan topping candil yang berwarna coklat dan berbentuk bulat sebesar guli. Candil ini rasanya manis karena dibuat dengan campuran gula merah.
Bubur sumsum rasanya gurih, karena dimasak dengan santan yang diletakkan garam yang agak berlebih. Rasa gurih yang menyatu dari garam dan santan pada bubur ini memberikan rasa enak. Jadi pada bubur sumsum yang saya beli ini tidak ada proses meletakkan santannya lagi.
Topping candil diletakkan di atas sumsumnya, yang lalu disiran dengan gula merah.
Ketika dimakan, bubur sumsum ini awalnya memberikan rasa gurih dan lembut dari sumsum yang telah bercampur santan. Lalu serentak rasa gurih hilang, rasa manis dari candil menyeruak keluar ketika digigit pelan-pelan. Pada akhirnya rasa manis gula merah, memberikan rasa nikmat yang menghanyutkan sambil kita menelan semuanya : sumsum, candil dan gula merah.
Suap demi suap sumsum, candil dan gula merah larut dalam mulut, tanpa perlu dikunyah dan hilang lewat tenggorokan.
Sore yang agak mendung ini saya menikmati semangkuk sumsum dengan candil plus secangkir kopi pahit. Rasa sumsumnya masih hangat. Setiap suapan sumsum masuk ke mulut, mengingatkan saya dengan bibik-bibik penjual sumsum semasa kecil.
Sehabis Ashar dia akan berkeliling kampung dengan menjual sumsum dengan candilnya. Orangnya mungil. Memakai kain dan baju sejenis kebaya yang sedikit agak turun di bagian atasnya. Bubur sumsum, candil dan santan serta gula merah yang diletakkan di dalam botol tersusun rapi di dalam bakul. Bakulnya digendong di samping dekat pinggang dan diikat dengan kain panjang batik, lusuh dan tua.
Bakul itu akan diturunkan si bibik ketika ada pembeli. Biasanya kami yang masih kecil-kecil waktu itu akan merubungi si bibik dan membeli bubur sumsumnya plus candil dengan uang seringgit (Rp.2,5). Si bibik akan membuat wadah bubur dari daun pisang yang dijepit dengan lidi di kedua ujungnya. Sendoknya juga terbuat dari daun pisang yang dipatah dua, sehingga menjadi agak kuat ketika menyendok sumsum.
Menariknya makan bubur sumsum waktu itu selalu dilakukan dengan berbagi. Artinya sumsum seharga seringgit itu bisa dimakan oleh 2-3 kawan yang tidak punya duit untu membeli – dengan cara memakannya bergantian dengan sendok yang sama. Tragisnya, tidak jarang ada kawan yang menjilati daun pisang bekas wadah bubur sumsum tersebut.
Duch, itulah masa lalu. Masa kecil yang indah.
Ketika masuk SMP, si bibik penjual sumsum tidak muncul-muncul lagi. Berganti dengan bibik-bibik lain, bersepeda dan berbaju kurung panjang. Tidak ada lagi bibik penjual sumsum yang menggunakan kain dan baju kebaya yang agak turun.
Hari ini penjual tempat saya membeli bubur sumsum, bukan lagi seorang wanita. Tapi seorang laki-laki muda. Dia menjual aneka bubur : candil, kacang hijau, pulut hitam, dan serabi. Semua enak. Saya membeli bubur pulut hitam. Tidak seringgit lagi, tapi enam ribu rupiah. Wadahnyapun bukan pincok daun pisang, tapi wadah plastik putih, plus sendok dari plastik yang tajam dan bisa mengiris lidah.
Saya menikmati bubur sumsum plus candil di sudut rumah dekat kolam koi ditemani secangkir kopi pahit. Udara sore ini begitu menghanyutkan. Sesekali suara guruh bergemuruh di kejauhan. Seperti kata kata anak anak milineal : gluduk gluduk tanda mau hujan.
Bubur sumsum, enam rupiah membangkitkan kenangan sama kawan-kawan kecil nun dahulu kala. Ada yang di Papua menjadi tentara. Ada yang menua di tempat lama. Tapi banyak yang hilang, tanpa kabar berita. Termasuk satu yang jatuh bersama pesawat Merpati di gunung Tinombala. (***)