Kolom Safrin Octora: Kue Pancong

banner 468x60

KUE PANCONG

Oleh : Safrin Octora

Kue Pancong, namanya. Saya sendiri tidak tahu kenapa kue ini dinamakan kue pancong. Sejak saya mengenal mengenal jajan (belanja) camilan, kue ini telah memiliki nama “kue pancong”. Secara proses pembuatan, tidak ada adegan pancung memancung dalam pembuatan kue ini. Biasanya setelah dipanggang, kue ini ini dicungkil (congkel, bahasa Medannya) dengan pengait. Lalu ditempatkan di wadah yang telah disiapkan, untuk dimakan.

Tapi apalah arti sebuah nama. Meskipun saya tidak mengenal asal nama kue ini, namun penganan dari tepung beras diblending dengan kelapa dan gula pasir lalu dipanggang pada sebuah cetakan, banyak memberikan kenangan.

Di sudut sekolah SD saya dulu, selalu ada penjual kue Pancong ini. Biasanya setiap keluar main-main (sekarang namanya : jam istirahat), bapak penjual kue Pancong ini selalu ramai dikerubuti anak-anak sebaya saya. Dengan duit seringgit (dua setengah rupiah), dapat beberapa potong kue Pancong.

Saatnya waktu “keluar main-main”, adalah saatnya wajah riang hadir di muka si bapak  penjual  Pancong. Ramai anak-anak  berkumpul mengerubuti si pedagang kue itu. Kalau saya ingat-ingat, bukanlah kue Pancong memiliki citarasa lezat, tetapi waktu itu tidak banyak camilan yang dijual di depan sekolah. Jadi untuk mengisi perut, pilihan utama adalah kue Pancong.

Biasanya teman makan kue Pancong, kalau nggak es doger ya es serut yang dicetak bundar lalu disiram pewarna warna warniang berasa manis. Hmm…nikmat.

Kenangan lain tentang kue Pancong ini terjadi  pada awal 2000. Seorang pengajar Program S2 dan S3 Ilmu Hukum Universitas Indonesia bernama Prof. Erman Radjagukguk, datang ke Medan untuk mengajar di S2 dan S3 USU. Ketika saya jeput di Polonia, salah satu etiniery yang dimintanya adalah kue Pancong. Bang Erman – biasanya kami panggil – selain menjadi Ketua Program S2 dan S3 Ilmu Hukum Universitas Indonesia, adalah juga Wakil Menteri Sekretaris Negara zaman Presiden Megawati, Gus Dur dan SBY pernah bersekolah di Medan, tepatnya di SD Negeri Jl. Mangkubumi, Medan.  Salah satu jajanan yang sangat diingatnya adalah kue Pancong. Jadilah hari itu dari siang hingga sore saya dan beberapa kawan berpencar untuk mendapatkan kue Pancong. Tidak ditemukan. Namun saya menggantinya dengan kue mayum – khas India yang terbuat dari tepung beras dikukus dan disiram gula merah. Ketika istirahat mengajar, saya menyajikan mayum India tadi sebagai pengganti kue Pancong. Meski sedikit kecewa, namun bang Erman terlihat senang dengan makanan pengganti yang saya berikan.

Hari ini saya menemukan kembali kue Pancong, di sudut jalan menuju ke rumah. Penjualnya seorang laki-laki tua yang telah berumur 66 tahun – yang seharusnya telah pensiun bernama Awalludin. Dengan sepeda tua yang telah ringkih, lelaki yang tinggal di sekitar Jl. Sosro Medan Tembung, telah berkeliling menjual kue Pancong sejak dari jam 08.00 pagi hingga mendekati waktu Isya. Tidak banyak yang didapatnya dari berjualan Pancong ini. Namun kebutuhan hidup yang terus meningkat, membuat laki-laki bercucu sebelas ini tetap berkeliling menjajakan kue Pancong.

Sore ini saya membeli beberapa potong kue Pancong. Membeli kue bukan karena cita rasanya. Bila dibandingkan dengan kue kue kekinian, kue Pancong jelas ketinggalan. Namun membeli kue Pancong adalah  membeli untuk sebuah kenangan yang sangat mahal harganya.

Di SD kami dulu ada seorang gadis kecil yang gemuk dengan rambutnya di cocang ekor kuda. Sebagai gadis cantik dia selalu diganggu oleh kawan-kawan laki-laki –  termasuk saya. Rambut ekor kudanya sering kami tarik-tarik.

Jajanan kesukaannya adalah kue Pancong. Bila umumnya mendapat uang saku seringgit, si ekor kuda selalu memiliki uang lebih. Bila membeli kue Pancong selalu dalam jumlah banyak. Biasanya dia membeli 5 rupiah. Kue kue Pancong itu biasanya dimakannya ditaman sudut sekolah yang agak jauh dari kawan=kawan lain. Biasanya si ekor kuda selalu mengajak saya duduk disana, menghabisi Pancong sambil menunggu lonceng masuk kelas dibunyikan. Kue Pancong itu terasa semakin enak ketika dimakan bersama si rambut ekor kuda.

Sore ini dengan segelas kopi pahit, saya menikmati kembali kue Pancong. Setiap gigitan pada kue Pancong itu menimbulkan kenangan. Kenangan pada si ekor kuda – yang sekarang entah dimana.

Ketika kelas 5 dia pindah ke Jakarta, mengikuti perpindahan tugas orang tuanya.

Jadi bagi saya, kue Pancong adalah kue kenangan yang  berjuta rasa.  (***)

sumber berita dari infomu.co

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *