Oleh: Ace Somantri, Dosen UM Bandung
BANDUNGMU.COM, Bandung — Hampir dipastikan setiap orang hidup beraktivitas di mana pun senantiasa ada dalam organisasi, baik organisasi sosial, budaya, agama, hukum, politik, ekonomi, maupun organisasi yang lainnya.
Hanya dalam perjalanannya cukup bervariasi. Ada yang terus-menerus menikmati penuh khidmat dalam organisasinya all out hingga puncak kepemimpinan. Namun, ada juga hanya sebagai anggota dan pengurus biasa.
Hal itu menjadi bukti dan teruji sebuah teori John lock yang mempopulerkan tetang zoon politicon, yakni bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya.
Betul memang secara faktual sejak awal kehidupan manusia diciptakan hingga saat ini manusia tidak dapat hidup sendirian. Namun, mereka harus saling mengikat diri dalam ikatan untuk saling memenuhi kebutuhan. Baik itu memenuhi kebutuhan dasar pokok, penunjang, maupun kebutuhan pendukung lainnya.
Pun sama ketika manusia dalam kehidupan sosial secara otomatis akan ada permintaan masing-masing individu untuk berkelompok antara satu dengan yang lainnya. Mereka bersama mengikat diri membuat kesepakatan pada suatu tujuan bersama.
Di situlah awal mula muncul hal ihwal berorganisasi karena sekumpulan orang bersepakat untuk tujuan bersama ada pada sistem dan mekanisme yang disepakati langkah-langkah dalam proses mencapai tujuan.
Kemudian sistem dan mekanisme tersebut berkembang sejalan dengan perdaban yang dibangun manusia dari generasi ke generasi tanpa henti. Mengapa hal itu terjadi? Karena perbuatan tersebut menjadi salah satu kebutuhan hidup sosial kemasyarakatan.
Disadari atau tidak, disukai atau tidak, pada dasarnya manusia sejak mengikuti komunitas sekelompok orang dalam ikatan formal dan nonformal sudah otomatis berorganisasi.
Hal itu sudah terjadi selama ini, minimal setiap orang ketika masuk sebuah institusi sekolah dari sejak usia taman kanak-kanak, bustanul athfal, raudlatul athfal atau dikenal pendidikan anak usia dini, dan pada dasarnya hampir semua mengalaminya.
Tidak ada alasan untuk tidak menyadari segala sesuatu hal yang kita alami dan kita ketahui serta kita pahami bahwa kita secara tidak langsung sudah berorganisasi dalam sebuah komunitas baik secara formal maupun nonformal.
Buktinya kita senantiasa mengikuti segala bentuk aturan-aturan pranata sosial, baik yang mengikat maupun tidak, karena dalam kumpulan orang tersebut ada tujuan yang akan dicapai secara bersama.
Bagaimanapun juga ketika berorganisasi berdasarkan aturan ataupun tidak, itu sudah menjadi sesuatu yang semestinya sebagai seorang manusia atau individu mengetahui dan memahami identitas diri, baik itu sebagai bentuk dari kepercayaan diri ataupun proses menuju pada sesuatu hal yang akan membangun diri lebih percaya diri.
Harus diyakini bahwa hidup di dunia ini tidak dalam keadaan kosong. Semua manusia sudah diberikan bekal potensi yang dimiliki yang telah diberikan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang berakal sehat atau individu yang berpikir (ulul albab).
Identitas diri dapat dipahami melalui proses hidup dalam rentang waktu hidup, baik memahami identitas simbolik yang tertera dalam tanda pengenal diri yang terintegrasi dalam data keluarga maupun identitas bersifat substansial. Untuk memahami hal yang substantif, harus ada penempaan diri lebih dari sekedar perjalanan hidup standar biasa saja.
Proses hidup harus senantiasa dihadapkan dengan berbagai hambatan dan tantangan yang akan mempengaruhi peningkatan kapasitas diri. Di antara peningkatan yang menjadi penguatan kualitas diri minimal ada tiga.
Pertama, kapasitas keterampilan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan praktis dan pragmatis dalam waktu singkat. Kedua, kapasitas peningkatan keahlian bidang tertentu yang difokuskan pada pengakuan pihak-pihak terkait.
Ketiga, kapasitas kepakaran yang berorientasi pada penguatan lisensi pakar dari institusi berwenang sesuai profesinya. Dengan demikian, kepercayaan diri akan semakin tertanam dalam jiwa dan raga sebagai manusia yang bermanfaat.
Fakta yang tidak dapat dibantah bahwa melalui berorganisasi manusia banyak mentransfer knowledge dan wawasan secara langsung atau tidak. Realitanya hal itu akan meningkatkan keterampilan, keahlian, dan juga kepakaran.
Sekalipun terbatas pada tingkat pendidikan, kelebihan diri pada seseorang tidak mutlak hanya melalui jenjang pendidikan formal. Bagi siapa pun yang memiliki spirit dan motivasi tinggi untuk mengubah dirinya lebih baik, bermanfaat dan berguna pada sesama, pasti banyak cara mewujudkannya.
Identitas diri pun tidak berhenti pada portopolio jenjang pendidikan, tetapi harus ada pengalaman berbagai jenis dan macam ragam dinamika pengalaman hidup.
Misalnya pengalaman menghadapi hambatan keterbatasan skill, mengantisipasi kekurangan materi atau kemiskinan, mengendalikan emosi dan spirit yang cenderung mengarah pada hawa nafsu buruk, mengurai saling pendapat, pengalaman mengubah keadaan ruam nan runyam menjadi terang benderang, dan pengalaman-pengalaman lainnya.
Portopolio pengalaman tersebut menjadi khazanah ilmu yang bersumber empiris dan tersimpan dengan baik dalam file kehidupan. Suatu saat manakala menghadapi persoalan akan lebih cepat mengurai dan menyelesaikannya.
Identitas diri base on khazanah ilmu tidak berat untuk dipikul. Ke mana pun dan di mana pun tinggal akan sangat ringan untuk dibawa. Karena kaya raya ilmu dan pengalaman adalah harta kekayaan yang menjadi identitas diri bagi manusia lebih aman, damai, dan tentram.
Beda sekali dengan kekayaan harta benda, syahwatnya selalu dekat dengan kekhwatiran penuh ketakutan, relatif menjadi beban hidup ketika kaya raya dalam bentuk harta benda. Maka dengan berorganisasi akan bertemu dengan berbagai jenis sikap individu untuk saling berbagi.
Dalam alam realitanya ada ruang untuk meringankan beban karena cenderung akan menuntun pada sikapnya lebih baik. Orang yang kaya ilmu akan berbagi ide dan gagasannya. Orang yang kaya harta akan berbagi harta bendanya untuk bekal dan biaya berorganisasi dalam bersyarikat.
Dengan cara demikian, sangat terasa identitas diri seseorang ada pada nilai guna dan manfaat untuk orang lain. Seperti kata baginda Nabi SAW bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang banyak manfaatnya untuk orang lain.***