Oleh: Lina Sellin, penulis buku
BANDUNGMU.COM — Selama ini, anakku, Keanu, selalu kuajarkan tentang bab kepemilikan. Ini milikku, sedangkan itu miliknya, sehingga dia harus meminta izin terlebih dulu apabila tertarik untuk meminjamnya.
Kalau temannya tidak mengizinkan, kita tidak bisa memaksa. Dan, Keanu selalu membawa pelajaran ini ke mana pun.
Saat teman mainnya mengambil barang miliknya tanpa izin, Keanu heran kenapa temannya tidak paham kalau itu bukan miliknya, lalu ngotot mengambil yang bukan haknya.
Perkara ini kadang dianggap hal sederhana bagi manusia “tua”. Ini hanyalah perkara “rebutan mainan” antar-dua anak yang saling tertarik untuk memainkan sesuatu.
Namun, yang sering lupa, bahwa perilaku ini bisa saja terbawa hingga tua (bukan dewasa) nanti.
Penyakit bangsa kita
Menurut saya, inilah penyakit terbesar bangsa kita. Tidak mampu memahami mana milik sendiri dan mana milik orang lain.
Sehingga, terjadilah klaim terhadap milik orang lain. Puncaknya, korupsi dianggap sebagai hal yang wajar, dari tingkat RT, bahkan sampai pejabat negara.
Garis pembeda antara miliknya dan milik orang lain begitu samar, bahkan nyaris tak terlihat. Sehingga, mereka kadang tak merasa sudah mengambil hak orang lain. Dan, ini penyakit yang tidak kita sadari!
Misal, angkot ngetem bahkan sampai berjam-jam di trotoar, di jalan raya yang menyebabkan kemacetan parah.
Si sopir angkot ini merasa itu hal yang wajar, baik-baik saja. Mereka tidak merasa bahwa mereka sudah mengambil “hak” para pengguna jalan lain.
Bahkan kadang kala ada juga yang sudah tahu bahwa itu merugikan orang lain, tapi mereka berusaha membenarkannya dengan beragam alasan.
Pun dengan sederet penjual yang gerobaknya berada di trotoar, sehingga menghalangi para pejalan kaki.
Malah, di level orang yang mengaku terpelajar. Contoh, meminjam uang atau barang dari temannya.
Dengan bahasa meminjam, kadang itu dianggap sebagai hal yang “tidak perlu” dibayar.
Padahal, urusan utang ini begitu berat, sehingga dalam Islam, bahkan kelak ketika meninggal, tergadai jiwanya hingga utangnya terbayarkan.
Membedakan hak milik
Dan, lagi-lagi, ini berawal dari sikap tidak bisa membedakan mana miliknya dan mana milik orang lain.
Tidak jelas garis pembatasnya. Sehingga, terjadilah keengganan untuk serius melunasinya—dengan berbagai cara.
Tak hanya itu, tanah (barang) milik orang—yang mungkin ada di sekitar kita. Kadang karena kita anggap itu “tak bertuan dan tak digunakan”, maka kita pun menggarapnya layaknya milik kita.
Begitu bahayanya mengambil sesuatu yang bukan miliknya, sehingga ayah Imam Syafii, Idris, rela berbalik arah dari perahunya yang sederhana tatkala memakan separuh delima yang bukan miliknya “demi” untuk meminta “ridha” si empunya pohon.
Sebab, ia tahu, kalau si pemilik itu tidak menerima, tidak ridha, maka betapa banyak tabungan keburukan di hadapan Tuhan—yang harus dipertanggungjawabkan di Hari Akhir?
Sekali lagi, inilah, menurutku, yang menjadi penyakit terparah bangsa kita. Tidak mampu membedakan mana miliknya, dan mana milik orang lain, sehingga berdampak pada anggapan bahwa sikap korupsi dari level RT sampai negara merupakan hal yang wajar!
Sebab itu, salah satu cara untuk meminimalisasi (dan menghapus) korupsi dari negara ini, yakni menanamkan pengertian terhadap bab kepemilikan ini dari tingkat anak-anak.
Sehingga kelak terbiasa dengan sikap dapat membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan.
Wallahu alam. ***