Menjadikan Muhammadiyah Sebagai Agile Organization

banner 468x60

Oleh: Imam Sholehudin, Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

BANDUNGMU.COM — Hadirnya era disrupsi yang merupakan perubahan secara masif mengenai inovasi yang ada dari sistem pola lama ke pola yang baru mengakibatkan terjadinya sebuah pergeseran lingkungan dan budaya.

Teori disrupsi pertama pertama kali diperkenalkan oleh seorang guru besar Harvard Business School, Amerika Serikat, Clayton M. Christensen, pada 1990-an, dalam Theory of Disruptive Innovation.

Menurutnya, inovasi disrupsi ini mengacu pada proses di mana produk dan layanan yang dimotori oleh teknologi hadir dengan ciri yang lebih canggih, lebih gampang diakses, dan bahkan lebih terjangkau.

Terkhusus untuk budaya organisasi dalam keseharian akan mendapatkan sebuah perubahan yang sangat signifikan yang terasa mulai tools (perangkat) pendukung organisasi, sumber daya manusia, maupun manajemen pengetahuan di setiap unit.

Tentu dari hal tersebut harus disikapi oleh organisasi besar seperti Muhammadiyah yang telah hadir mencerahkan umat dari tahun 1912 dengan total kekayaan senilai 400 triliun Rupiah. Kekayaan itu di antaranya terdiri dari aset tanah, bangunan, dan kendaraan.

Muhammadiyah hadir mencerahkan bangsa dengan 28.000 lembaga pendidikan. Ada 170 universitas, 400 rumah sakit, dan 340 pesantren.

Dari data tersebut bahwa organisasi tersebut harus segera memperbaiki internalnya supaya bisa adaptif di era disrupsi.

Salah satu caranya adalah menghadirkan kesadaran kolektif dalam internal unit maupun organisasi sesuai dengan QS Ar-Rad ayat 11 yang artinya:

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Dalam buku “Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an”, tafsir yang disusun Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, menjelaskan bahwa Allah SWT tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seorang kecuali mereka mengubah kenikmatan menjadi keburukan.

Dalam menghadirkan sebuah kesadaran kolektif tentu tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan perlu melewati tahapan, salah satunya adalah bermusyawarah.

Tahapan tersebut telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam QS Asy-Syura ayat 38 yang artinya:

“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan urusan maka perlu dihadirkan sebuah permusyawaratan sehingga permasalahan bisa diselesaikan.

Selain itu, ide kreatif pun bisa dibagikan sehingga bisa menciptakan kesadaran kolektif dalam melakukan sebuah inovasi.

Dari hal tersebut perlu adanya sebuah narasi agile organization (organisasi lincah) dalam internal Muhammadiyah sehingga kapasitas pimpinan, anggota, ataupun simpatisan memiliki kemampuan naluri untuk merespons dan beradaptasi dengan cepat terhadap keadaan yang berubah.

Sehingga gerak organisasi akan efektif dan tetap efisien dalam memperjelas peran, inovasi, dan disiplin operasional.

Menurut Indra Utoyo dalam buku “Hybrid Company Model” bahwa dalam menciptakan organisasi yang lincah perlu adanya gabungan mengkombinasikan kewirausahaan dan manajemen strategis. Gabungan itulah yang disebut strategic entrepreneurship.

Strategic entrepreneurship memiliki lima bentuk subaktivitas berupa reformasi strategis (strategic reform), regenerasi berkelanjutan (sustainable regeneration), redefinisi ranah (domain redefinition), peremajaan organisasi (organizational rejuvenation), dan rekonstruksi model bisnis (business model reconstruction).

Dari hal ini diharapkan adanya narasi kreatif yang mengedepankan unsur kemodernan ataupun kemajuan sehingga Muhammadiyah pada abad keduanya bisa melebarkan sayap untuk membangun bangsa dan mencerahkan semesta.***



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author