Friday, November 22, 2024
25.6 C
Gresik

Milad Muhammadiyah: Gerakan Keterbaruan Persyarikatan (2)

Oleh: Ace Somantri*

BANDUNGMU.COM – Gerakan keterbaruan bukanlah hal yang asing atau luar biasa. Muhammadiyah, melalui gerakannya, telah konsisten mengikuti jalur dan khittah yang telah ditentukan. Meskipun demikian, tentu saja ada kekurangan dan kelemahan, meskipun telah berpedoman pada kaidah-kaidah yang telah disepakati.

Dengan demikian, mustahil untuk mencapai kesempurnaan sepenuhnya. Hal ini penting untuk dipahami melalui dialog yang konstruktif, agar gerakan keterbaruan Muhammadiyah dapat diformulasikan dengan tepat. Komposisi yang tepat dalam gerakan ini akan menciptakan karakteristik baru dalam beramar ma’ruf nahi munkar, yang akan semakin mendekatkan Muhammadiyah pada tujuan dan cita-citanya.

Dengan memiliki sumber daya manusia yang sangat besar, setiap kampus Muhammadiyah, terutama yang berstatus Universitas, dipastikan mampu menghasilkan ribuan individu berkualitas setiap tahunnya. Dengan potensi ini, Muhammadiyah memiliki kemampuan yang besar untuk membangun dan memajukan masyarakat, sesuai dengan minat, bakat, dan potensi yang dimiliki oleh setiap individu.

Keberadaan Muhammadiyah tidak berjalan sendiri. Namun, bersama dengan dukungan negara, keduanya dapat saling memperkuat dalam mencapai tujuan yang sama, yaitu untuk membangun bangsa dan negara.

Tidak terbayangkan, meskipun negara memiliki anggaran triliunan rupiah untuk pembangunan, hasil yang dicapai masih jauh dari harapan rakyat. Sementara itu, Muhammadiyah, dengan mengandalkan swadaya dan semangat kolektif, mampu membangun bangsa dan negara lebih jauh dibandingkan entitas sosial lainnya, bahkan dapat dianggap sebagai kompetitor negara dalam kebaikan.

Secara ideal, negara dengan anggaran yang memadai seharusnya dapat melampaui target-target yang dicapai karena didukung oleh infrastruktur yang lengkap. Namun, Muhammadiyah, dengan semangat luhur yang bersumber dari nilai-nilai keagungan Ilahi, berhasil menempuh jalan yang terjal, terbukti dengan aksi nyata dan bukan sekadar janji.

Meski demikian, kita perlu menyikapi dengan bijak jika pada waktu tertentu terjadi distorsi dalam gerakan yang menyebabkan kelambatan atau stagnasi dalam dinamika dakwah amar makruf nahi mungkar.

Disadari atau tidak, gerakan keterbaruan dakwah dalam persyarikatan Muhammadiyah telah memiliki tradisi legendaris, seperti yang terlihat melalui Baitul Arqam atau Darul Arqam, yang dapat menjadi sarana untuk melakukan revolusi sesuai dengan tuntutan zaman dan generasi. Revolusi ini tidak hanya terbatas pada industri manufaktur yang terus berkembang, tetapi harus mencakup revolusi dalam sistem pembangunan sumber daya manusia.

Keterbaruan dalam gerakan ini dapat tercapai melalui pengkaderan yang rutin di Baitul Arqam dan Darul Arqam, yang diselenggarakan secara terstruktur, generik, dan transformatif. Untuk memaksimalkan pencapaiannya, kolaborasi yang mutlak diperlukan dengan mesin produksi sumber daya manusia, yaitu perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah, tanpa ada alasan apa pun.

Sistem pengkaderan yang singkat sejatinya hanya merupakan instrumen pendukung. Adapun engkaderan yang ideal seharusnya terintegrasi dalam ruang lingkup pendidikan formal dan non-formal yang diselenggarakan oleh persyarikatan yang saat ini dikenal sebagai amal usaha Muhammadiyah.

Konsekuensinya, seluruh instrumen yang dimiliki persyarikatan harus digunakan secara mutlak untuk kepentingan pengkaderan. Oleh karena itu, sangat penting bagi nilai-nilai ajaran dan ideologi yang telah dirumuskan oleh persyarikatan untuk ditransformasikan dalam sistem pembelajaran yang terpadu.

Saat diterapkan dalam kurikulum di berbagai jenjang pendidikan, materi tersebut harus mampu menjawab tantangan kehidupan manusia, baik untuk hari ini maupun masa depan. Namun, jika sekadar disampaikan secara lisan dan tertulis tanpa pemahaman yang mendalam, jangan heran jika meskipun amal usaha berkembang pesat, hasilnya hanya akan seperti buih di lautan.

Muhammadiyah menghadapi tantangan besar yang bahkan lebih kompleks daripada yang dihadapi oleh negara. Pasalnya, Muhammadiyah tidak memiliki anggaran tetap yang bersifat permanen. Semua yang dibangun selama ini benar-benar mengandalkan kemampuan dan kekuatan jamaah. Jika kekuatan keberjamaahan ini hilang, persyarikatan akan mengalami stagnasi, dan pada akhirnya akan terlihat lemah di mata publik, dengan kondisi yang memaksa untuk meminjam dari berbagai pihak.

Meskipun tindakan tersebut diperbolehkan dalam syariat, jika pengelolaan finansialnya buruk dan berantakan, hal itu hanya akan menciptakan citra negatif, menjadikan Muhammadiyah seolah-olah bergantung pada pihak lain dan lebih buruk lagi, dapat dianggap “tidak tahu malu.” Namun, semangat “bonek” (berani keluar dari zona nyaman) sangat diperbolehkan dalam konteks perjuangan.

Lebih baik berani mengambil langkah meski penuh tantangan, asalkan mampu bangkit dan berprestasi. Syaratnya, langkah tersebut harus diambil dengan keberanian, perhitungan yang matang, dan kejujuran.

Keterbaruan gerakan persyarikatan harus dirumuskan secara bersama oleh seluruh pemegang kebijakan strategis di persyarikatan. Dasar pijakan dalam pembahasan tersebut haruslah berdasarkan data akurat yang diperoleh melalui riset yang dapat dipertanggungjawabkan.

Gerakan ini akan efektif apabila sistem produksi pengkaderan disesuaikan dengan kaidah-kaidah yang dimodernisasi atau diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini sejalan dengan pola dan model revolusi industri yang terus berkembang secara bertahap setiap abad yang mencerminkan perubahan dalam kehidupan manusia.

Demikian pula dalam hal pengkaderan di persyarikatan, program Baitul Arqam dan Darul Arqam harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan kekinian. Selama ini, pengkaderan yang dilakukan secara formal dalam waktu singkat, seperti hanya beberapa hari, tentu sulit untuk membentuk sikap dan karakter kader yang militan dalam waktu singkat.

Gerakan keterbaruan berupaya keras menghadirkan jenis, bentuk, model, dan pola gerakan baru yang dapat membawa devisa bagi persyarikatan Muhammadiyah. Warga amal usaha Muhammadiyah harus dapat dijadikan mesin produksi sumber daya manusia yang melahirkan penggerak persyarikatan di setiap lini gerakan, yang dirancang untuk menjadi human capital.

Dengan demikian, ketika human capital ini dimanfaatkan sebagai modal utama, ia akan memberikan nilai-nilai material yang dapat menggerakkan seluruh komponen gerakan persyarikatan dari hulu ke hilir. Selama ini, warga amal usaha Muhammadiyah sering kali dianggap menjadi beban persyarikatan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pengelolaan amal usaha, pada umumnya, cenderung terkesan hanya berfokus pada komersialisasi tanpa memberikan dampak signifikan dan akseleratif terhadap perubahan laju perkembangan gerakan dakwah Muhammadiyah.

Milad Muhammadiyah ke-112 tahun ini, hingga milad-milad berikutnya, seharusnya dapat dijadikan sebagai tolok ukur dengan standar evaluasi yang jelas, yang menjadi dasar untuk menggerakkan persyarikatan menuju kemajuan di setiap rentang waktu yang dilalui. Gerakan yang terintegrasi sebagai satu kesatuan, dari semua lembaga dan majelis di berbagai tingkatan, harus dapat berkolaborasi dan bergerak secara simultan.

Meskipun harapan tersebut ada, kenyataannya sangat sulit dan rumit untuk diwujudkan jika paradigma yang diinginkan masih mengharapkan ketersediaan anggaran seperti yang ada di kementerian atau dinas pemerintahan, sementara di persyarikatan Muhammadiyah tidak memiliki anggaran tetap.

Saat ini, ratusan ribu sumber daya manusia diproduksi oleh mesin amal usaha Muhammadiyah, khususnya di lingkungan pendidikan Muhammadiyah, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selain itu, viralnya kabar mengenai kekayaan aset persyarikatan yang sangat fantastis dan membanggakan patut disyukuri oleh seluruh warga Muhammadiyah.

Namun, di sisi lain, melihat dan mendengar kondisi para penggerak Muhammadiyah di tingkat cabang dan ranting, serta penggerak amal usaha Muhammadiyah yang masih berada di bawah garis kesejahteraan, sangat memprihatinkan. Contohnya, di Jawa Barat, banyak penggerak yang take home pay-nya jauh dari upah minimum daerah, baik di kota, kabupaten, maupun provinsi.

Harapannya, gerakan keterbaruan ini dapat memberikan warna baru bagi persyarikatan Muhammadiyah. Detak jantung persyarikatan tidak hanya dirasakan, tetapi juga dapat membangun saling meningkatkan antar wilayah, daerah, cabang, dan ranting.

Termasuk di dalamnya, amal usaha Muhammadiyah yang berkolaborasi dan bersinergi secara terpadu dan permanen untuk meningkatkan mutu dan kualitas gerakan persyarikatan serta amal usaha Muhammadiyah agar lebih berdaya dan memberdayakan. Keterbaruan ini harus benar-benar terwujud, terlebih karena Muhammadiyah merupakan organisasi tajdid atau pembaharu.

Oleh karena itu, hal ini tidak dapat ditawar, kecuali sekadar ada dan berjalan seadanya tanpa adanya dinamika gerakan progresif dan solusi akseleratif. Wallahu’alam.

*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author

Hot this week

Exploring bisexuality – uncovering the possibilities

If you’re unsure just what youare looking for, or...

Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU),...

Cici Claypot, Kuliner Unik Bandung Dengan Sensasi Rasa Yang Menggoda

BANDUNGMU.COM, Bandung – Kota Kembang Bandung memang tidak pernah...

Topics

spot_img

Related Articles