Oleh: Ace Somantri
BANDUNGMU.COM – Menarik direspons mengenai salah satu informasi yang diunggah beberapa hari yang lalu di majlistabligh.id edisi 01 Januari 2024.
Judul dalam berita tersebut cukup menohok: “Beri Sanksi Pegawai AUM Yang Malas Bermuhammadiyah”.
Secara literal, kalimat di atas tidak mungkin muncul begitu saja jikalau tidak ada sebab yang melatarbelakanginya.
Hampir dipastikan yang menyebabkan berita tersebut muncul karena ada indikasi kuat bahwa banyak pegawai amal usaha Muhammadiyah (AUM) di berbagai level bermalas-malasan ikut turut serta bermuhammadiyah di tempat yang bersangkutan berdomisili.
Banyak sekali dari total pekerja dan edukator yang tercatat di persyarikatan. Hal yang sangat bisa dilakukan oleh persyarikatan untuk melakukan monitor dan pengawasan yang baik dan beretika.
Tentu hal tersebut bukan semata-mata untuk sebuah paksaan yang mengarah pada tindakan yang tidak membangun budaya humanis di lingkungan Muhammadiyah.
Hal penting untuk dipahami bersama bahwa bermuhammadiyah di lingkungan organisasi persyarikatan seharusnya tidak menunggu diajak apalagi disuruh-suruh.
Atas kesadaran diri itu jauh lebih bermartabat dan terhormat. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang menyadari hal penting tersebut. Memang patut disayangkan.
Jangankan dosen, guru, dan karyawan yang mengabdi di AUM yang benar-benar bukan berasal dari kader ideologis dan geneologis Muhammadiyah, terkadang orang yang merasa kader pun sikap dan perilakunya tidak mencerminkan akhlak dan moral Muhammadiyah.
Pernah ada sebuah cerita tentang seseorang yang baru ikut bergabung di lingkungan AUM.
Suatu ketika ada seseorang yang dianggap pimpinan persyarikatan dengan sikap dan tindakannya menunjukkan keakuan yang dianggap ganjil.
Orang yang baru masuk di AUM tersebut bertanya-tanya dalam hatinya apakah benar perbuatan tersebut sebagai teladan di Muhammadiyah?
Untuk meyakinkan diri akhirnya orang tersebut membeli buku saku PHIWM yang diterbitkan “Suara Muhammadiyah”.
Dia membaca buku tersebut dan ternyata apa yang dilakukan kader Muhammadiyah itu tidak sesuai dengan buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM).
Peristiwa yang serupa tampaknya tidak terlalu aneh di lingkungan Muhammadiyah. Bahkan sangat mungkin lebih parah.
Hal yang paling penting adalah tanggung jawab moral bagi siapa pun yang beraktivitas di lingkungan Muhammadiyah.
Dengan catatan tanpa membeda-beda apakah dia sebagai pengurus pimpinan persyarikatan atau anggota, apakah dia pimpinan AUM pendidikan di berbagai level, apakah dia aktivis ortom.
Hal yang penting adalah tetap konsisten menjaga marwah Muhammadiyah dengan menunjukkan sikap keteladanan yang baik dan benar sehingga menjadi contoh yang baik.
Setiap orang yang aktif di Muhammadiyah sejatinya bisa berkontribusi dalam berbagai bentuk (pemikiran, jiwa, raga, atau harta).
Untuk mengukur sejauh mana indikator keterlibatanya dapat berpengaruh pada peningkatan kualitas Muhammadiyah secara langsung atau AUM, bergantung pada nilai produktivitas karya, keikhalasan, dan kepedulian terhadap gerakan yang bersifat real time.
Rasa dan merasakan bermuhammadiyah bukan membebankan dan memintakan tanggung jawab kepada pimpinan dan pengurus.
Namun, harus bersama-sama memiliki tanggung jawab membangun persyarikatan dan bahu-membahu menguatkan satu sama lainnya.
Sebagai manusia yang memiliki sifat yang bersumber dari potensi baik dan buruk, kadang-kadang ada hal sangat unik dan sesekali menjengkelkan juga.
Ada beberapa di antara warga persyarikatan, baik itu kader inti atau kader biasa, yang bersikap tidak dewasa, tidak dedikatif, dan tidak memberikan teladan bermuhammadiyah yang baik.
Bahkan, menjadi parasit yang merusak tumbuh kembang Muhammadiyah. Kalimat selogan dan kata-kata mutiara dari Kiai Ahmad Dahlan kadang-kadang hanya manis di bibir.
Sikap-sikap keteladanan yang seharusnya dijalankan hanya dipampang di tembok gedung AUM dan diceritakan dalam ceramah.
Sementara itu, dirinya sama sekali tidak mencerminkan dari hal tersebut. Ini aneh dan jadi semacam paradoks yang cukup menggelikan.
Bermuhammadiyah bukan harus menjadi pimpinan dan pengurus, melainkan ikut turut menggembirakan kemudian mendakwahkan paham Islam yang baik dan benar menurut Muhammadiyah.
Bermuhammadiyah adalah menggerakkan potensi apa pun yang ada di lingkungan berdomisili atas nama keluarga besar persyarikatan.
Bermuhammadiyah adalah berkolaborasi dan bersinergi dengan persyarikatan tingkat ranting, cabang, dan daerah di mana pun berada.
Sangat wajar dan pantas ketika mendapatkan pekerjaan dan penghidupan di AUM kemudian timbal baliknya ikut turut serta memakmurkan gerakan Muhammadiyah di berbagai level. Tidak sekadar menumpang kerja dan mendapatkan nafkah.
Andaikan Muhammadiyah melakukan monitoring para pegawai, dosen, guru, staf, dan karyawan AUM dan dijadikan sebagai salah satu alat ukur kinerja, itu sangat bagus.
Itu tindakan yang sangat baik untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan gerak laju dakwah Muhammadiyah agar lebih baik dan produktif.
Tampaknya akan lebih bagus kalau Muhammadiyah membuat pedoman praktis monitoring para pegawai AUM.
Kemudian data hasil dari pemantauan aktivitas bermuhammadiyah pegawai dijadikan catatan portofolio kinerja yang wajib.
Sebenarnya di lingkungan kampus Muhammadiyah ada catur darma. Pada darma keempat adalah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK).
AIK ini dapat dijadikan sumber rujukan kebijakan pimpinan PTMA untuk berkolaborasi dan bersinergi dengan persyarikatan di berbagai level untuk memberikan ruang praktis dan strategis mereka bermuhammadiyah, misalnya, di tempat para tendik berdomisili.
Contohnya ketika di tempat domisili belum ada mobilisasi jemaah Muhammadiyah, karyawan atau tendik PTMA tersebut diberikan amanah untuk menginisiasi untuk mengidentifikasi hingga menjaring anggota dan simpatisan Muhammadiyah.
Langkah seperti itu, hemat saya, jauh lebih produktif dan bermartabat, daripada sekadar bekerja dan mendapatkan gaji di AUM.
Yakni daripada datang pagi dan pulang sore tanpa ada kegiatan persyarikatan di dekat rumah masing-masing.
Diterima atau tidak, suka ataupun tidak, terkait sanksi bagi pegawai AUM yang bermalasan-malasan bermuhammadiyah, bukan diperdebatkan, melainkan harus dijalankan dan ditegakkan dengan aturan yang berkeadilan.
Permasalahan dan fenomena tentang pegawai AUM yang malas dan enggan aktif di Muhammadiyah, harus diindentifikasi latar belakang dan penyebabnya.
Jikalau tidak rasional dan tidak logis alasannya, harus diberikan bimbingan dan pengarahan sebaik-baiknya kepada mereka.
Andaikan alasannya rasional, logis, dan objektif apa yang sebenarnya terjadi, hal tersebut harus ada penyikapan yang baik dan berkeadilan.
Kesadaran bermuhammadiyah bukan hal mudah. Apalagi kalau motif masuk ke AUM hanya semata-mata untuk mencari pekerjaan untuk keberlangsungan hidup diri dan keluarganya.
Penggerak Muhammadiyah harus bersabar dan tawakal manakala menghadapi rintangan dan tantangan dalam menggerakkan persyarikatan.
Apalagi keteladanan penggerak Muhammadiyah dinilai oleh para pegawai AUM sikap dan perilakunya jauh dari keteladanan Muhammadiyah yang sesungguhnya.
Monitoring bukan sekedar mengawasi dan memantau tanpa ada kejelasan aturan serta konsekuensi dari penegakkannya.
Keseimbangan yang adil dalam menjalankan kaidah dalam lingkungan persyarikatan bukan berlaku pada pegawai, staf, dan karyawan.
Namun, berlaku kepada siapa pun yang berada di lingkungan Muhammadiyah.
Mereka harus taat dan patuh pada peraturan dan kaidah yang ditetapkan. Mereka sejatinya bisa beribadah dan bermualah sesuai dengan ketentuan Muhammadiyah.
Sangat yakin bahwa proses monitoring akan diikuti dengan saksama oleh warga dan pegawai AUM manakala semua kaidah Muhammadiyah dijalankan dengan baik.
Yakni menjalankan kaidah-kaidah Muhammadiyah tanpa ada pemilahan antara pegawai dan pegawai lainnya hanya karena beda posisi dan status di lingkungan persyarikatan.
Penerapan kaidah-kaidah bukan sekedar menjalankan sebatas formalitas semata. Namun, menjalankannya dengan tujuan dan target untuk lebih baik, kreatif, inovatif, produktif, dan juga bernilai kemajuan berorientasi global.
Hal itu penting dipahami dan dilakukan agar marwah AUM tetap terjaga dan terpelihara sehingga nilai kepercayaan para stakeholders dapat berlanjut.
Sekiranya dianggap perlu dan dibutuhkan untuk efektivitas kinerja, harus ada sanksi bagi siapa pun yang melanggar kaidah.
Peraturan tersebut baik diberlakukan tanpa pandang bulu dan senantiasa konsisten menjalankannya penuh keteladanan.
Pasti ada dilema manakala kebijakan yang diterapkan diawali dengan melanggar kaidah. Terlebih kalau yang melanggar adalah pemegang kebijakan itu sendiri.
Kasus-kasus tersebut sering tidak disadari. Padahal, hal itu akan berdampak pada sikap dan kebijakan lainnya saat memberlakukan berbagai keputusan.
Gambaran tersebut, kalau kata orang Sunda, “ibarat tamiang melit ka bitis” (berbalik kepada diri sendiri) sehingga sistem pengelolaan mengalami disconcted satu unit dengan unit lainnya.
Penting sekali monitoring pegawai AUM secara menyeluruh dan terintegrasi dalam satu sistem yang terpadu.
Dengan demikian, rekam jejak, tahapan kerja, dan hasil karya dapat tercatat dan terkontrol secara baik.
Suka dan tidak suka, jika ingin maju dan berkembang lebih baik, menjalankan sistem seperti ilustrasi di atas tidaklah sulit.
Syaratnya yakni semua kebijakan diawali dengan mengikuti kaidah dan peraturan Muhammadiyah dengan penuh keadilan, kesantunan, dan keadaban.
Sebaliknya, andaikan semua kebijakan dikeluarkan atas dasar kepentingan pribadi dan segelintir orang dengan alasan memiliki dalil paling berhak, paling benar, paling beradab, paling santun, dan paling adil, itu semua hanya bersifat semu.
Hukum sunatullah akan berlaku. Dampak dan akibat dalam waktu tertentu akan muncul dan terlihat dengan kasatmata sebagai konsekuensi tindakan dan perbuatan sebelumnya. Wallahu’alam.***