MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi mengemukakan zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam. Nilai dasar dari ibadah zakat berawal dari keyakinan bahwa Semua harta kekayaan yang ada di bumi merupakan milik Allah, sementara kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi (QS. Thaha: 20).
Karena bersifat nisbi, tidak semua harta yang dimiliki adalah miliknya secara mutlak, melainkan di dalamnya terdapat hak orang lain (QS. Al-Dzariyat: 19). Seseorang yang mempunyai harta berlebih dalam tempo tertentu diperintahkan untuk mendermakan hartanya kepada yang berhak yaitu kaum dhuafa dan lain-lain (QS. At-Taubah: 60). Praktek ini kemudian dikenal dengan zakat—di samping infak dan sedekah.
Menurut Ruslan, zakat bagian dari rukun Islam yang bercorak Sosial-Ekonomi, dan menjadi salah satu syarat sah menjadi umaat Islam. Dalam sejarahnya, zakat fitri diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah, yaitu tahun diwajibkannya puasa Ramadan, dan sebelum diwajibkannya zakat mal. Dalam hadis disebutkan dari Abi Sa’id Al Khudri berkata: “Kami membayar zakat fithri berupa satu sha’ gandum atau kurma atau satu sha’ keju atau anggur kering.” (HR. alBukhari dan Muslim).
Sedangkan kadar zakat yang harus dikeluarkan seberat satu sha’ atau 2,5 kg dari bahan makanan pokok. Contoh: Harga beras di pasar rata-rata Rp. 11.500,- per kg, maka zakat fitri yang harus dibayar per orang = 2,5 kg x Rp. 11.500,- = Rp. Rp. 28.750,-. Apabila dalam sebuah rumah tangga jumlah nya 6 orang, maka zakat fitri yang harus dibayar adalah 6 x Rp.28.750,- = Rp. 172.500.
Sementara orang yang wajib membayar Zakat Fitri adalah mereka yang memiliki kemampuan (QS. At-Thalaq: 7). Maksudnya, mereka pada malam hari raya Idul Fitri memiliki kelebihan dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya, dan dibayarkan oleh orang yang menanggung nafkahnya.
Terkait waktu pembayaran, Ruslan menegaskan agar dimulai pada bulan Ramadan dan selambat-lambatnya sebelum salat Idul Fitri tanggal 1 syawal. Namun perlu dipertimbangkan aspek maslahah agar menyegerakan bayar zakat fitri untuk memberikan waktu yang lebih panjang kepada panitia dalam pendistribusiannya. Terlebih lagi jika dilakukan oleh panitia yang mencakup wilayah pengumpulan yang luas sehingga memerlukan waktu yang cukup.
Distribusi zakat fitri kepada fakir miskin di daerah lain sebelum dilaksanakan salat idul fitri, seringkali menemui kesulitan-kesulitan. Misalnya, karena sangat terbatasnya waktu untuk menyalurkan, jarak yang jauh sementara transportasi tidak tersedia secara cukup, dan kesulitan lain yang dihadapi. Hal ini mengakibatkan panitia tidak mampu mendistribusikan seluruh zakat fitrah sebelum salat idul fitri. Jika demikian, maka zakat fitrah tetap sah meskipun didistribusikan setelah salat iedul fitri.
“Jika pembagian zakat fitri dilaksanakan setelah shalat Idul Fitri disebabkan kesulitan yang tidak mampu ditanggulangi oleh panitia, maka zakat fitri yang diserahkan kepada panitia sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri tetap sah,” tegas Ruslan dalam kegiatan Sosialisasi Ketarjihan pada Jumat (15/04).
Ruslan menerangkan bahwa secara umum orang yang berhak menerima zakat adalah delapan ashnaf sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Taubah ayat 60. Namun, pada zakat fitri ada prioritas untuk orang-orang fakir dan miskin sebagaimana dijelaskan pada hadis Ibnu ‘Abbas yang menyatakan bahwa zakat fitri itu diwajibkan selain sebagai pencucian terhadap orang yang berpuasa juga sebagai santunan terhadap orang miskin.
“Tujuan zakat fitri adalah membantu fakir miskin di hari raya agar ikut bergembira sebagaimana saudara-saudaranya, dapat menyucikan jiwa muzaki dari sifat kikir dan akhlak tercela, serta dapat mendidik diri bersifat mulia dan pemurah,” ujar Ruslan.