Penjelasan Soal Amalan Puasa Nisfu Syakban

banner 468x60

BANDUNGMU.COM, Bandung — Hukum asal dari ibadah mahdlah adalah haram. Segala hal yang berkaitan dengan ibadah mahdlah mulai dari tuntunan, ukuran, waktu, volume, dan lain-lain harus disesuaikan dengan dalil Al-Quran dan Al-Sunah. Salah satu contoh yang masuk dalam koridor ibadah mahdah ialah puasa nisfu syakban.

“Membahas tentang ibadah puasa pada tanggal-tanggal tertentu maka sejatinya kita sedang memasuki syariat Islam dalam ranah ibadah mahdah. Yakni ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah tuntas di masa nabi dan tidak mengalami perubahan meski berkembangnya zaman, kecuali sebab syari yang mengharuskan,” ucap ‪Anggota Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Aabidah Ummu Aziizah seperti bandungmu.com kutip dari muhammadiyah.or.id.

Menurut Aabidah, anggapan adanya puasa di waktu pertengahan bulan sya’ban ini berangkat dari hadis riwayat Ibnu Majah melalui Ali RA: “Jika ada malam nisfu syakban, maka dirikanlah (ibadahlah) di malamnya dan puasalah di siang harinya.”

Hadis ini menurut ijma ulama berderajat daif (lemah) karena salah satu rawinya yang terkenal sebagai pemalsu hadis sehingga hadis-hadis yang diriwayatkannya akan terjatuh pada kategori hadis palsu.

Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Namun, ada beberapa hadis tentang puasa di bulan Syakban riwayat Bukhari dan Muslim dari jalur Aisyah yang berbunyi:

“Rasulullah berpuasa hingga kami menyangka dia berbuka hingga kami menyangka dia tidak berpuasa dan aku tidak pernah melihat Rasul menyempurnakan puasanya satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat Rasul memperbanyak puasanya daripada berpuasa di bulan Syakban”.

Ada pula hadis riwayat An-Nasai yang berbunyi: Salah satu dari kami biasa berbuka di bulan Ramadhan dan tidak mampu untuk mengqadha puasa tersebut hingga masuk bulan Syakban. Rasulullah tidak berpuasa di bulan mana pun seperti yang beliau berpuasa di bulan Syakban, beliau berpuasa sepanjang bulan itu kecuali sedikit.

Menurut Aabidah, dua hadis di atas menggambarkan bahwa Rasulullah melakukan puasa di bulan Syakban dengan teknis: (1) terkadang sebulan penuh, (2) terkadang tidak penuh tetapi tetap terhitung banyak dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Apabila dua simpulan tersebut menggunakan paradigma jam’u wa at-taufiq, akan terangkum dua hal.

Pertama, jika seorang muslim hendak puasa Syakban maka dapat melakukannya dengan puasa satu bulan penuh.

Kedua, jika seorang muslim hendak melakukan dengan tidak sebulan penuh, tetapi ingin memperbanyak puasa di bulan tersebut, dapat melakukan puasa-puasa sunnah yang telah ada seperti Senin-Kamis, ayyamul bidh, dan atau bahkan puasa Daud. Bukan bermakna membuat puasa Syakban sendiri seperti sepekan penuh dan seterusnya.

Selain itu, terdapat tinjauan lain juga terkait hadis riwayat An-Nasai di atas yang menggambarkan Rasulullah berpuasa penuh selama bulan Syakban.

“Hal ini perlu adanya tinjauan lebih lanjut karena kebiasaan orang Arab yang sering mengatakan ‘semalaman penuh’, padahal realitanya hanyalah sebagian malam saja. Hal ini dikatakan untuk menggambarkan bahwa hal tersebut dikerjakan dengan jumlah yang banyak bukan menunjukkan pada bilangan yang bulat atau satu malam secara mutlak,” terang alumnus Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.

Oleh karena itu, Muhammadiyah meyakini bahwa tidak ada ibadah khusus dalam nisfu syakban seperti puasa di tengah bulan saja, Yasinan dan lain sebagainya. Apa yang ada hanya anjuran Rasulullah kepada umat Islam untuk memperbanyak puasa di bulan Syakban dengan teknis sebagaimana dijelaskan sebelumnya.***



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author