Oleh Shamsi Ali
Dalam catatan saya terdahulu telah saya sampaikan tiga karakteristik utama pemimpin dalam Islam yang disebutkan dalam Surah As-Sajadah. Ketiganya adalah “yahduuna bi amrinaa” (tertunjuki dengan urusan/petunjuk Kami), “lammaa shobaruu” (memiliki kesabaran), dan “bi aayaatinaa yuuwinuun” (mereka yakin dengan ayat-ayat Kami”.
Sekiranya kita menyimpulkan ketiga karakter itu dalam satu kata maka ketiganya sesungguhnya tersimpulkan dalam kata “religiositas”. Dalam bahasa keseharian agama disebut “tadayyun” atau beragama. Pelaku tadayyun itu dikenal dengan “mutadayyun” atau religious. Sebuah kata yang mencakup keseluruhan karakter keislaman seseorang, baik pada tataran kehidupan pribadi, keluarga, maupun kehidupan jama’ah (social collective).
Kehidupan keagamaan pemimpin dalam perspektif Islam menjadi sangat penting karena pertimbangan politik dalam Islam bukan sekedar berdasar kepentingan pragmatis. Bukan hitung-hitungan apa dan berapa untuk saya dan keluarga atau kelompok. Di atas dari semua itu ada pertimbangan “nilai” (value) yang mendasarinya. Dan kalau kita berbicara tentang value (nilai) maka agama dan kemanusiaan menjadi landasannya.
Kehidupan keagamaan seorang pemimpin ini kita dapat merujukkannya kepada perjalanan panjang Ibrahim AS sebagai pemimpin kemnusiaan (global leadership). Beliau harus melalui perjalanan panjang dan tempaan yang solid hingga pada akhirnya diangkat menjadi pemimpin (اني جاعلك للناس اماما).
Dalam proses menuju kepada posisi “imaamah” (kepemimpinan) Ibrahim AS ditempa sedemikian rupa sehingga solid dalam segala aspek kehidupan beragama. Akidah dan keimanan ditempa sedemikian rupa, dari tantangan/cobaan masa remaja, pemuda, hingga kehidupan keluarganya. Dari ancaman eliminasi (dihabisin) dengan dibakar hidup-hidup, pengusiran dari kampung halaman, hingga ke ujian pengorbanan dengan menyembelih anak satu-satunya.
Setelah semua proses ujian itu dilalui Ibrahim AS para akhirnya menjadi solid dalam kehidupan beragama. Pada aspek ritualnya Ibrahimlah yang diperintah untuk meninggikan fondasi Ka’bah dan mengumumkan (wa azdzin fin naas) kewajiban haji atas manusia. Ibrahim pula menjadi simbol kemuliaan mu’amalat dan prilaku, baik pada lingkungan keluarga maupun keumatan. Bahkan beliau pada dirinya digelari “ummat” (kaana ummatan).
Dengan fondasi keagamaan inilah Allah kemudian mendeklarasikannya sebagai pemimpin manusia. Sebagaimana difimankan dalam Al-Qur’an: “dan ingat ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (ujian), lalu dia (Ibrahim) menyempurnakannya. Dia (Tuhan) berfirman: seusngguhnya Aku menjadikan kamu imaam (pemimpin) bagi manusia)”.
Secara umum kehidupan beragama (religiositas seseorang) itu ada pada empat hal: 1) aspek akidah/keimanan. 2) aspek ubudiyah/amalan-amalan ritual. 3) aspek mu’amalat/koneksi sosial yang diatur secara global oleh Islam (mana halal atau haram, mana yang boleh atau tidak). 4) aspek khuluqiyah/karakter (termasuk di dalamnya karakter emosi).
Aspek akidah/keimanan seseorang itu memang tidak diketahui atau dilihat (invisible) oleh siapapun kecuali sang Pencipta dan yang bersangkutan. Tapi keimanan juga bukan suatu ruang hampa tanpa bukti-bukti. Keimanan itu akan terlihat dalam komitmen pengabdian, baik secara vertikal (hablun minallah) maupun horizontal (hablun minan naas). Tanda-tanda keimanan itu banyak disebutkan dalam banyak tempat di Al-Qur’an.
Dengan demikian kehidupan keagamaan (Iman, ibadah, akhlak) akan dengan sendirinya terekspos dalam kehidupan seseorang dan pada segala aspeknya (pribadi, keluarga dan publik). Pada aspek pribadi tentu secara common sense dapat dinilai melalui komitmen seseorang dalam sholat, baca Qur’an, dan seterusnya. Pada aspek keluarga juga dengan gamblang dapat dilihat tanpa perlu saya rincikan. Demikian pula pada aspek sosial (jama’i) akan nampak pada mu’amalat dan khuluqiyat. Kesabaran dan kemampuan mengontrol emosi misalnya menjadi pertanda keagamaan seseorang.
Yang ingjn saya garis bawahi kali ini adalah betapa blunder and konyol sebagain, apalagi mereka yang paham agama (Islam) dengan mengatakan bahwa memilih pemimpin tidak ada urusan dengan akidah dan agama. Pemikiran seperti ini, sadar atau tidak adalah pemikiran yang teracuni oleh pandangan sekularistik. Pandangan yang jelas bertentangan dengan nilai kehidupan Indonesia sebagai negara Pancasila yang berketuhanan.
Manhattan City, 4 Januari 2024