BANDUNGMU.COM, Bandung — Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah perjuangan holistik yang menyatukan perjuangan batin, perjuangan fisik dan perjuangan diplomatik. Tanpa diplomasi, maka upaya meraih kemerdekaan tidak akan memperoleh legitimasi yang sah.
Sasaran perjuangan diplomasi Indonesia, sejatinya adalah menarik perhatian, simpati dan dukungan internasional untuk perjuangan Republik yang kemerdekaannya diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sederhananya, menginternasionalisasikan masalah Indonesia.
Tak kalah berat, perjuangan diplomasi juga berulangkali dijegal Belanda. Misalnya pada kisaran April-Juni 1945 ketika PBB tengah melangsungkan Konferensi di San Fransisco, Amerika Serikat. Belanda yang hadir dalam Konferensi berusaha menjegal dengan meyakinkan para sekutunya bahwa revolusi dan kolonialisme yang terjadi di Indonesia adalah masalah lokal, bukan masalah internasional.
Hambatan-hambatan ini pelik jika Indonesia tidak memiliki para tokoh yang cerdik dan pandai dalam melakukan politik diplomasi. Beruntungnya, Indonesia memiliki para pemikir dan ahli siasat dari Muhammadiyah seperti Agus Salim, Sukarno, Djuanda, HM Rasjidi, dan Mohammad Roem yang tampil terdepan dalam membawa perjuangan Indonesia di dunia internasional.
Nama dari salah satu surah di Al-Quran
Mohammad Roem berasal dari keluarga Muhammadiyah di Parakan, Magelang, Jawa Tengah. Meski demikian, menurut Ridho Al-Hamdi dalam “Paradigma Politik Muhammadiyah” (2020), Roem tidak pernah aktif secara sturuktural di Muhammadiyah.
Lahir di Klewongan, Temanggung, pada 1908, nama Roem diberikan oleh ayahnya, Dulkarnaen Djojosasmito, dari nama surah dalam Al-Quran yakni Ar-Rum yang artinya bangsa Romawi. Dulkarnaen memberikan nama Roem karena seluruh nama khalifah Islam yang empat (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali) sudah terlebih dulu dipakai oleh kakak-kakaknya.
Ketika Dulkarnaen kehabisan nama lalu membuka Al-Quran, halaman yang terbuka pertama adalah surat Ar-Rum. Demikian catat M Dzulfikriddin dalam M Natsir dalam “Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia” (2010).
Sentuhan langsung murid KH Ahmad Dahlan
Persentuhan Mohammad Roem secara kultural dengan Muhammadiyah semakin kuat ketika dia berpindah tempat tinggal ke Pekalongan, Jawa Tengah.
Agus Sumiyanto dkk dalam “Menjadi Muhammadiyah” (2022) menulis bahwa pada awal 1923, saat berusia 12 tahun dan duduk di kelas lima HIS, Roem telah mengikuti rapat umum di suatu gedung bioskop yang diisi dengan pidato politik ketua Sarekat Islam ketika itu Tjokroaminoto sekaligus tablig dari pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Berkat tablig itu, kakaknya, Ranuwiharjo, bersama AR Sutan Mansur, Citrosuwarno, Abdul Hadi, dan Soewondo mendirikan Muhammadiyah Cabang Pekalongan sekaligus amal usahanya, yaitu HIS Muhammadiyah dan kegiatan tablig serta pengajian sore untuk anak-anak. Kegiatan ini direspons negatif umat Islam tradisional sehingga Roem dan kakaknya kemudian pindah kampung dari Derpowangsan.
Setelah lulus HIS pada 1924, Roem melanjutkan pendidikan di STOVIA Jakarta dan aktif dalam Jong Islamieten Bond dan kursus agama Islam yang dipimpin senior Muhammadiyah bernama H Agus Salim.
Di sela liburan, dia bersama Kasman Singodimedjo belajar langsung ke Kauman mengikuti pengajian dari murid-murid KH Ahmad Dahlan, seperti Kiai Hadjid, Kiai Fachrodin, dan Hadji Sudja.
Roem yang memiliki hobi berkuda itu tercatat menempuh pendidikan di Volkschool, HIS, Stovia, AMS, GHS (sekolah tinggi kedokteran), dan RHS (sekolah tinggi hukum) dengan gelar Mr atau Mister (ahli hukum).
Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, dan KMB
Setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami “status quo” karena Jepang menyerah kepada sekutu, sedangkan ketika itu pemerintah Indonesia belum memiliki kekuatan mapan. Kekosongan kekuasaan ini menyebabkan Belanda berusaha kembali menguasai Indonesia.
Pada September 1945, tentara sekutu, AFNEI, yang datang dengan tujuan melucuti senjata tentara Jepang dan menyerahkan pemerintahan kepada pemerintah sipil ternyata diboncengi oleh Belanda dengan menggunakan nama Netherlands Indies Civil Administration atau NICA.
Keinginan Belanda untuk kembali menduduki menjajah pun menyulut amarah dan kebencian bangsa Indonesia. Berbagai peperangan pun tidak terhindarkan, salah satunya adalah peristiwa 10 November.
Tidak hanya itu, Indonesia sampai 1946 kemudian memasuki periode “bersiap”, masa kelam ketika kaum pribumi melancarkan balas dendam dan perburuan pada orang-orang sipil Belanda di Tanah Air. Akibat peristiwa sebanyak 3.500 hingga 20.000 orang terbunuh dalam.
Kekacauan ini akhirnya melatarbelakangi lahirnya usaha gencatan senjata dan diplomasi untuk menegaskan kedaulatan Indonesia di dunia internasional yang semuanya dimulai dari perundingan Linggarjati pada 1946.
Keras seperti kuda
Sebagai kader Muhammadiyah di bidang politik, integritas Mohammad Roem tidak diragukan. Roem yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Sjahrir III tampil gigih saat masuk dalam anggota delegasi Indonesia di Perundingan Linggarjati.
Di bawah pimpinan Sutan Sjahrir, perundingan Linggarjati yang bermula dari 11-15 November 1946 baru bisa ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.
Penyebabnya adalah kritisisme Mohammad Roem, termasuk juga penolakan dari faksi-faksi nasionalis di dalam negeri. Salah satunya Muhammadiyah lewat Sidang Pleno Masyumi di Yogyakarta pada 20-21 November 1946.
Ketua delegasi Belanda yang bernama Willem Schermerhorn dalam catatan hariannya menulis bahwa awalnya ia menyangka sosok Roem mudah diajak berunding.
Namun, belakangan dia terkejut karena Roem ternyata amat mendetil dalam melihat aspek-aspek terkait perundingan dari istilah sampai pasal-pasalnya yang dinilai merugikan Indonesia. Bahkan Schermerhon menyebut sosok Roem sangat galak, bandel, dan suka meronta-kuda dalam perundingan itu.
Iin Nur Insaniwati dalam “Mohammad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968” (2002) mencatat Roem pada hari terakhir perundingan 15 November mengkritisi pasal 1 yang dianggap tidak tepat sebab penyerahan kekuasaan wilayah yang diduduki Belanda dan sekutu dirumuskan dengan pengertian de jure. Padahal, hal yang dimaksud hanya kekuasaan de facto. Akibatnya, penandatanganan ditangguhkan.
Naskah persetujuan Linggarjati yang terdiri 17 pasal itu ternyata juga ditentang hebat oleh Parlemen Belanda ataupun Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Parlemen Belanda menyetujui 30 Desember 1946, sedangkan KNIP menyetujui ratifikasi pasal-pasalnya pada 5 Maret 1947 setelah melalui sidang-sidang yang cukup sulit.
Ridho Al-Hamdi menulis perundingan ini membawa dampak negatif, yakni wilayah Republik Indonesia jadi sempit karena wilayahnya hanya mencakup Sumatera, Jawa, dan Madura. Luas wilayah ini bertentangan dengan aspirasi wilayah RI berdaulat atas Hindia Belanda.
Sementara itu, dari sisi positifnya, Iin Nur Insaniwati menulis Republik Indonesia diakui secara de facto oleh beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, sedangkan negara-negara Arab mengakui RI secara de jure atas inisiatif sendiri.
Pengakuan ini juga berarti sebagai pengakuan atas peralatan-peralatan RI, yakni hubungan luar negeri dan angkatan bersenjata. Meskipun persetujuan Linggarjati kemudian tidak diakui lagi oleh Belanda, pengakuan kedaulatan Indonesia dari negara-negara lain tidak dapat dicabut kembali.
Mempermainkan mental Belanda
Pada prakteknya, Perjanjian Linggarjati menimbulkan perbedaan tafsir antara Indonesia dan Belanda. Belanda menganggap masih memegang kedaulatan de jure sehingga berhak membentuk RIS, sedangkan Indonesia memahami posisi Belanda hanya sebagai kooperator.
Perbedaan ini akhirnya menimbulkan ultimatum dari kerajaan Belanda pada Perdana Menteri Sjahrir tanggal 27 Mei 1947 untuk tunduk pada penafsiran kedudukan istimewa Belanda.
Pengganti Kabinet Sjahrir III, yaitu Kabinet Amir Sjarifuddin I, menolak ajakan Belanda untuk membentuk gendmarie, yakni suatu badan kepolisian bersama antara RI dan Belanda sehingga situasi pun tegang kembali.
Belanda tiba-tiba menyatakan tidak terikat pada persetujuan Linggarjati dan melakukan agresi militer besar-besaran pada 21 Juli 1947. India, Australia, dan Uni Soviet mendukung posisi Indonesia. Atas inisiatif Australia, DK PBB terlibat menengahi konflik ini sejak 4 Agustus 1947 lewat Komisi Tiga Negara (Belgia, Australia, dan Amerika Serikat).
Komisi ini juga menyetujui diadakannya perundingan di tempat netral, yaitu kapal Renville milik AS pada 8 Desember 1947. Mohammad Roem yang masih menjabat sebagai Mendagri terlibat sebagai anggota delegasi bersama dua orang tokoh Muhammadiyah lain, yaitu Djuanda Kartawidjaja dan Agus Salim, serta beberapa tokoh bangsa lainnya.
Persetujuan Renville periode awal ini secara umum ditolak bangsa Indonesia karena semakin memperlemah posisi Indonesia. Kabinet Amir pun bubar dan digantikan Kabinet Hatta I. Pertengahan Maret 1948 Mohammad Roem dipilih sebagai ketua delegasi. Posisi Indonesia yang sudah sulit dan di tepi jurang menuntut Roem berhasil mempertahankan wilayah RI dalam perjanjian itu.
Karena posisi yang serba sulit, Mohammad Roem bertindak sangat hati-hati dan memakai strategi memainkan mental delegasi Belanda. Tjiptoning dalam buku “Apa dan Siapa” (1951) mencatat bahwa sikap Roem yang acuh-tak acuh dalam perundingan Renville dianggap meledek para delegator lawan.
“Belanda kadang-kadang jengkel dan hilang kesabarannya kalau berunding dengan Roem. Bukan karena Roem selalu saja berkedap-kedip, tetapi juga karena kesabaran dan ketenangannya itu. Kita dapat mengerti kalau seseorang sedang menyerang tapi dilihatnya yang sedang diserang sedang acuh tak acuh, si penyerang jadi jengkel. Sering lantas jadi kurang hati-hati, terlanjur dan mengeluarkan pernyataan yang kemudian menjadi penyesalan. Sebenarnya, memang di sanalah letak kekuatan Roem. Tenang dan sabar. Selalu berhati-hati, tidak tergesa-gesa.”
Tahanan politik
Perundingan Renville yang buntu karena Indonesia gigih menolak permintaan Belanda, menyebabkan Belanda melakukan blokade ekonomi. Posisi lemah Indonesia ternyata dimanfaatkan PKI-Muso untuk melakukan kudeta. Akibat pengkhianatan PKI, Belanda memanfaatkannya dengan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948 ke ibu kota darurat Indonesia di Yogyakarta.
Pada serangan ini, Mohammad Roem ditawan sebagai tahanan politik bersama Sutan Sjahrir, Sukarno, Moh. Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara. Sukarno dan Agus Salim dibuang ke Bangka, sedangkan Roem dibuang ke Pesanggrahan Timah di Muntok. Panglima Sudirman yang baru keluar dari rumah sakit, kembali mengangkat senjata dan bergerilya.
Untungnya pada agresi ini Presiden Sukarno sempat mengirim radiogram ke Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, termasuk plan b perintah membentuk pemerintah pelarian (exile government) jika Sjafrudin gugur dalam tugas.
Agresi Militer Belanda II yang kemudian dibalas dengan aksi heroik pejuang Indonesia dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 merugikan nama dan posisi Belanda di mata politik internasional. Amerika Serikat mendesak perundingan kembali, sedangkan negara-negara Asia menyatakan protes dan serentak menutup akses udara bagi pesawat-pesawat Belanda.
Ajakan Komisi PBBU, UNCI, untuk diadakannya perundingan kembali disetujui Mohammad Roem dengan prasyarat, yakni mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta, termasuk pembebasan tahanan politik seperti Presiden Sukarno dan kawan-kawan. Setelah syarat terpenuhi, perundingan dengan delegasi Belanda yakni Van Royen dimulai pada 12 April 1949 di Hotel Des Indes Jakarta.
Pada perundingan itu, Van Royen mengucap pidato pembukaan dengan lemah lembut, sebaliknya pidato Roem sangat keras dan tegas. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua delegasi RI bahkan menganggap pidato Roem “agak seram”.
“Agresi militer Belanda yang kedua telah mengakibatkan hilangnya sama sekali sisa kepercayaan rakyat Indonesia bagi berhasilnya suatu perundingan damai. Resolusi DK-PBB tanggal 28 Januari 1949 harus dilaksanakan dan langkah pertamanya harus berupa pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta. Setelah itu, baru soal-soal lain bisa dibicarakan kemudian,” ucap Roem.
Konferensi Meja Bundar
Pada 7 Mei 1949, tercapai kesepakatan perundingan Roem-Royen antara kedua belah pihak. Salah satu pokok persetujuan Roem-Royen adalah pelaksanaan sidang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada tahun yang sama. Perundingan Roem-Royen juga berhasil mengakhiri ambisi pembentukan negara federal di Indonesia oleh Belanda.
Menanggapi kesepakatan Roem-Royen, Panglima TNI Jenderal Soedirman mengaku kurang setuju jika RI harus berunding kembali. Pasalnya, pasukan dan laskar-laskar gerilya sudah berada pada posisi menguntungkan untuk memukul pasukan Belanda. Selain itu, Soedirman khawatir perundingan nanti (KMB) merugikan RI kembali seperti kasus Linggarjati dan Renville.
Melalui pesan radiogram pada Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara pada 25 April 1949 Jenderal Soedirman menyatakan kekhawatirannya, “Keadaan semenjak tanggal 19 Desember 1948 menjadi bukti nyata bahwa perundingan di masa lampau hasilnya hanya penderitaan pahit belaka, yang tidak dapat dilupakan oleh tiap-tiap orang yang benar-benar berjuang. Dalam menghadapi kemungkinan perundingan terakhir, yang akan menentukan nasib dan bangsa kita, kita harus bulat satu, teliti, dan hati-hati.”
Satu bulan setelah perjanjian Roem-Royen ditandatangani, tepatnya pada 2 Juni 1949, wilayah Yogyakarta pun dilakukan pengosongan dari tentara Belanda.
Pengosongan ini dilakukan di bawah pengawasan United Nations Commissioner for Indonesia (UNCI). Kota Yogyakarta dipilih sebagai lokasi pengosongan dan pembebasan tawanan karena pada saat itu Yogyakarta berperan sebagai ibu kota sementara Indonesia.
Setelah itu, pada 3 Agustus 1949, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai dari Jawa dan Sumatera. Kemudian, Konferensi Meja Bundar pun mencapai seluruh kesepakatan dalam pertemuan tersebut, kecuali masalah Papua-Belanda.
Akhir hidup Mohammad Roem
Setelah masa-masa pelik memperoleh pengakuan kedaulatan di dunia internasional rampung, Roem aktif dalam kegiatan politik bersama partai-partai Islam. Pada era pemerintahan Soekarno, Roem menjadi politisi yang kritis sehingga pernah jadi tahanan politik bersama Sutan Sjahrir.
M Dzulfikriddin dalam bukunya, “M Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia”, (2010) mencatat Roem bersama Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 1970-an selepas aktif dari Masyumi dan Parmusi. Selain itu, Roem juga berkhidmat bersama Partai Bulan Bintang.
Singa podium Muhammadiyah ini akhirnya wafat dalam usia 75 tahun pada 24 September 1983 akibat gangguan paru-paru. Sampai tulisan ini diproduksi, Roem belum mendapatkan gelar resmi Pahlawan Nasional.
Jabatan Roem semasa hidup antara lain Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947), Menteri Luar Negeri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 20 Maret 1951), Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953), dan Wakil Perdana Menteri I pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956).***
___
Sumber: muhammadiyah.or.id
Editor: FA