ALASAN MEMILIH KHGT
Salah satu keputusan penting Munas Tarjih Pekalongan 23-25 Februari 2024 adalah penerimaan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT). Upaya untuk unifikasi kalender Hijriyah ini telah menjadi perhatian Majelis Tarjih dan Pimpinan Muhammadiyah semenjak lama dan diperkuat dengan amanat dari Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar dan ke-48 di Surakarta. Upaya untuk memenuhi kalender global ini tidak lepas dari dua hal.
Pertama, setelah ribuan tahun, umat Islam belum memiliki kalender yang reliabel sebagai acuan dalam amal ibadah, seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha karena pada event-event tersebut kalender bisa berubah akibat kemampuan rukyat manusia yang juga kurang reliabel.
Kedua, untuk ibadah shalat sehari-hari waktu atau jam telah mampu mengkonversi fenomena alam ke dalam hitungan. Buahnya, umat Islam tidak perlu lagi untuk melihat posisi matahari secara langsung untuk menjalankan ibadah shalat.
Oleh karena itu, pikiran untuk melakukan unifikasi kalender Hijriyah telah menjadi perhatian Majelis Tarjih maupun pimpinan Persyarikatan. Dalam buku Unifikasi Kalender Hijriyah yang diterbitkan Majelis Tarjih dan Tajdid tahun 2015 ditegaskan bahwa upaya penyatuan kalender Islam itu bukan sekedar untuk menyikapi perbedaan awal Ramadhan dan Syawal.
Tetapi, unifikasi dibutuhkan sebagai respon atas kebutuhan untuk mendapatkan kepastian dan kemapanan dalam kalender Hijriyah. Ada tiga alasan unifikasi kalender yang dikemukakan Majelis Tarjih.
1. Kalender itu sepatutnya dapat meramal waktu hingga jauh ke depan untuk memberi kepastian.
2. Kalender dapat merunut waktu ke belakang karena adanya logika pasti, bukan karena diskresi
3. Kalender dapat menempatkan waktu waktu ibadah umat Islam.
KELEMAHAN KRITERIA IMKANUR RUKYAT DAN WUJUDUL HILAL
Saat ini, ada dua metode besar dalam penentuan kalender Islam, yaitu rukyat dan hisab. Aplikasi rukyat dengan bantuan panduan hisab melahirkan kriteria Imkanur Rukyat (IR) yang dipakai oleh Pemerintah RI. Aplikasi hisab cukup beragam, dan di Muhammadiyah aplikasi tersebut menggunakan kriteria wujudul hilal.
Di Muhammadiyah sendiri sejak tahun 1938 teori wujudul hilal mulai dikenal, sebagai jalan tengah antara rukyat murni dan hisab murni. Pada Munas Tarjih ke-26 tahun 2003, teori atau kriteria wujudul hilal kembali dikukuhkan sebagai metode dalam penentuan penanggalan Hijriyah, termasuk dalam penentuan ibadah Islam. Meski teori wujudul hilal secara argumentasi syar’i dan sains sangat kuat, namun ada keterbatasan di dalamnya. Demikian pula dengan Kriteria Imkanur Rukkyat (IR).
1. Kelemahan Imkanur Rukyat
Kriteria Imkanur Rukyat adalah kriteria yang disepakati oleh MABIMS, yaitu Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Kriteria tersebut mengalami revisi hingga melahirkan kriteria neo-MABIMS saat ini. Kriteria tersebut merupakan gabungan antara rukyat dan hisab, namun dengan rukyat sebagai penentunya. Meskipun kriteria IR berusaha untuk menutupi celah kelemahan rukyat dengan pengawalan hisab, tetapi masalah dasar yang dihadapi metode rukyat terkandung di dalam kriteria IR.
Pertama, masalah rukyat dan IR adalah kurangnya kemampuan untuk memprediksi waktu yang jauh, baik ke depan maupun ke belakang karena awal bulan tetap ditetapkan berdasarkan rukyat yang hanya dipastikan sehari sebelum datangnya awal bulan. Itu pun hasil rukyat membuka kemungkinan awal bulan terjadi esok hari atau lusa berdasarkan keterlihatan hilal.
Kedua, metode rukyat kurang reliabel (kurang handal) karena hilal yang secara teori sudah di atas ufuk dalam ketinggian yang memungkinan terlihat, tetapi tidak terlihat karena faktor cuaca, ketinggian tempat, dan ketajaman mata perukyat. Karena itu, akan terjadi situasi dimana pengetahuan melalui hisab telah memastikan tinggi hilal bisa dirukyat, tetapi hilal tidak mampu dirukyat sehingga terjadi pemunduran awal bulan.
Ketiga, rukyat bersifat lokal, paling banter hanya berlaku atau ditransfer dalam satu negara. Akibatnya bisa terjadi perbedaan awal bulan Hijriyah antarnegara yang berdekatan dan perbedaan waktu Hari Arafah antara Saudi Arabia dengan negara-negara lain.
Keempat, penetapan awal bulan Hijriyah oleh otoritas politik bisa menimbulkan persoalan. Pada beberapa kasus, hasil rukyat ditolak oleh kekuatan yang lebih bisa mempengaruhi keputusan sidang itsbat. Kondisi demikian pernah dialami oleh Kalender Julian, sebelum akhirnya dipergunakan acuan murni pada fenomena alam tanpa harus bersandar pada keputusan otoritas politik.
Satu-satunya hal yang membuat rukyat dipertahankan adalah pandangan yang tekstual bahwa Nabi Muhammad menentukan awal bulan dengan rukyat, demikian pula para penguasa muslim. Selain itu, masalah fakta natural dari fenomena alam ini diselesaikan dengan dalil politik, yaitu ketaatan kepada imam. Pada akhirnya, pemutus masalah ilmu adalah kekuasaan politik. Meski ini telah berlaku dalam sejarah Islam, namun hal demikian bukan hal ideal dalam penyusunan kalender yang mengikuti fakta sains.
2. Kelemahan Wujudul Hilal
Kriteria wujudul hilal (WH) yang dipakai bertahun-tahun oleh Muhammadiyah sebenarnya sudah mapan. Kriteria tersebut juga telah memenuhi harapan kepastian yang membuat kalender Hijriyah bisa memprediksi waktu jauh ke depan maupun ke belakang. Kriteria wujudul hilal juga mampu menerjemahkan ayat-ayat Alquran mengenai reliabilitas fenomena pergerakan benda-benda langit, yaitu matahari dan rembulan, dan pentingnya hilal untuk menentukan tanggal dan bulan Hijriyah.
Namun kelemahan pokok kriteria wujudul hilal adalah sifatnya yang lokal. Di dunia, hanya Muhammadiyah yang mempergunakan kriteria wujudul hilal. Akibatnya, kepastian kalender Hijriyah yang diharapkan oleh Muhammadiyah hanya bisa direalisasikan oleh Muhammadiyah secara internal. Hal demikian belum menyelesaikan masalah perbedaan waktu antara-negara dan yang lebih penting belum menyelesaikan perbedaan hari pelaksanaan ibadah yang terkait dengan tanah suci, khususnya hari Arafah.
Oleh karena itu, meski telah bersusah payah dalam merumuskan, mensosialisasikan, dan mempraktekkan kriteria WH, Persyarikatan, melalui Majelis Tarjih, mengambil langkah strategis. Munas Tarjih Pekalongan tahun 2024 memutuskan untuk mengadopsi KHGT.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MENERIMA KHGT
1. Kelebihan KHGT
Kriteria KHGT dipilih untuk diterapkan pada tahun depan oleh Persyarikatan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, KHGT memiliki kemampuan prediksi jauh ke depan atau ke belakang karena landasannya adalah hisab. Hal itu menunjukkan bahwa secara prinsip KHGT masih mencerminkan metode yang selama ini dipakai Muhammadiyah, yaitu hisab.
Kedua, KHGT menggunakan kriteria Imkanur Rukyat, yang banyak dipakai oleh negara Islam. Hal itu memungkinkan adanya kompromi dan penerimaan terhadap KHGT melampaui organisasi Muhammadiyah, bahkan melampaui batas negara. Karena KHGT diputuskan oleh Konferensi Internasional di Turki tahun 2016 yang diikuti 150-an ahli dari 60 negara, maka KHGT memiliki legitimasi yang kuat dan bila diikuti secara konsisten akan menjadi solusi perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriyah oleh umat Islam.
Ketiga dengan pengakuan satu matla’ di seluruh dunia dan transerabilitas imaknur rukyat maka aplikasi KHGT bersifat global, bukan lagi lokal. Selain dapat menyatukan kalender di dunia Islam, kondisi tersebut dapat menghilangkan perbedaan awal bulan Hijriyah antarnegara. Yang terpenting, tidak akan terjadi perbedaan pelaksanaan Idul Adha dan Hari Arafah antara Arab Saudi dengan negara-negara lain sehingga ibadah Islam memiliki kepastian dan kesamaan waktu.
2. Kekurangan KHGT
Selain kelebihan-kelebigan di atas, KHGT juga memiliki kelemahan yang mungkin menimbulkan keberatan. Pertama, penerimaan KHGT membuat Muhammadiyah seolah membuang Kriteria Wujudul Hilal yang selama ini diamalkan dan dipertahankan dengan susah payah. Penerimaan KHGT seolah membuat perjuangan berdarah-darah dalam penerapan dan pelaksanaan hasil aplikasi Kriteria Wujudul Hilal menguap begitu saja.
Kedua, ada beberapa isu yang masih menimbulkan proses penerimaan dari sebagian kalangan di Persyarikatan sendiri, yaitu: perpindahan hari yang terjadi pada jam 00.00.00 dan hilangnya hilal sebagai variabel penentu perpindahan bulan. Selama ini sudah mengakar di kalangan masyarakat satu pemahaman bahwa hari dan bulan Hijriyah dimulai setelah Maghrib. Perubahan awal hari menjadi jam 00.00.00 dalam KHGT membawa norma baru yang berbeda dengan pemahaman yang mapan selama ini. Hal demikian bisa dimaklumi, meski sebenarnya tidak ada nash yang menyatakan secara jelas bahwa awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai pada waktu Maghrib.
Penekanan pada ijtima’ sebagai variabel pokok penentuan awal bulan menimbulkan pertanyaan mengenai aplikasi hadis-hadis mengenai Rukyatul hilal. Hal demikian seolah menjadi pembenaran tuduhan tentang terabaikannya hadis-hadis rukyat sebagai penjelas Alquran dalam penetapan kalender Hijriyah.
Namun, perubahan ini pun bisa dipahami jikalau hadis-hadis rukyat dipahami berdasarkan alasan hukum penggunaan rukyat yang juga disebutkan di dalam hadis Nabi Muhammad: khususnya Inna ummatun ummiyatun dan ketika rukyat itu dipahami sebagai persoalan instrumental, bukan praktek ibadah.
Oleh karena semangat KHGT adalah kesatuan kalender umat Islam dan ikut keputusan Konferensi atau Muktamar Kesatuan Kalender Hijriyah Turki tahun 2016, maka KHGT pun diterima oleh Munas Tarjih Pekalongan tahun 2024. Keberatan-keberatan yang ada dikesampingkan untuk tujuan yang lebih besar.
*Ahwan Fanani saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah