Oleh: Zaedi Basiturrozak
MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Bulan Ramadan adalah bulan penuh kemuliaan dan ampunan bagi kaum beriman. Sebagai bentuk pernyataan iman sekaligus momentum dalam mengejar derajat takwa, maka setiap insan beriman akan bergembira menyambut ibadah puasa.
Selaras dengan firman Allah yang termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183, puasa merupakan ibadah yang sangat personal, hanya individu yang melaksanakan dan Allah saja yang tahu.
Di mata manusia, kita akan tetap dianggap puasa meski kita berbuka secara rahasia, namun tidak di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu pentingnya peran iman dalam membimbing segala tindak laku manusia agar seiring dengan spirit puasa.
Puasa menjadi tantangan sekaligus juga menjadi baterai atas keimanan kita. Bagi seseorang yang tidak tahan terhadap godaan dan larangan dalam puasa, tentu saja hal ini akan melemahkan spirit iman dan menurunkan kualitas individu dalam berbakti kepada sang khalik.
Namun sebaliknya, puasa jika dihayati secara mendalam dapat memupuk sekaligus meningkatkan keimanan seseorang dan akan menuntun seseorang dalam merengkuh ketakwaan sebagaimana Allah janjikan.
Takwa yang tidak hanya dimaknai sebagai bentuk ketakutan oleh seorang hamba kepada sang khalik, melainkan lebih dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab individu dalam setiap lakunya dan juga sebagai bentuk kesempurnaan psikologis seseorang.
Pengertian takwa bila merujuk pada pengertian yang dikemukanan olah imam Al Ghazali dalam Minhajul Abidin mengandung tiga dimensi makna.
Pertama, takwa dimaknai sebagai perilaku takut atau tunduk. Makna tersebut tercermin dalam Al Quran surat Al-Baqarah (281). Kedua taqwa dimaknai sebagai taat dan beribadah (Ali ‘Imran:102). Dan ketiga, takwa dimaknai sebagai ketaatan dan beribadah. Selain itu, Abu Hurairah mengilustrasikan takwa ketika ditanya oleh seseorang mengenai apa itu taqwa.
“Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya? Orang itu menjawab, ”Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur,” Abu Hurairah cepat berkata, Itulah dia takwa!”
Uraian makna takwa di atas menyiratkan suatu kondisi mental seseorang dalam menjalankan kehidupannya. Maqam takwa diraih tidak dengan cara-cara yang instan, melainkan memerlukan proses dan riyadah yang konsisten untuk dapat merengkuhnya.
Jika kita padankan dengan konsep kesejahteraan psikologis, maka individu yang bertakwa tentunya memiliki karakteristik tertentu yang sudah terbentuk dan menjadi aspek utama dalam menimbang dan memutus setiap laku yang akan dimunculkan.
Konsep tersebut tidak semata dimaknai secara dogmatis atau ritus agama semata, melainkan melibatkan aspek psikologi seperti persepsi dan sikap yang mengarah pada tujuan hidup, sikap positif dan kepuasan hidup.
Dimensi psikologi takwa Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan sebuah maqam jiwa yang utuh dan mapan. Ryff (1989) menjelaskan beberapa dimensi yang menjadi indikasi seseorang telah mencapai kesejahteraan jiwa.
Adapun dimensi tersebut meliputi sikap positif dalam memandang diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Selain itu, jiwa yang sejahtera juga ditandai dengan kemampuan individu dalam membuat keputusan, mengontrol perilaku, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan agar kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup, dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan diri.
Memandang positif terhadap diri dapat dipahami sebagai sikap menghargai segala bentuk potensi yang yang melekat pada diri seseorang dan dapat memaksimalkannya menjadi sebuah perilaku yang mengarah pada capaian hidup, nilai hidup, dan spiritualitas.
Orang yang memandang positif terhadap dirinya juga akan mendasarkan semua perilakunya terhadap batasan nilai subyektif individu dalam merespons dan berperilaku kepada orang lain. Sehingga berimplikasi terhadap adanya sikap positif terhadap orang lain, bahkan terhadap semua makhluk.
Sikap positif ini selaras dengan ciri insan takwa yang senantiasa menjauhkan diri dari sikap negatif terhadap orang lain, syak wasangka, dan selalu bercermin diri terhadap setiap perilaku yang didasarkan pada ketetaatan dan kehati-hatiannya dalam mengabdi kepada Sang Pencipta.
Dimensi ketaatan dan ketakutan seorang hamba kepada Tuhannya adalah sebuah sikap yang berimplikasi pada keseimbangan perilaku hidup (Habluminallah, Wahablumminannas). Bukan semata-mata persoalan pahala, surga ataupun neraka, akan tetapi sebagai sarana membina hubungan baik antar manusia dan dengan Tuhan.
Orang dengan kesejahteraan psikologis juga memiliki daya dalam menentukan setiap keputusannya dan mengontrol perilakunya. Hal ini sejalan dengan dimensi takwa yang difahami sebagai bentuk kesadaran akan nilai spiritualitas yang menjadi sandaran setiap laku manusia.
Pengertian ini bila merujuk pada riwayat Abu Hurairah di mukadimah tulisan, bahwa orang dengan taraf ketaqwaan yang baik akan selalu berhati-hati dalam tindak lakunya. Perilaku hati-hati ini menjadi kekuatan tersendiri dan terinternalisasi menjadi norma subyektif berdasarkan koridor nilai baik dan buruk yang tertuang dalam hadis maupun Al Quran.
Oleh karena itu, orang yang telah mencapai ketakwaan pasti mampu meninggalkan perkara batil. Batil dari kacamata dzahir manusia maupun yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT. Berkelindan dengan itu juga mampu menentukan perilaku yang tepat demi kepuasan batiniyah yang bersih dan Illahiyah.
Adanya kemampuan dalam mengontrol perilaku diri tersebut juga dapat mengatur lingkungannya agar sejalan dengan apa yang menjadi prinsip, tujuan serta lingkup dalam memaksimalkan potensi diri secara makasimal. Yang demikian ini menjadi cerminan bahwa manusia dengan karakter tersebut sebagai pribadi yang sejahtera secara psikologis.
Puasa Sebagai Jalan Kesejahteraan
Puasa sebagai madrasah dalam membimbing iman menuju ketakwaan, tentu saja mengajarkan banyak hal terkait amalan dan kebaikan. Setiap kebaikan yang kita lakukan dilipatgandakan pahala dan juga dimudahkan dalam hal pengampunan atas setiap dosa.
Ketika seseorang mampu menghayati keutamaan dan kemuliaan ibadah puasa, tentu mereka akan sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian dalam menapakinya. Aktivitas ibadah baik secara fisik dikerjakan secara totalitas baik fardhu maupun sunnah.
Begitu juga dengan zikir yang menjadi sarana internalisasi iman selalu hadir dalam setiap desir nadi dan nafas kita. Takwa dalam dimensi kesejahteraan psikologi mengajarkan kita dalam memaknai setiap sikap dan perilaku.
Puasa mengandung spirit perjuangan untuk menempa diri agar menjadi individu yang memiliki jiwa yang kuat dan tangguh. Dengan melaksanakan puasa secara sungguh-sungguh dapat membentuk pribadi yang memiliki taraf kemampuan dalam menentukan perilaku yang baik sekaligus menjadi penegasan perilaku bagi diri maupun lingkungannya.
Keutuhan persepsi dan sikap yang dibentuk selama puasa juga dapat membuahkan sikap positif dan kemandirian seseorang dalam berperilaku berdasarkan nilai subjektif yang terbentuk dari proses internalisasi nilai kebajikan yang diamalkan selama berpuasa. Wallahu ‘alam Bishawab
*penulis adalah Bendahara Umum PP Pemuda Muhammadiyah
Editor: Fauzan AS