Oleh: Lina Sellin, Penulis buku
BANDUNGMU.COM, Bandung — Beberapa hari ini saya merasa terganggu dengan sebuah aroma dari salah satu toko kue di pinggir jalan.
Rasanya kok haruuum sekali, sampai-sampai saya memutuskan untuk mampir dan membelinya.
Tapi entah kenapa, meski berhari-hari saya tertarik dengan aroma kue itu, nyatanya begitu masuk mulut, rasanya tak senikmat aroma kuenya.
Rasanya, mohon maaf, biasa saja. Saya pun dengan terpaksa tidak melanjutkan memakan kue tersebut, karena bukan hanya mulut saya menolak, tapi juga seperti ada yang menggedor-gedor nurani.
Saya seperti didemo oleh hati nurani, bahwa, kadang apa yang kita impi-impikan, yang kita bayangkan dan harapkan, tak lagi “nikmat” begitu kita sudah berhasil meraihnya.
Kita memimpikan rumah mewah dan kendaraan mentereng, misalnya, begitu semua sudah kita genggam, justru tak lagi senikmat saat kita mengharapkannya.
Atau malah, kita justru terpenjara olehnya. Hal ini pernah saya alami saat saya amat memimpikan sebuah kendaraan.
Begitu saya mampu meraihnya, saya justru malah merasa khawatir, takut, gelisah, kalau-kalau kendaraan itu hilang digondol maling.
Akhirnya, saya berikan kendaraan itu secara cuma-cuma kepada kakak saya, supaya saya bisa merasakan ketenangan kembali, yang selama itu terenggut hanya karena urusan kendaraan!
Konsep rezeki
Pun begitu dengan urusan rezeki. Bisa jadi, aroma yang begitu harum dan mampir ke hidung saya memang hanya diperuntukkan bagi rezekinya “hidung”.
Namun, saya memaksanya dengan meyakinkan diri bahwa itu bisa jadi juga merupakan rezekinya “mulut”, sehingga saya merasa kecewa begitu apa yang masuk ke mulut tak senikmat dengan apa yang saya hirup.
Peristiwa ini mengingatkan saya pada konsep rezeki yang lebih luas. Kadang, kita merasa iri pada rezekinya orang lain, rezeki makhluk lain, lalu abai terhadap apa pun yang menjadi rezeki diri sendiri.
Kita lupa berterima kasih pada apa pun yang menjadi perantara rezeki itu mampir ke tangan kita, dan bahkan lupa berterima kasih pada Sang Pemberi Rezeki.
Sehingga, bukan hanya kita merutuki si perantara rezeki, kita juga bahkan merutuki Tuhan, sebagai Sang Pemberi.
Kita marah dengan jatah rezeki kita, lalu menuntut Tuhan untuk memberi lebih. Padahal kalau mau direnungkan, bisa jadi, wadah kita memang hanya sebesar itu, sehingga kalau memaksa Tuhan untuk memberi melebihi “wadah” kita, bisa jadi kita justru akan terpenjara olehnya atau bahkan mati overdosis karenanya.
Toh, bukankah sudah banyak kasus orang yang tadinya hidup dengan tenang, dengan kekayaan secukupnya, lalu mendadak mati justru pada saat ia mendapat segunung rezeki (dari lotre, misalnya)?
Maka, benarlah apa yang dinasihatkan Imam Ali, “Harta itu letaknya di tangan, dan bukan di hati.”
Juga, sungguh benar apa yang disampaikan Nabi, bahwa tugas kita “hanya” lah menanam. Sementara urusan panen atau tidak di hari esok, itu mutlak urusan Tuhan—yang lebih tahu ukuran “wadah” kita yang sebenarnya.
Wallahu alam. **