Sejarah Otto Iskandardinata Dijuluki “Si Jalak Harupat”

banner 468x60

BANDUNGMU.COM, Bandung — Meskipun populer dan nyaring didengar, tetapi jarang dikenal. Demikianlah gambaran dari sosok pahlawan nasional asal Muhammadiyah yakni Raden Otto Iskandardinata.

Wajahnya tercetak pada lembar mata uang Rupiah pecahan 20 ribu, emisi tahun 2004 hingga 2021. Sementara itu namanya dipakai sebagai salah satu ruas jalan paling ramai dan terkenal di Jakarta dan Bandung, yaitu Jalan Otista (Otto Iskandardinata).

Namun, siapa yang kenal perjuangannya untuk bangsa Indonesia? Jejak Otto tertinggal dalam sejarah perjalanan kemerdekaan, berdirinya PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), hingga berdirinya TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Ayam jantan dari bumi Pasundan

Mengutip laman muhammadiyah.or.id, Raden Otto Iskandardinata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Ayahnya, Haji Rachmat Adam, merupakan keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Privilege dari keluarga bangsawan menjadikan Otto menempuh pendidikan terbaik.

Setelah tamat pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, Otto melanjutkan ke Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung.

Setelah itu, dirinya pindah ke Pekalongan untuk menempuh pendidikan di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah, dan sempat mengajar di HIS Banjarnegara.

Perjuangan lewat pendidikan dilakukan Otto karena dia beranggapan bahwa bangsa Indonesia akan merdeka dari penjajahan jika mereka berhasil diubah menjadi bangsa yang berilmu. Demikian pendapat Edi Kandhani dalam “Sejarah 20 Desember: Wafatnya Si Jalak Harupat” Otto Iskandar Dinata.

Usai menempuh pendidikan, Otto kembali ke Bandung pada Juli 1920. Di sana dia menjadi guru di HIS dan Perguruan Rakyat. Di Bandung, Otto menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo (BU) cabang Bandung pada periode 1921-1924.

Pergerakannya dengan Budi Utomo membuatnya kembali ke Pekalongan dan menjadi Wakil Ketua BU Cabang Pekalongan pada 1924 sekaligus menjadi anggota dewan rakyat, Gemeenteraad (semacam DPRD).

Sejak kecil, Otto memiliki nyali yang tinggi dan tidak suka berbasa-basi. Sejak menjadi siswa, Otto juga sering menunjukkan kritik terang-terangan terhadap diskriminasi antara anak pribumi dan anak Belanda dalam pendidikan. Hal inilah yang menjadikan dirinya dijuluki sebagai “Si Jalak Harupat”. Demikian ungkap Nina H Lubis dalam “Si Jalak Harupat: Biografi Otto Iskandardinata” (2003).

Di Pekalongan Tampaknya julukan “Si Jalak Harupat” semakin melekat. Jalak Harupat adalah sebutan untuk jenis ayam jantan dalam bahasa Sunda yang dimitoskan sebagai ayam yang kuat, pemberani, nyaring saat berkokok, dan selalu menang saat diadu.

Selama di Gemeenteraad, Otto yang bernyali tinggi dan tidak suka basa-basi kerap mengkritik pengusaha perkebunan Belanda yang sering bertindak kasar terhadap para pribumi. Tidak hanya rajin bersuara, Otto mendirikan Sekolah Kartini untuk mendidik para remaja puteri di Pekalongan.

Sikap ini membuat Otto berselisih dengan Residen Pekalongan dan dianggap membahayakan oleh pemerintah kolonial akibat banyaknya masyarakat Pekalongan yang simpatik. Itulah alasan mengapa Otto kemudian dipindahkan ke Batavia.

Mengajar di Muhammadiyah

Setibanya di Batavia menjelang pada 1928, saat itu dirinya berusia 30 tahun. Otto bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi guru SMA Algemene Middelbare School (AMS) Muhammadiyah di Jalan Kramat Raya 49.

Di tempat inilah dirinya menjadi Kepala Sekolah dan mengajak kader Muhammadiyah lain yang juga pahlawan nasional yakni Djuanda Kartawidjaja mengabdi menjadi guru pada 1933. Otto jugalah yang nanti memberikan rekomendasi Djuanda untuk menjadi direktur atau kepala sekolah tersebut. Demikian ungkap Arya Ajisaka dalam “Mengenal Pahlawan Indonesia” (2008).

Selama di Jakarta, Otto menjadi tokoh kunci Paguyuban Pasundan. Sebagai sosok pencinta sepakbola, Otto menggunakan olahraga ini sebagai salah satu alat perjuangan kemerdekaan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika saat itu masih dalam semangat Sumpah Pemuda 1928, Otto mengizinkan gedung tempatnya mengajar dijadikan tempat rapat pendirian VIJ (Voetbalbond Indonesia Jacatra) atau cikal bakal Persatuan Sepakbola Jakarta (Persija).

Rapat tertanggal 20 Oktober 1929 yang dihadiri Mohammad Hoesni Thamrin dan pendiri VIJ, Soeri, adalah wujud Muhammadiyah membantu perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah lewat sepakbola. Demikian sebut Ario Yosia dalam “Feature: Persija Muhammadiyah”.

Di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Otto tidak masuk dalam jajaran pengurus, tetapi bergerak mandiri dengan mengelola “Majalah Olahraga” yang aktif memberitakan kegiatan PSSI sejak 1930 dengan bumbu nasionalisme.

Pengusul Soekarno sebagai Presiden RI

Selama mengajar di Muhammadiyah, Otto ditarik menjadi anggota Volksraad (semacam DPR) pada 1935. Pada masa penjajahan Jepang, Otto menjadi pemimpin surat kabar “Tjahaja” yang didirikan sebagai reaksi atas pembredelan surat kabar “Sipatahunan” (1942).

Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Otto menjabat dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam kapasitasnya sebagai anggota panitia itu, dia turut serta menyusun Undang-Undang Dasar 1945.

Selama menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Otto merupakan sosok pertama yang mengusulkan Soekarno sebagai presiden dan kemudian diterima secara aklamasi oleh anggota BPUPK lainnya yang mayoritas muslim dan santri. Demikian tulis Abdul Munir Mulkhan dalam “Marhaenis Muhammadiyah” (2010).

Akhir hidup Si Jalak Harupat

Setelah Indonesia merdeka, Otto menjabat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Presidensil pertama yang bertugas mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Badan Keamanan Rakyat (BKR) merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Secara garis besar, saat itu laskar-laskar mayoritas terbelah menjadi dua poros, yaitu para pasukan bekas didikan Jepang yakni Heiho (Pembela Tanah Air) dan pasukan desersi dari militer Belanda (KNIL). Ketegasannya dalam gagasan penyatuan dua kubu berbeda ini di dalam BKR ditengarai menjadi api pemantik dibunuhnya Otto Iskandardinata.

Akibat fitnah yang diterimanya sebagai anggota mata-mata Belanda, sekumpulan prajurit berpakaian hitam-hitam (Laskar Hitam) menculiknya pada Rabu pukul 05 sore tanggal 19 Desember 1945.

Pasukan yang datang menggunakan truk dari Tangerang itu membawa Otto ke pantai Desa Ketapang, sekira 2 km dari dari Mauk. Bersama tawanan lain bernama Hasbi, Otto disiksa dengan tangan terikat lalu dibunuh dan mayat mereka dibuang ke laut. Mayatnya pun tidak pernah ditemukan. Demikian ungkap harian “Pikiran Rakjat” tertanggal 20 Desember 1952.

Pembunuhan Otto sulit dicegah, apalagi saat itu Indonesia dalam keadaan genting. Pada waktu yang sama, sore hari 19 Desember 1945, terjadi pertempuran Karawang-Bekasi dan peperangan di beberapa daerah lainnya.

Penculikan, kematian, dan pembunuhan para tokoh pemimpin pemerintahan di Jawa Barat juga sering terjadi di masa itu (1945). Demikian catat kantor berita “Antara” tanggal 22 Desember 1952.

Pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan 20 Desember 1945 sebagai tanggal kematian “Si Jalak Harupat”. Meski jenazahnya tidak pernah ditemukan, pemakaman kembali secara simbolik dilakukan di Taman Bahagia, Lembang, pada 21 Desember 1952.

Pasir dan air laut pantai Mauk dimasukkan dalam peti sebagai simbol jenazah Otto Iskandardinata. Pemakaman sendiri disaksikan oleh sahabatnya, Djuanda, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan.

Otto Iskandardinata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973 tanggal 6 November 1973.

Selain sebuah “Monumen Pasir Pahlawan” di Lembang didirikan untuk mengenang dirinya, kegagahan namanya menjelma menjadi nama sebuah stadion olahraga di desa Kopo dan Cibodas, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, yaitu Stadion Si Jalak Harupat.***



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author