Sejarah Situ Cangkuang Garut – bandungmu.com

banner 468x60

BANDUNGMU.COM, Garut — Candi Cangkuang, sebuah candi Hindu yang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, merupakan candi pertama yang ditemukan di tatar Sunda.

Ini adalah satu-satunya candi Hindu di tatar Sunda. Candi ini berdekatan dengan makam Embah Dalem Arief Muhammad, seorang tokoh agama Islam yang dianggap sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang.

Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Garut, yaitu Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi, dan Gunung Guntur.

Asal mula Cangkuang

Mengutip Wikipedia, nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. “Cangkuang” merujuk pada tanaman pandan yang banyak tumbuh di sekitar makam Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo.

Daun cangkuang digunakan untuk membuat berbagai barang, seperti tudung, tikar, dan pembungkus. Cagar budaya Cangkuang terletak di sebuah daratan di tengah danau kecil yang dalam bahasa Sunda disebut “situ”.

Untuk mencapai tempat tersebut melalui jalur utama, pengunjung harus menyeberang dengan menggunakan rakit. Awalnya, Kampung Pulo dikelilingi oleh danau.

Namun, saat ini hanya bagian utara yang masih menjadi danau, sedangkan bagian selatan telah menjadi lahan persawahan. Selain candi, di pulau tersebut juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo yang merupakan bagian dari kawasan cagar budaya.

Candi Cangkuang terletak di sebuah pulau kecil yang membentang dari barat ke timur dengan luas sekitar 16,5 hektare. Pulau ini terletak di tengah danau Cangkuang pada koordinat 106°54’36,79″ bujur timur dan 7°06’09” Lintang Selatan. Selain pulau dengan candi, terdapat juga dua pulau lain yang lebih kecil di danau tersebut.

Candi Cangkuang pertama kali ditemukan pada 1966 oleh tim peneliti yang dipimpin oleh Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita berdasarkan laporan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1893 tentang keberadaan arca yang rusak dan makam kuno di bukit Kampung Pulo, Leles.

Makam kuno dan arca Siwa yang dimaksud berhasil ditemukan. Pada awal penelitian, terlihat batu-batu yang merupakan reruntuhan bangunan candi. Makam kuno yang dimaksud adalah makam Arief Muhammad yang dianggap sebagai leluhur oleh penduduk setempat.

Selain menemukan reruntuhan candi, juga ditemukan serpihan pisau dan batu-batu besar yang diduga sebagai peninggalan zaman megalitikum. Penelitian selanjutnya pada 1967 dan 1968 berhasil menggali bangunan makam.

Meskipun hampir dapat dipastikan bahwa candi ini adalah peninggalan agama Hindu pada abad ke-8 Masehi, sama seperti candi-candi di situs Batujaya dan Cibuaya, yang menarik adalah adanya pemakaman Islam di sebelah candi.

Pada awal penelitian, terlihat batu-batu yang merupakan reruntuhan bangunan candi dan di sebelahnya terdapat sebuah makam kuno beserta arca Siwa yang terletak di tengah reruntuhan bangunan.

Dengan ditemukannya batu-batu andesit berbentuk balok, tim peneliti yang dipimpin Tjandrasasmita yakin bahwa di sekitar tempat tersebut dulunya ada sebuah candi. Penduduk setempat sering menggunakan balok-balok tersebut sebagai batu nisan.

Berdasarkan keyakinan tersebut, tim peneliti melakukan penggalian di lokasi tersebut. Di dekat makam Arief Muhammad, mereka menemukan fondasi candi berukuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang berserakan.

Temuan ini mendorong Tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan untuk melakukan penelitian lebih lanjut di area tersebut. Hingga tahun 1968, penelitian terus dilakukan. Proses pemugaran Candi dimulai pada 1974-1975, dan rekonstruksi dilakukan pada 1976, termasuk pembangunan kerangka bangunan, atap, dan patung Siwa.

Sebuah joglo museum juga dibangun untuk menyimpan dan menginventarisir artefak sejarah peninggalan kebudayaan dari seluruh Kabupaten Garut. Selama pemugaran tahun 1974, beberapa bagian kaki candi ditemukan kembali.

Kendala utama dalam rekonstruksi candi adalah hanya sekitar 40 persen batu candi asli yang dapat ditemukan, sehingga sekitar 40 persen dari bangunan candi tersebut direkonstruksi dengan menggunakan adukan semen, batu koral, pasir, dan besi.

Candi Cangkuang merupakan candi pertama yang direstorasi untuk mengisi kekosongan sejarah antara Purnawarman dan Kerajaan Pajajaran. Para ahli meyakini bahwa Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8 berdasarkan tingkat kelapukan batu dan kesederhanaan bentuknya (tanpa relief).

Bangunan Candi Cangkuang yang dapat kita lihat sekarang ini adalah hasil pemugaran yang diresmikan pada 1978. Candi ini berdiri di atas lahan persegi empat dengan ukuran 4,7 x 4,7 meter dan tinggi 30 cm.

Kaki bangunan yang menopang pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi memiliki ukuran 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi 1,37 meter. Di sisi timur terdapat tangga naik dengan panjang 1,5 meter dan lebar 1,26 meter.

Candi Cangkuang seperti yang terlihat saat ini sebenarnya merupakan hasil rekonstruksi, karena hanya sekitar 40% bangunan candi yang asli. Oleh karena itu, bentuk asli dari Candi Cangkuang sebenarnya masih belum diketahui.***



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author