Yogyakarta, InfoMu.co – Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua dihadapkan pada masalah dan tantangan baru dalam kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan yang semakin kompleks. Dalam dinamika gerakan dan perkembangan kehidupan yang sarat warna dan dinamika itu Muhammadiyah saat ini diuji ketangguhan ideologi gerakannya.
“Muhammadiyah perlu peneguhan kembali ideologi gerakannya baik dalam kerangka konseptual dan para aktivis kadernya menjadi rujukan di dalam menggerakkan Muhammadiyah. Sehingga dimanapun kita berada, kita membawa Muhammadiyah sebagaimana aslinya,” ujar Haedar Nashir dalam Baitul Arqam pada Ahad (17/04).
Menurut Haedar, setidaknya ada empat tantangan ideologi bagi Muhammadiyah. Pertama, ideologi multikulturalisme. Ideologi ini tidak segan mengakomodasi penuh ide-ide modern dari Barat tanpa rasa canggung. Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), pluralisme sebagai anak kandung dari ideologi multikulturalisme kini menjadi parameter utama dalam menilai sebuah negara atau bangsa maju atau tidak.
“Belahan bangsa mana pun tidak dapat menolak perkembangan tiga ideologi multikulturalisme yaitu demokrasi, HAM, dan pluralisme. Persoalannya dari ketiga tersebut mana yang menjadi kompatibel dengan Islam, Muhammadiyah dan Indonesia?” tanya Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
“Konservatisme agama muncul karena semakin menguatnya kehidupan dunia global yang tidak adil serta menguatnya sekularisme. Karena sekularisme dan liberalisme inilah secara biner melahirkan konservatisme agama,” terang Haedar.
Ketiga, islamofobia. Motif berkembangnya islamofobia bisa terjadi karena terbawa arus sentimen dan ketakutan terhadap Islam yang berlebihan dan sudah menyebar serta menjadi kesadaran kolektif di Eropa. Bisa juga timbul karena reaksi negatif atas apa yang boleh jadi mereka tangkap secara bias atau salah terhadap fenomena ISIS, terorisme, dan sejenisnya di dunia Islam.
“Awalnya mungkin negara-negara Eropa tidak ada masalah dengan Islam tapi ada perilaku orang-orang Islam yang membawa pola beragama tidak kompatibel, sering bertentangan bahkan menimbulkan eksklusifitas lalu munculah reaksi, itu sangat mungkin terjadi,” ucap Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Keempat, postmodernisme. Menurut Haedar, karakter postmodernisme tetap modern tetapi lebih progresif, di sejumlah hal lebih radikal atau ekstrem ketimbang fase modern, sebagian ahli menyebutnya lebih liberal. Kehidupan postmodern ini ditandai oleh Revolusi Industri 4.0 yang dipengaruhi kuat oleh teknologi informasi digital super canggih.
Dalam menghadapi dunia kehidupan yang sarat masalah dan tantangan yang kompleks itu, kata Haedar, Muhammadiyah tidak cukup hanya mengandalkan usaha usaha pragmatis atau berjalan mengikuti hukum dinamika alamiah belaka tanpa berpijak pada prinsip-prinsip gerakannya yang bersifat ideologis. Karenanya menjadi penting bagi setiap anggota lebih-lebih kader dan pimpinan Muhammadiyah untuk memahami ideologi Muhammadiyah yang menjadi fondasi dan pandangan gerakan Islam ini. (muhammadiyah.or.id)