Umat Islam Harus Bersatu, Meski Berbeda Mazhab dan Pilihan Politik

banner 468x60

BANDUNGMU.COM, Bantul — Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa perbedaan di kalangan umat Islam adalah sunnatullah (ketetapan Allah). Oleh karena itu, perbedaan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk perpecahan, termasuk karena perbedaan pilihan politik.

Pesan ini disampaikan Abdul Mu’ti pada Kamis (29/08/2024) dalam acara Tablig Akbar dan Resepsi Milad 1 Dekade MBS Muhammadiyah Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Abdul Mu’ti mengajak umat Islam untuk bersatu. Namun, persatuan ini tidak berarti harus seragam. Menurutnya, meskipun mazhab berbeda, selama kiblat dan rasul yang diimani sama, itu sudah cukup menjadi alasan untuk bersatu.

Ajakan untuk bersatu ini tidak hanya berlaku di tingkat nasional, tetapi juga global, seperti dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina yang hingga kini masih ditindas oleh Israel. “Israel telah membunuh lebih dari 50 ribu muslim Palestina. Ini terjadi karena umat Islam tidak bersatu. Indonesia hingga saat ini menjadi yang paling lantang mendukung kedaulatan dan kemerdekaan Palestina,” ujarnya seperti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah.

Namun, menurut Abdul Mu’ti, dukungan Indonesia kepada Palestina tidak akan bermakna besar jika umat Islam di seluruh dunia tidak bersatu. Oleh karena itu, dia mengajak umat Islam untuk lebih introspektif dalam hal persatuan.

Abdul Mu’ti kembali menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh mudah terpecah karena urusan-urusan cabang (furu’). Hal ini merupakan bagian dari khazanah dunia Islam yang tidak dapat diseragamkan. “Persoalan furu’iyah masih menjadi perdebatan. Bahkan di Muhammadiyah sendiri, perbedaan dalam furu’iyah tetap ada,” tuturnya.

Sebagai Guru Besar Bidang Pendidikan Agama Islam, Abdul Mu’ti mengajak umat Islam untuk meneladani kisah Imam Syafii dan Imam Malik. Meskipun mereka adalah guru dan murid, perbedaan di antara mereka tetap ada, tetapi mereka tetap saling menghormati. “Jika ada perbedaan, pelajari sumber perbedaannya dan saling bertenggang rasa. Perbedaan adalah bagian dari realitas yang tidak bisa kita hindari,” pesan Abdul Mu’ti.

Dalam konteks nasional, Abdul Mu’ti juga mengingatkan umat Islam dan bangsa Indonesia untuk tetap bersatu, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak. Namun, keinginan untuk bersatu tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak berpartisipasi dalam politik. Menurutnya, Pilkada Serentak 2024 adalah fenomena politik yang wajar. Pilihan seseorang terhadap calon tertentu tidak berimplikasi pada kekafiran. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk menyikapi politik dengan bijak.

Di tengah realitas politik yang serba boleh, Abdul Mu’ti mengajak warga Muhammadiyah dan bangsa Indonesia untuk menjalankan demokrasi secara substantif. Demokrasi tidak hanya soal pemilu, dan pemilu tidak hanya tentang uang. “Kita harus tetap berpartisipasi dalam politik karena kita harus memutuskan pemimpin. Pilihlah dengan semangat kerukunan dan jangan memilih karena uang. Jangan pakai prinsip ‘nomor piro, wani piro’,” harapnya.

Abdul Mu’ti berpendapat bahwa jika praktik demokrasi dan politik terus seperti itu, yang berkuasa tetaplah oligarki. Prinsip-prinsip meritokrasi tidak akan berlaku, dan hal ini menjadi tembok besar yang menghalangi politikus baik untuk berpartisipasi.***



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author