BANDUNGMU.COM, Sleman — Sampai sejauh ini, umat Islam di Indonesia dari kacamata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir masih sebatas mayoritas kuantitas ketimbang mayoritas kualitas.
Merefleksikan konteks Indonesia dalam surah Al-Baqarah ayat 249, Haedar menyebut di Indonesia meski muslim mayoritas jumlahnya, tetapi dalam urusan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, masih kalah ketimbang kelompok minoritas.
“Kita sering menjadi mayoritas kuantitas, belum mayoritas kualitas. Maka ayat ini (Al-Baqarah 249) meskipun dalam peristiwa perang antara Thalut dan Jalut, tetapi sesungguhnya menjadi ibrah buat kita,” imbuh Haedar seperti bandungmu.com kutip dari laman resmi Muhammadiyah pada Selasa (11/07/2023).
Bahkan Rasulullah SAW pernah menganalogikan umat Islam itu seperti buih di lautan. Mengelumbung besar, tetapi tidak memiliki daya dan kekuatan. Oleh karena itu, jika umat Islam ingin menjadi utama harus meningkatkan kualitas.
“Mukmin yang kuat itu jauh lebih baik dan lebih dicintai Allah, ketimbang mukmin yang lemah,” kata Haedar mengutip Hadi Nabi Muhammad.
Realitas tersebut, kata Haedar, merupakan alasan fundamental akan hadirnya Muhammadiyah-Aisyiyah. Gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah untuk menghadirkan keutamaan.
“Oleh karena itu, kita tidak boleh berada di posisi yang aman, nyaman, atau di zona aman dan nyaman. Agar keutamaan itu setelah kita raih, kita raih lagi agar lebih baik lagi,” tutur Haedar.
Menghadapi dinamika zaman yang memunculkan berbagai persoalan baru, Muhammadiyah memiliki pandangan Islam Berkemajuan.
Kat Haedar, pandangan ini ditransmisikan ke seluruh organisasi sayap dan Amala Usaha di lingkungan Muhammadiyah.
Dalam konteks organisasi, visi Islam Berkemajuan harus dimanifestasikan ke setiap wilayah, daerah, cabang, dan ranting, bahkan sampai dengan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah dan Aisyiyah di luar negeri.
Pandangan Islam Berkemajuan, kata Haedar, salah satu cirinya beralam pikiran dan tidak anti ijtihad. Alam pikiran tersebut kontekstual dalam menjawab segala tantangan baru dari zaman yang terus berubah-ubah.
“Bagaimana pandangan Muhammadiyah-Tarjih tentang euthanasia, tentang perubahan iklim, dan sebagainya yang kemudian menghasilkan berbagai macam fikih kontemporer,” ungkap Haedar.
Fikih yang digarap Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bukan lagi soal relasi laki-laki dan perempuan. Namun, sudah melompat lebih dari itu yakni menuju persoalan-persoalan kontemporer yang lebih strategis.***