Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • Sejarah Balai Pustaka – bandungmu.com

    Aug 28 202332 Dilihat

    BANDUNGMU.COM — Sebagian generasi z mungkin belum mengenal atau mengetahui secara jauh seperti apa Balai Pustaka (Ejaan Van Ophuijsen: Balai Poestaka) yang namanya sebetulnya sudah melegenda di jagat literasi Indonesia.

    Balai Pustaka adalah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan, percetakan, dan multimedia. Mengutip Wikipedia, Balai Pustaka didirikan dengan nama Komisi untuk Bacaan Rakyat oleh pemerintah Hindia Belanda pada 15 Agustus 1908.

    Lembaga itu berada di bawah naungan Biro Penasehat Urusan Pribumi yang termasuk ke dalam Departemen Pendidikan dan Keagamaan.

    Kantoor voor de Volkslectuur atau lebih dikenal dengan nama “Balai Poestaka” pada 17 September 1917. Balai Pustaka menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.

    Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia Belanda. Bahasa-bahasa ini adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura.

    Ada visi alternatif yang menyebutkan bahwa pendiriannya kala itu konon untuk mengantisipasi tingginya gejolak perjuangan bangsa Indonesia yang hanya bisa disalurkan lewat karya-karya tulisan.

    Berbagai tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di koran-koran daerah skala kecil sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda.

    Yakni dengan tujuan utama untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan menyalurkannya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda di Indonesia.

    Tujuan lain yang dilakukan oleh Komisi Bacaan Rakyat (KBR) yakni menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini juga bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.

    Tidak semua usaha yang dilakukan oleh KBR negatif. Usaha-usaha yang positif antara lain mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah dan mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur.

    Novel “Siti Noerbaja”

    Kemudian memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda.

    Selain itu, KBR juga menerbitkan majalah anak-anak dalam bahasa Melayu, Kanak-Kanak, dan dalam bahasa Jawa, Taman Botjah.

    Langkah maju yang dilakukan KBR yang telah berhasil sebagai pencetak, penerbit, dan penjual majalah, adalah mengubah KBR menjadi Yayasan Resmi Balai Pustaka pada 1917.

    Salah satu novel dalam bahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul “Siti Noerbaja” karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau.

    Pada era itu juga menjadi penanda penyebaran sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan dengan yang berbahasa Melayu.

    Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di 1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa.

    Pada tahun ini pula lahir novel “Serat Rijanto” karangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.

    Era pendudukan Jepang

    Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Balai Pustaka tetap eksis, tetapi menggunakan nama lain, yakni Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku.

    Nama ini artinya kurang lebih artinya adalah “Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Militer Jepang” dan merupakan terjemahan dari nama Belanda Commissie voor de Volkslectuur.

    Pada era Orde Baru sebagai sebuah perusahaan penerbitan, Balai Pustaka memasuki masa kejayaannya. Karena saat itu ada kebijakan yang mengharuskan instansi pemerintahan melakukan penerbitan buku dan sejenisnya melalui Balai Pustaka.

    Pada 1995 atas inisiasi dari Ibu Tien Soeharto, Balai Pustaka bersama Yayasan Supersemar akan membangun Taman Pustaka dan Literasi Indonesia atau TAMPUSINDO seluas 130 hektare di timur Taman Wisata Mekarsari, Daerah Jonggol, Bogor, yang kala itu menjadi kandidat Ibu Kota Indonesia.

    Taman Pustaka dan Literasi Nasional atau TAMPUSINDO akan difungsikan sebagai objek wisata edukasi, museum, galeri pustaka, dan pusat gerakan literasi dan menulis di Indonesia.

    Selain itu, di kawasan TAMPUSINDO juga akan dijadikan sebagai Kantor Pusat Balai Pustaka dan Sekretariat Nasional Himpunan Penerima Beasiswa Supersemar.

    Namun, rencana itu gagal akibat lahan tersebut yang masih dimiliki oleh Yayasan Supersemar menjadi objek sitaan Kejaksaan Agung karena Dugaan Korupsi Soeharto.

    Kemunduran?

    Pasca Reformasi Balai Pustaka justru mengalami kemunduran. Bahkan ada informasi yang menyebutkan bahwa Balai Pustaka kini terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami kerugian.

    Pada 24 Januari 2022, pemerintah Indonesia resmi menyerahkan mayoritas saham perusahaan ini ke Danareksa sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di lintas sektor.

    Ketika masih bernama Commisie voor de Inlansche School en Volkslectuur, badan penerbitan ini dipimpin oleh GAJ Hazeu yang dibantu enam orang anggota. Pemimpin selanjutnya adalah DA Rinkes yang menjabat ketika badan ini sudah bernama Kantor voor de Volkslectuur.

    Sejumlah sastrawan Indonesia pernah menjadi redaktur Balai Pustaka. Misalnya saja Sutan Takdir Alisjahbana, Nur Sutan Iskandar, Achdiat K Mihardja, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Rusman Sutiasumarga, Hamid Jabbar, Abdul Hadi WM, dan Subagio Sastrowardoyo.

    Setelah cendekiawan pribumi menulis untuk Balai Pustaka, kecurigaan semula tentang niat Hindia Belanda di balik Balai Pustaka berangsur berkurang.

    Beberapa cendekiawan itu adalah Mohammad Yamin, Agus Salim, Sutomo, Mariah Ulfah Santoso, Amir Syarifuddin, Mangunsarkoro, Margonohadikumo, Sumanang, dan Bahder Johan.

    Balai Pustaka Digital

    Animasi (2016), Balai Pustaka mengembangkan konten buku menjadi film animasi, seperti film Lutung Kasarung dan Timun Emas.

    Audio Book (2017), Balai Pustaka meluncurkan Audio Book. Audio Book ini diangkat dari buku-buku back list serta buku baru Balai Pustaka yang kembali diterbitkan dan dibuat dalam format Audio Book.***



    sumber berita ini dari bandungmu.com

    Author

    Share to

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top