bandungmu • Sep 25 2023 • 37 Dilihat
Oleh: Sudarman Supriyadi, peminat masalah literasi dan sosial-keagamaan
BANDUNGMU.COM – Kembali ke buku untuk mencari informasi, pengetahuan, ilmu, dan kearifan tampaknya susah atau berat dilakukan. Kalaupun bisa, tidak mungkin sepenuhnya karena eranya sudah berbeda dengan 20 tahun yang lalu.
Saat ini, orang lebih asyik mencari semua informasi dari media sosial karena sangat mudah, cepat, dan banyak pilihan. Bisa diakses kapan dan di mana pun. Tanpa kenal batas dengan berbagai versi dan bahasa.
Masyarakat saat ini sangat dimudahkan dengan adanya internet karena segala informasi yang dicari semuanya ada dan tersedia. Padahal, semua itu puluhan yang lalu tentu saja tidak bisa dilakukan.
Sementara itu, buku, harus dibeli, dibaca kata per kata, baru kemudian kita mendapatkan informasi yang kita cari. Agar ribet memang, tetapi justru itulah seninya menjadi pintar dengan buku.
Sesuatu yang berbasis kertas, manual, belum tentu ketinggalan karena masih ada pengguna dan penggilanya. Bahkan audio books–buku berbasis suara–pun sudah banyak diproduksi.
Sesuatu yang serba digital, mencari informasi di media sosial, misalnya, tidak semua infonya valid, bahkan banyak informasi yang bercampur dengan hoaks.
Memang harus diakui bahwa untuk menjadi pintar itu tidak harus nongkrong di perpustakaan untuk membaca buku. Atau rajin membaca halaman demi halaman sebuah majalah ternama dan buku di rumah.
Kita bisa menjadi lebih pintar dan menguasai informasi dari mendengarkan video Youtube atau audio visual lainnya bahkan dengan rebahan sekalipun. Sangat mudah dan praktis.
Lebih logis
Kenapa buku itu penting? Pertanya klasik, tetapi sangat penting. Sederhananya seperti ini. Buku, terutama dari penerbit profesional, disusun dengan rapi, logis, dan sistematis.
Setelah masuk penerbit, naskah mentah buku itu diedit, di-layout, di-setting, dicek berulang agar keterbacaannya bisa dipahami oleh pembaca secara luas.
Jadi, sebuah buku terbit itu melalu proses bertahap. Oleh karena itu, wajar kalau orang yang rajin membaca dan memahami buku itu biasanya gaya bicaranya lebih tertata rapi, logik, matang, dan sistematis sehingga enak didengar dan orang lain juga paham.
Kenapa? Karena yang dia baca adalah produk literasi yang lahir melalui proses panjang dan bertahap.
Hal berbeda dari media sosial. Durasinya terbatas—hanya hitungan detik dan menit—bahkan lebih banyak konten yang menggantung.
Oleh karena durasinya pendek, banyak konten informasi yang singkat, padat, sepotong-sepotong, provokatif, dan langsung menyimpulkan. Padahal, bisa jadi permasalahan yang sebenarnya bukan seperti dalam konten tersebut.
Oleh karena itu, wajar kalau orang yang literasinya rendah, kemudian asal menonton dan menyimpulkan sebuah konten pendek, sering berdebat di media sosial, bahkan dengan kata-kata yang kotor dan kasar. Sangat miris.
Apa pasal mereka begitu? Karena yang mereka tonton adalah suatu konten yang pendek dan kurang memberikan pemahaman utuh sehingga menimbulkan kegaduhan di ruang-ruang privat semacam grup Whatsapp.
Akhirnya, dengan teman, keluarga, dan kolega sering bermusuhan, atau bahkan keluar grup Whatsaap, gara-gara berbeda pendapat soal isi konten.
Lemahnya literasi konten
Lemahnya literasi konten menyebabkan netizen atau masyarakat di dunia nyata sering mengambil simpulan yang salah dan fatal akibatnya. Lebih fatal lagi, simpulan yang salah ini diamini oleh komentar-komentar netizen yang isinya sama. Begitu mengerikan.
Seandainya literasi bukunya kuat, mungkin tidak akan segampang itu mengambil simpulan yang serampangan. Banyak pihak saling menuduh dan memprovokasi.
Tidak ada ruang diskusi dan mengkaji satu isu dengan baik dan mendalam. Semua hanyut dalam konten pendek nir kebenaran.
Apakah bisa kembali ke buku sebagai rujukan utama? Tampaknya tidak bisa sepenuhnya karena situasi dan kondisi teknologi penyedia informasi dan ilmu pengetahuan sudah begitu banyak.
Tidak ada patokan baku soal mana sumber informasi yang dominan digunakan: apakah buku ataukah medsos.
Namun, menjadikan buku sebagai rujukan, di samping informasi dari internet, tidak salah, bahkan itu dipandang sebagai langkah yang bijak.
Pembaca buku tidak akan penah berpikir parsial dan mengambil simpulan yang meragukan atas sebuah informasi yang beredar di platform media sosial.
Apa pasal? Informasi yang dia konsumsi sudah melalui proses panjang dan bertahap—seperti yang disebukan di atas. Informasi itu tidak lahir dari ketidakjujuran yang penuh narasi provokatif.
Jadi, tampaknya setiap orang dan bangsa Indonesia harus tetap memegang sumber informasi dari buku. Artinya, informasi dari buku jangan ditinggalkan dengan hanya mengandalkan informasi dari media sosial yang susah sekali ditelusuri kebenarannya.
Jadi, sudah berapa halaman buku yang Anda baca hari ini?***
sumber berita ini dari bandungmu.com
Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...
Oleh: Sukron Abdilah* BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...
BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...
BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...
CIREBONMU.COM — SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...
BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...
No comments yet.