Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • Merenungi Haakikat Takwa Bersama Buya Syafii Maarif

    May 27 202226 Dilihat

    Ilham Ibrahim

    Beberapa hari yang lalu saya intens membaca tulisan-tulisan Buya Syafii Maarif di Republika dan Kompas. Ada beberapa tulisan yang bagi saya sangat menarik untuk dibahas yaitu penjelasan beliau tentang “takwa”. Sebagai orang yang telah merasakan asam garam kehidupan sosial dan spiritual, bahasan Buya ini sering terlewat dari lalu lintas perdebatan antara pihak pemuja maupun pengkritik.

    Kita tahu bahwa istilah takwa merupakan salah satu konsep kunci dalam Al Quran di samping iman dan Islam. Tidak kurang 242 kali konsep itu dalam berbagai bentuk dapat dilacak dalam Kitab Suci ini. Dengan demikian fungsinya sangat sentral.

    Berasal dari akar kata w-q-y, istilah takwa mengandung makna ’menjaga diri’ dari kehancuran moral dan dari kemarahan Allah. Takwa juga dapat dimaknai dengan memiliki kesadaran yang mendalam dan otentik bahwa Allah selalu mengawasi kita sepanjang waktu. Kehadiran Allah dalam setiap laku aktivitas manusia mengandung implikasi agar mereka berjalan di atas rel yang benar dan lurus. Inilah takwa dalam makna yang sebenarnya dalam perspektif spiritual.

    Karena itu, takwa bukanlah tujuan melainkan perjalanan. Selama jantung berdetak, takwa merupakan jalan kehidupan spiritual yang tak memiliki ujung. Artinya, takwa bukanlah rasa takut kepada Allah melainkan rasa rindu kepada sang Khalik. Ketika takwa itu dimaknai sebagai rasa takut, seseorang akan menjauhkan diri dari yang ditakuti.

    Kalau takwa diartikan sebagai rasa rindu, kita akan senantiasa mendekat kepada-Nya. Sekiranya dalam perjalanan hidup seorang muslim tak memiliki rasa rindu yang menggebu kepada Allah, artinya kualitas iman belum beranjak jauh. Namun jika suatu kondisi pikiran dan jiwa seorang mukmin merasakan kehadiran Allah di mana saja dia berada, bagi Buya Syafii, inilah hakikat sesungguhnya dalam perjalanan takwa.

    Namun, takwa mesti pula dibaca dalam konteks sosial berupa tegaknya keadilan untuk semua golongan karena bersikap adil itu dalam istilah Al Quran ”aqrabu li al-taqwa”, lebih dekat kepada takwa.

    Menurut Buya, berlaku adil terhadap orang yang kita benci jelas tak mudah, tetapi justru di sini letaknya agar ego manusia itu harus ditundukkan kepada perintah Allah. Jangan dibiarkan kepentingan ego itu menjadi ukuran untuk tak bersikap adil. Jeritan terhadap tegaknya keadilan merupakan tuntutan abadi seluruh umat manusia apa pun agamanya di mana pun mereka berada. Maka, doktrin tauhid (mengesakan Allah) pasti menuntut tegaknya keadilan di Bumi.

    Indikator Takwa

    Indikator seseorang sedang dalam perjalanan takwa menurut Buya terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 133-136, yaitu: pertama, orang yang memberikan infaq disaat lapang dan sempit; kedua, orang-orang yang mampu mengendalikan amarah dan bersedia dengan tulus memaafkan orang lain; ketiga, mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan; dan keempat, orang yang selalu memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa-dosanya.

    Kalau disimak secara baik-baik, rasanya saya sendiri belum pernah memiliki indikator itu secara utuh dan sempurna. Keadaan dompet saya yang memang selalu sempit menjadi satu paket alasan untuk tidak berinfak. Saya juga sulit mengontrol amarah bahkan kadang memaki-maki seseorang di sosial media ketika terlibat dalam duel twitwar. Bahkan dalam hati kadang ada rasa benci pada seseorang yang selalu berbuat baik. Dosa saya juga menumpuk tapi doa pengampunan kepada Allah hanya asal bicara tanpa selalu disertai hati yang khusyu’, bening, dan rindu.

    Tulisan ini dalam rangka upaya mengkritik diri pribadi sejujur-jujurnya. Setelah membaca uraian Buya Saya merasa perjalanan takwa saya belum beranjak jauh atau mungkin tak bergerak kemana-mana. Padahal usia telah menginjak 26 tahun, artinya telah puluhan kali saya melaksanakan ibadah puasa. Pada akhirnya saya merasakan benar bahwa untuk menjadi manusia yang bertakwa, perlu pergumulan spiritual yang terus menerus tanpa henti.

    Duh, Gustiii.

    sumber berita ini dari muhammadiyah.or.id

    Author

    Share to

    Written by

    muhammadiyah.or.id adalah website resmi persyarikatan Muhammadiyah. Dan dikelolah oleh PP Muhammadiyah

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Please write your comment.

    Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) must be filled.

    *

    *

    back to top