BANDUNGMU.COM, Yogyakarta — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ajengan Wawan Gunawan Abdul Wahid menyampaikan pentingnya qiyas sebagai salah satu metode ijtihad dalam menentukan hukum Islam.
Hal tersebut diungkapkannya dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (13/11/2024). Ajengan Wawan merujuk pada pendapat Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah.
“Qiyas adalah cara bagi seorang mujtahid untuk menemukan hukum bagi suatu kasus baru dengan menganalogikan pada kasus yang sudah ada dasar hukumnya,” ujar Ajengan Wawan, menjelaskan esensi qiyas sebagai analogi dalam hukum Islam, seperti dikutip dari laman muhammadiyah.or.id.
Menurut Wawan, secara bahasa qiyas berarti “menyamakan”. Qiyas berfungsi menyamakan suatu kasus baru yang belum ada hukum jelasnya dengan kasus yang sudah memiliki dasar hukum karena adanya kesamaan dalam sebab hukumnya.
Sebagai contoh, Wawan menyebut hukum keharaman khamar yang jelas tercantum dalam Al-Quran. “Al-Quran melarang khamar karena sifatnya yang memabukkan,” jelasnya. Berdasarkan qiyas, hal ini dapat dianalogikan dengan minuman keras lainnya seperti whisky, sake, atau bahkan narkoba karena kesamaan unsur memabukkan (al-iskaru) yang dimiliki.
Ajengan Wawan kemudian menjelaskan empat rukun qiyas, yaitu al-aslu (kasus dasar dengan hukum yang telah ada dalam Al-Quran atau Sunnah), hukmul asli (ketentuan hukum pada kasus dasar), al-far’u (kasus baru), dan illah (sebab hukum yang mendasari persamaan keduanya). Dalam konteks keharaman khamar, sebab hukumnya adalah sifat memabukkan, sehingga minuman lain yang memabukkan juga dapat dihukumi haram.
Selain membahas teori qiyas, Wawan mengisahkan dialog antara Nabi Muhammad dan Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman. Dalam dialog tersebut, Nabi menguji kemampuan ijtihad Muadz dalam menghadapi kasus hukum yang tidak ditemukan dalam Al-Quran maupun Sunah. Muadz menjawab bahwa ia akan menggunakan akalnya atau ijtihadnya sendiri. “Ini menunjukkan pentingnya ijtihad, termasuk metode qiyas, untuk menjawab persoalan baru yang tidak ada dalam nash,” tegas Wawan.
Ajengan Wawan juga menambahkan bahwa Umar bin Khattab sering menerapkan pendekatan qiyas ketika menghadapi persoalan baru. Umar menyarankan para gubernurnya untuk menggunakan kasus-kasus yang sudah ada hukumnya sebagai acuan dalam mengambil keputusan.
“Qiyas adalah sumber hukum yang paling subur,” ujar Wawan, seraya mencontohkan penerapan qiyas dalam zakat fitrah di Indonesia yang dibayarkan dengan beras sebagai makanan pokok. Meskipun dalam hadis disebutkan kurma atau gandum, beras digunakan sebagai qiyas karena kesamaan fungsinya sebagai makanan pokok.
Melalui pemaparan ini, Ajengan Wawan menekankan bahwa qiyas memiliki peran penting dalam membantu umat Islam menjawab tantangan-tantangan baru yang muncul di tengah perkembangan zaman.***