Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • Asep Sunandar Sunarya, Dalang Asal Bandung Yang Naikkan Pamor Wayang Golek Hingga Mancanegara

    Aug 24 2023112 Dilihat

    BANDUNGMU.COM — Warga Jawa Barat pasti tahu dengan tokoh wayang golek asal Kampung Giriharja, Jelekong, Kabupaten Bandung, yang satu ini. Ya, namanya Asep Sunandar Sunarya.

    Mengutip Wikipedia, Asep Sunandar Sunarya atau sering dipanggil Ki Asep Sunandar Sunarya, lahir pada 3 September 1955 (wafat pada 31 Maret 2014), merupakan seorang maestro wayang golek masyhur di Indonesia.

    Selaku dalang wayang golek, Asep Sunandar Sunarya (di rumahnya biasa dipanggil Abah, di udara sebagai breaker menggunakan nama Eyang Abiyasa) konsisten pada bidang garapannya.

    Ia begitu menyatu dengan dunia wayang golek yang digelutinya sehingga penghargaan demi penghargaan, baik dari tingkat lokal, provinsi, nasional, maupun mancanegara selalu dia dapatkan.

    Pamor wayang naik 

    Tanpa adanya seorang Asep Sunandar Sunarya mungkin tokoh si Cepot tidak akan sepopuler sekarang ini. Berkat kreativitas dan inovasinya, dia berhasil meningkatkan lagi derajat wayang golek yang dianggap seni kampungan oleh segelintir orang.

    Peningkatan pamor itu dilakukan dengan menciptakan wayang Cepot yang bisa mangguk-mangguk, tokoh buta muntah mi, Arjuna dengan alat panahnya, Bima dengan gadanya, begitu pula dengan pakaian wayangnya yang terkesan mewah.

    Materi dan ketenaran dia dapatkan dari hasil berjuang tanpa henti dengan menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang sering kali tidak atau kurang menyenangkan.

    Sebelum suka datang, tentu duka menghampiri, bahkan sering kali suka dan duka menyatu dalam rentang panjang perjalanan seorang Asep.

    Orang tidak banyak tahu bahwa perjalanan dalam profesinya sebagai dalang demikian berliku. Tidak jarang di awal kariernya Asep sering mendapatkan kritikan pedas dari berbagai kalangan, terutama dari sang ayah (Abah Sunarya).

    “Setiap kali jika saya selesai pagelaran, Abah selalu mengatakan ‘goréng’ (jelek) terhadap apa yang saya lakukan. Abah itu orang tua yang pelit sekali untuk tertawa, anehnya hanya ketika saya mendalang dengan lawakan, dan Abah menyaksikan, ia tertawa. Bagi saya sepedas apa pun kritikannya, saya jadikan pupuk dan cambuk sehingga memacu kreativitas dan inovasi. Saya menjadi sekarang ini berkat adanya hari kemarin,” ujar Asep.

    Lebih jauh Asep mengatakan, “Kuring kudu ngahaturkeun nuhun ka sing saha waé anu geus ngritik, rék didasaran ku ngéwa atawa nyaah, pék téh teuing.

    Sajaba ti éta, meureun perlu ogé kuring nandeskeun yén naon rupa kréativitas jeung inovasi anu ku kuring dilakukeun, dina raraga tarékah sangkan seni Sunda wayang golék anu mibanda ajén adi luhung, tetep bisa hirup di sagala zaman, kaasup di jaman kiwari anu gening batan sakitu loba nilai seni katut budaya deungeun anu asup ka Indonésia pon kitu deui karasa ku urang Sunda.

    “Atuh meureun mun wayang golék teu dimumulé kujalan inovasi mah tangtu baris kadéséh ku budaya deungeun téh. Nu dipigusti ku kuring mah ngan Gusti, lain pakem, lain wayang golék, lain tali paranti.

    Sapamanggih kuring pakem wayang golék lain perkara anu statis komo kudu disakralkeun mah, lain! Ngan di sisi séjén, kuring ogé kudu méré atawa nyadiakeun lolongkrang pikeun saha waé anu miboga pamadegan anu teu sajalan jeung pamanggih kuring, mangga téh teuing.

    Teu aya guna jeung manpaatna mutuskeun silaturahmi alatan pakem jeung hal séjén anu sipatna multitafsir.

    Naon anu dilakukeun ku kuring, ngaropéa wayang golék ku jalan inovasi, lantaran kuring yakin yén euyeub pisan niléi-niléi kamanusaan katut Katuhanan dina seni Sunda wayang golék.

    Kumangrupa anu méré aprésiasi kana naon anu ku kuring dilakukeun, éta mah hak balaréa séwang-sewangan, da kuring mah darma diajar, atuh ngadalang gé darma diajar,” ungkapnya.

    Asep Sukana jadi Asep Sunandar Sunarya

    Mimpi adalah sebuah misteri yang multitafsir dan kebanyakan orang menganggapnya sebagai bunga tidur. Namun tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa mimpi adalah medium Tuhan “menyampaikan” pengetahuan-Nya kepada manusia.

    Namanya tafsir itu pastinya akan banyak versi. Kita tidak pernah paham secara detail apa hubungannya antara mimpi dan kenyataan.

    Namun inilah kenyataan yang dialami seorang ibu pada 1955 di Kampung Giriharja, Bandung, yang bernama Tjutjun Jubaedah (biasa dipanggil Abu Tjutjun). Dia merupakan isteri seorang dalang terkenal pada masanya yakni Abeng Sunarya (biasa dipanggil Abah Sunarya).

    Suami istri ini dikarunia 13 orang anak: Suherman Sunarya, Ade Kosasih Sunarya, Mintarsih Sunarya, Otah Saodah Sunarya, Ilis Sunarya, Nanih Sunarya, Asep Sunandar Sunarya (Sukana), Imas Sunarya, Iden Subrasana Sunarya, Nunuk Sunarya, Permanik Sunarya, Ugan Sunagar Sunarya, dan Agus Sunarya.

    Inilah salah satu episode tautan antara mimpi dan kelahiran. Ketika usia kandungan Abu Tjutjun menginjak bulan ketujuh, dia bermimpi bahwa kalau anak yang ke-7 dalam kandungannya lahir, tidak boleh diberi nama.

    Pada 3 September 1955, Abu Tjutjun melahirkan putra ke-7 seorang anak laki-laki. Teringat akan mimpinya, Abu Tjutjun tidak memberikan nama pada si jabang bayi tersebut.

    Entah apa hubungannya antara mimpi tersebut dan niat Abah Sunarya sebab menginjak usia 15 bulan setelah lahir, sang jabang bayi “diserahkan” kepada adiknya Abah Sunarya yang bernama Ibu Eja (akrab dipanggil Ma Jaja) yang kebetulan belum dikaruniai anak.

    Sejak saat itu hak asuh sang bayi menjadi tanggung jawab Ma Jaja (alias sang sibi bagi si Bayi). Bayi yang kelak menjadi dalang kesohor ini hidup di pelukan sang bibi.

    Karena sang bayi tidak bernama tentu ada kekhawatiran pada diri Ma Jaja jika tetangganya menanyakan perihal nama bayi tersebut. Untuk menyiasatinya maka Ma Jaja berpikir keras hingga muncul ide Sukana yakni semacam akronim dari bahasa Sunda yang berarti “sa suka na” (sesukanya).

    Kemudian Sukana menjadi semacam “nama” bagi bayi tersebut. Ide ini datang sebagai “jalan tengah” atau solusi jitu sebab dengan cara seperti itu Ma Jaja tidak melanggar apa yang diamanatkan oleh sang kaka.

    Salah satu sebutan untuk laki-laki di kalangan masyarakat Sunda adalah Asep (di samping Encep atau Ujang). Jadilah kemudian sang bayi terbiasa disebut Asep Sukana.

    Hampir seperti kebanyakan anak-anak lainnya pada zaman itu, Asep kecil senang sekali dengan dongeng atau kawih yang menyertainya menjelang tidur.

    Selain itu, Asep kecil sudah memperlihatkan kesukaannya terhadap aneka binatang peliharaan, seperti kucing, anjing, burung, dan ayam. Saking sayangnya pada binatang, Asep kecil menamai binatang-binatang itu, salah satunya anjingnya yang hitam polos diberinama Lutung.

    Pada diri Asep mengalir darah seni dari ayahnya. Diawali sejak usia 7 tahun ( kelas 1 SD) minat Asep terhadap wayang golek sudah mulai tumbuh. Selain karna faktor turunan juga memang pada zaman itu pagelaran seni wayang golek masih digandrungi oleh masyarakat. Pada saat itu belum ada “saingan” dari jenis seni lainnya sebagaimana terjadi pada zaman sekarang.

    Bakat Asep Sukana kecil ia perlihatkan dengan kegemarannya membuat wawayangan dari ranting-ranting pohon yang jatuh, tanah liat, dan daun singkong.

    Asep Sukana yang hidup di belaian Ma Jaja, tentu saja menganggap bahwa Ma Jaja adalah ibu kandungannya sendiri. Paling kurang selama 16 tahun Asep Sukana tidak pernah tahu siapa sesungguhnya orang tua kandungnya.

    Namun berkat kebijakan dari Ma Jaja maka akhirnya Asep mengetahui siapa ayah dan ibu kandungnya. Maka pada suatu kesempatan, Ma Jaja, Abeng Sunarya, dan Tjutjun Jubaedah bertemu, tersibaklah kemudian asal-usul atau silsilah keluarga yang sebernarnya.

    Suatu ketika saat Asep Sukana manggung di Luragung, ia mendalang siang hari (ngabeurangan), sedangkan pada malam harinya yang menjadi dalang adalah Abah Sunarya, maka saat itulah Abah Sunarya berujar: “Ngewa ngaran Sukana, ganti ku Sunandar!”

    Sejak saat itulah Asep Sukana berubah menjadi Asep Sunandar, sedangkan nama Sunarya merupakan nama sang ayah yang kemudian digunakannya. Hal ini lazim terjadi di masyarakat Sunda khususnya, dimana nama ayah kerap digunakan di belakang nama anaknya.

    “Apalah artinya sebuah nama tanpa karya,” ujar Asep Sunandar.

    Penghargaan atas karya

    Tentu banyak alasan kenapa ia memperoleh aneka penghargaan. Yang jelas tidak mungkin ada penghargaan tanpa prestasi dan tidak mungkin ada prestasi tanpa karya.

    Dari berkarya kemudian berprestasi tentu merupakan tangga tersendiri dan tangga ini hanya mungkin dilalui atau dicapai apabila padanya terdapat inovasi dari ragam kreativitas yang dilakoninya.

    Artinya, Asep tidak hanya sekadar berkarya, tetapi lebih jauh dari itu ia berkarya disertai inovasi dan kreativitas. Artinya pula karya Asep tidak stagnan, tetapi dinamis, terus mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman, “ngindung ka waktu mibapa ka jaman”.

    Selain mendalang beliau juga sering berdakwah. Selain penghargaan Individu Peduli Tradisi, Asep memiliki penghargaan atas semua kreativitasnya itu.

    Di antaranya pada 1978 Asep Sunandar Sunarya berhasil menyandang juara Dalang Pinilih I tingkat Jawa Barat pada Binojakrama padalangan di Bandung. Selang empat tahun kemudian yakni pada 1982, terpilih kembali menjadi juara pinilih I lagi di Bandung. Sejak 1982-1985 Asep Sunandar Sunarya rekaman kaset oleh SP Record dan Wisnu Record.

    Pada 1985 ia dinobatkan sebagai Dalang Juara Umum tingkat Jawa Barat pada Binojakrama Padalangan di Subang dan ia berhak memboyong Bokor Kencana sebagai lambang supremasi padalangan Sunda.

    Pada 1986 Asep Sunandar Sunarya mendapat mandat dari pemerintah sebagai duta kesenian untuk terbang ke Amerika Serikat. Pada yang sama, 1986, Dian Record mulai merekam karya-karya Asep Sunandar dalam bentuk kaset pita.

    Gelar profesor dari Perancis

    Pada 1993 Asep Sunandar Sunarya diminta oleh Institut International De La Marionnette di Charleville, Perancis, sebagai dosen luar biasa selama dua bulan, dan diberi gelar profesor oleh masyarakat akademis Prancis.

    Pada 1994 Asep Sunandar Sunarya mulai pentas di luar negeri, antara lain di: Inggris, Belanda, Swiss, Prancis, dan Belgia, setelah itu, yakni 1995, ia mendapat penghargaan Bintang Satya Lencana Kebudayaan.

    Hingga sekarang, tidak kurang dari 100 album rekaman (termasuk bobodoran) yang sudah dihasilkan Asep Sunandar Sunarya. Bahkan salah satu station televisi swasta juga pernah membuat program khusus Asep berjudul “Asep Show” yang tayang di bulan Ramadhan.

    Setidaknya itulah beberapa penghargaan formal yang pernah diraih Asep. Tidak terhitung aneka penghargaan nonformal, baik yang datang dari perseorangan maupun kelembagaan.

    Dari semua itu, pada kesehariaanya, Asep tetaplah Asep yang hidup bersahaja, mengenakan sarung, dan bersila, serta “bercengkerama” dengan domba-domba peliharaanya.

    Benar tidaknya Asep Sunandar Sunarya bisa disebut sang maestro, tentu bukan yang bersangkutan yang menjawabnya. Hanya masyarakat, baik itu penggemar wayang golek maupun pemerhati wayang setidaknya yang dapat menilainya.

    Tentu saja penilaian ini merujuk kepada sejumlah karya yang sudah dihasilkannya. Yang jelas salah satu stasiun televisi sempat merekam jejak perjalanan seorang Asep dalam format acara “Maestro” beberapa tahun yang lalu.

    Fakta menunjukkan bahwa jam terbang manggungnya cukup mencengangkan bahkan sekitar 1985-1990-an, ia sering kali harus manggung 40 kali per bulannya.

    Kehidupan pribadi

    Pada umur 17 tahun Asep Sunandar Sunarya menikahi Euis Garnewi (16 tahun) seorang pesinden yang juga anak seorang camat. Dari pernikahannya itu Asep dikaruniai 1 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki yaitu Maesaroh, Dadan Sunandar, dan Dani.

    Namun nasib tak bisa ditolak, perkawinan mereka hanya bertahan hingga 7 tahun, meraka pun sepakat untuk bercerai secara baik-baik.

    Tuhan pun mempertemukan Asep dengan Elas Sulastri (18 tahun) seorang gadis asal Lembang, Jawa Barat, pada 1978, saat itu usia Asep 23 tahun. Dari pernikahannya Asep dikarunia 1 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan yaitu Dinar Mustika, Elin, dan Gina Tridasanti.

    Namun, lagi-lagi jalan hidup tidak ada yang menduga. Pernikahannya dengan Elas kandas di tengah jalan. Usia pernikahannya dengan Elas Sulastri hanya berlangsung 6 tahun.

    Pada usia 29 tahun Asep menikah lagi dengan Ati (20 tahun) seorang gadis asal Rancaekek, Bandung, Jawa Barat. Dari pernikahannya dengan Ati lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Cipta Dewa atau sering dipanggil Ito.

    Pada tahun yang sama, Asep menikah lagi dengan gadis asal Cangkuang bernama Sumirat (sebagai istri kedua). Dari pernikahannya dengan Sumirat lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gunawan Wibiksana.

    Inilah jalan kehidupan Asep. Sama sekali yang bersangkutan tidak pernah tahu bahwa dirinya harus berpoligami.

    Pada 1985 saat Asep berusia 31, ia terpikat gadis cantik dari Kadupandak, Cianjur Selatan, yang bernama Nenah Hayati (15 tahun). Pertemuannya bermula saat Asep sedang pentas di daerah tersebut.

    Pendek cerita akhirnya mereka sepakat untuk menjalin tali kasih yang seterusnya menikah pada 4 Maret 1985. Kedua istrinya yang dimadu tersebut dangan rela harus melangsungkan perceraian sebagai jalan terbaik setelah mengetahui suaminya sudah menikah lagi dengan gadis cantik yang baru lulus dari SMP.

    Dari pernikahan tersebut lahirlah 6 orang anak laki-laki: Bhatara Sena, Gysta Gumilar Agustina, Yogaswara Sunandar, Sunan Purwa Aji, Aria Sadewa, dan Maulana Yusuf. Hingga saat ini hanya satu istri yang hidup serumah dengan Asep.

    Hidup dan jalan kehidupan seseorang memang menjadi rahasia Tuhan.

    “Euweuh… euweuh nu nyaho manusa mah soal jodo, pati, bagja katut cilaka. Kitu deui jeung uing, ah teu nyangka wé sagala rupana ogé, geus kieu wé kuduna, da mémang kieu gening kanyataanana. Teu dalang, teu présidén, teu hansip, teu ulama, teu saha, ari ceuk nu Maha Sutradara kudu A nya pasti kajadian A. Ah tarima wé ku kasadaran da sagala gé teu hayang komo embung,” ujar Asep.

    Dalang kondang ini memiliki riwayat penyakit jantung dan rencananya akan dibawa ke sebuah rumah sakit di Singapura untuk berobat. Namun takdir berkata lain, pada 31 Maret 2014, Asep Sunarya meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung.***



    sumber berita ini dari bandungmu.com

    Author

    Share to

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top