Oleh: Ace Somantri
BANDUNGMU.COM — Dag dig dug der suara hati dalam aura perpolitikan nasional bangsa di negeri loh jinawi kerta raharja.
Setahun lebih dinamika politik sangat menarik untuk ditelisik berbagai perspektif. Jauh-jauh hari menguji popularitas diri sejauh mana nilai angka elektabilitas personal branding yang dimiliki.
Pigur-pigur yang muncul dari awal masih didominasi orang-orang lama di entitas partai. Betul kata para aktivis gerakan bahwa dalam politik tidak ada lawan abdi, apalagi teman abadi, tetapi hanya kepentingan yang abadi.
Nirmoral dalam politik dapat dikatakan hal lumrah adanya karena pada tujuannya sama yakni sebuah kekuasaan dan kepentingan. Perhelatan pemilu presiden 2024 sangat sengit dan mengasyikkan. Para pengamat melontarkan berbagai pendapat atas dasar kajian praktis-empirik maupun akademik.
Mereka mengomentari sosok kepemimpinan dari berbagai sudut pandang ilmu, baik pendekatan instrumen regulasi kekuasaan maupun pendekatan sosial kemasyarakatan.
Para oligarki tak ketinggalan ikut berpartisipasi, bahkan jauh lebih awal lagi sudah memiliki nama-nama yang sudah dikantongi sesuai dengan kebutuhan dalam kajian perspektifnya yang tepat.
Kepentingan bagi mereka sangat mutlak untuk melanggenggkan bisnisnya agar tidak terganggu dan diganggu, bahkan mereka rela bermodal demi sebuah kapital.
Kenapa itu harus terjadi? Usut demi usut para oligarki ternyata kebanyakan pelaku bisnis besar yang butuh kekuatan dan kekuasaan negara.
Disukai atau tidak, fakta dan realitasnya dalam sejarah demokrasi negara bahwa peranan pengusaha sangat sentral “setali tiga uang” untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Wajar saja setiap hajat demokrasi lima tahunan selalu menjadi ajang perjudian kelas elite pengusaha kelas dunia. Oleh karena itu, siapa yang dapat menaklukan dan memenangkan perjudian, dia yang berkuasa karena di situ menjadi sumber dan sumbu lingkaran kekuatan ekonomi.
Fenomena lima tahunan kerap kali menghangatkan suasana kebatinan bangsa dan negara, bahkan membuat panas hingga kebakaran. Para pencundang dan pengkhianat bangsa selalu hadir dalam bingkai demokrasi.
Tidak peduli negara ini tercabik-cabik akibat demokrasi penuh intrik politik yang brutal. Hanya satu baginya yaitu memenangkan perjudian tersebut.
Setiap lima tahunan kata-kata “perubahan” menjadi jualan basi dalam kontestasi demokrasi. Entah kenapa masyarakat Indonesia selalu lupa dan khilap.
Padahal kata perubahan berulang kali muncul dalam dinamika politik kebangsaan sebagai gincu dalam bibir untuk mewarnai ungkapan untaian kata para politisi saat mengambil hati.
Semua itu merupakan hak politik setiap orang yang lahir ke dunia dan berada hadir di negara demokrasi. Begitu katanya. Namun, entah sampai kapan perjudian politik ini berlangsung?
Sudah muak dan bosan kesedihan akan tindakan dan kebijakan tirani yang kerap kali menghiasi ibu pertiwi atas nama demokrasi dan keutuhan negeri. Rakyat setiap hari disuguhi sajian wara-wiri pencitraan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
Beredar luas viral dimedia sosial, ungkapan dan pernyataan elite-elite bangsa melemparkan kartu perjudian yang diedarkan ke ruang publik.
Pasangan calon presiden dipasangkan dengan calon wakilnya yang dianggap pantas dan pas. Berbagai pertimbangan dan alasan sosial politik yang ada menjadi dasar pasangan disebarkan sebagai permulaan “the test water”.
Berbagai media mainstrem atau media lain membuat opini sedemikian hebat sesuai nilai kontrak, narasi-narasi dibuat seksi yang dilegitimasi teori akasemis seolah-olah ini sesuatu yang intelek karena dianggap rasional dan objektif.
Padahal itu semua kartu-kartu perjudian yang sengaja dipermainkan oleh para oligarki. Asyik sekali bagi yang menyaksikan dan menikmati. Namun, menyesakkan dada bagi orang yang berakal sehat.
Negara ini tak ubahnya seonggok pohon yang kapan-kapan mengalami perubahan fisik jasadiyah sesuai iklim dan cuaca. Tidak menutup kemungkinan pada waktu tertentu tumbang akibat banyak virus dan hama yang merusak negara.
Demokrasi, otokrasi, dan aristokrasi pada dasarnya semua dibebankan pada warga dan rakyatnya, kecuali saat pemimpin muncul, maka konsekuensi dan resiko mulai berbagi peran.
Hanya saja dalam dinamika kepemimpinan yang ada saat ini sudah terlalu kuat dan kental dengan intervensi oligarki sehingga kebebasan dan kemerdekaan hakiki tidak dimiliki bangsa dan negara.
Sejak proklamasi 1945, bangsa ini hingga kini ada dalam bayang-bayang kolonialisme. Hal itu diawali dengan jeratan hutang dari pinjaman terhadap negara luar yang dikira akan menolong dan membantu memulihkan, membangun, dan memajukan bangsa.
Ternyata tidak sesuai dengan harapan ideal. Hutang negara terus meningkat seiring berjalan waktu dengan bunga yang dibebankan oleh pemberi hutang.
Memang dalam realita hidup kebangsaan seperti tidak ada beban yang membebankan secara langsung, biasa-biasa saja seolah-olah tidak punya hutang kepada orang lain.
Hal yang lucunya dan parah sekali, malah terus menambah pinjaman tanpa ragu karena dalil untuk kepentingan dan keberlanjutan pembangunan negara. Lebih parah lagi, uang dapat pinjaman saat dalam penggunaanya dikorupsi dengan berbagai cara skema.
Ini semua diawali skema meminjam dengan cara ribawi yang tidak dibenarkan ajaran Islam. Boleh jadi saat awal dapat pengampunan atas keringanan alasan syari. Namun, saat seharusnya meningkatkan pendapatan uang negara dalam kurun waktu tertentu ada cara yang lebih baik dan benar.
Entah lupa atau khilaf, para penguasa negara bukannya fokus membayar hutang hingga lunas, melainkan terus menambah dan meningkatkan jumlah pinjaman. Akibanya, bunganya pun terus meningkat seiring tambahan pinjaman dan perpanjangan waktu pembayaran hutang yang kian hari semakin menggunung.
Dosa siapa ini? Begitu salah satu untaian kata pada lirik dalam lagu seorang artis. Hutang negara samakin menumpuk hingga kini menyentuh ke angka 7.000 triliun kurang lebih dan hampir dipastikan setiap tahun meningkat jumlahnya.
Setiap tahun juga dibayar sesuai dengan kemampuan negara. Namun, itu tidak mempengaruhi terhadap kedaulatan negara. Cengkeraman hutang telah menyandra negara dalam bayang-bayang kolonialisme dan imprealisme sepanjang waktu dalam bentuk lain. Kedaulatan negara hanya dalam bungkus kemasan yang di dalamnya kebohongan semata.
Perhelatan pemilu presiden dan wakilnya seperti sebuah perjudian politik. Calon-calon yang muncul ibarat kartu judi yang dipegang masing-masing para pemain.
Dari awal permainan sudah mulai satu per satu kartunya mati. Tinggal tersisa ada beberapa calon yang masih dipegang dan menunggu waktu yang tepat kapan akan saling mematikan angka kemenangan.
Rakyat disibukan dengan narasi dan diksi yang dilempar oleh para politisi, akademisi, dan pengamat sosial politik kenegaraan. Termasuk munculnya para relawan dari calon-calon tertentu yang merupakan bagian kecil menambah asyiknya demokrasi.
Timses atau sukses tim menjadi lahan pragmatis sesaat yang dilakukan para pialang politik diakar rumput untuk mengawal demokrasi lebih baik. Padahal, kenyataannya tanpa disadari hal tersebut melegitimasi aksi demokrasi yang dikebiri.
Hiruk pikuk kontestasi pemilu presiden selalu asyik disimak saat musimnya tiba. Bagi yang cerdik dapat menangkap peluang dan kesempatan untuk ikut mengambil serpihan nilai materi dari polusi politik. Tidak peduli hal itu akan mengurangi dan mengikis prinsip dan idealisme hidup.
Siapa pun calon presiden yang dilempar oligarki, bagi rakyat hanya satu ungkapan, “Kesejahteraan dan keadilan yang merata penuh kedamaian.”
Tidak banyak yang diminta oleh rakyat. Mereka tidak butuh kata-kata penuh basa-basi kampanye. Mereka tidak peduli siapa yang duduk di kursi istana dan para dayangnya.
Selama ini kewajiban demi kewajiban mereka sudah dilakukan dengan saksama. Hal yang mereka minta hanya hak yang seadil-adilnya.
Jangan mengorupsi, mencuri, dan merampok hak mereka. Mereka tidak akan segan-segan untuk meminta bantuan seraya berdoa kepada sang pemberi amanah alam semesta agar segera mengingatkan kepada yang melanggar dan mengkhianati tanggungjawabnya.
Jikalau tetap belum memberi efek jera, justru semakin sombong dan angkuh karena serasa apa yang didapat merupakan usaha keras keringatnya sendiri. Padahal, sebenarnya dari tumpukan harta itu banyak hak orang lain yang diambilnya.
Semoga asyiknya pesta demokrasi hari ini ada secercah cahaya hati nurani yang menerangi jalan pikiran para penerima amanah ibu pertiwi. Wallahu’alam.***