Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Sejauh mata memandang masa depan, amanah yang dipikul sungguh berat tak terkira. Saat kau mengetuk pintu hati kekasih, ingatlah bahwa tanggung jawab akan menanti. Bukan hanya dirimu yang perlu kau jaga, tapi juga bidadari pilihanmu yang kelak harus kau lindungi dengan segenap cinta dan kasih.
Mengais rezeki sejak fajar menyingsing, pulang saat senja telah berlalu, terkadang malam pun telah merengkuh bumi. Banyak di antara mereka yang hanya dapat menapak kembali ke rumah setelah tujuh hari berlalu.
Bahkan ada yang menanti sebulan penuh untuk dapat memeluk keluarga tercinta. Semua pengorbanan ini mereka jalani demi menunaikan janji suci yang telah diikrarkan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa dan amanah yang telah dipercayakan oleh wali sang permaisuri hati.
Kewajiban menjaga diri dan pasangan hidup tak pernah usai, hingga anugerah buah hati hadir melengkapi mahkota kebahagiaan. Entah dikaruniai putera atau puteri, diberkahi satu, dua, tiga atau lebih banyak lagi, semuanya adalah titipan suci dari Yang Maha Kuasa. Mereka adalah amanah yang harus dirawat dengan penuh kelembutan, dibimbing dengan kasih sayang, dan dididik dengan segenap cinta.
Derai tangis dan rengekan si buah hati sesungguhnya adalah melodi kebahagiaan tersendiri. Tingkah manja mereka yang menggemaskan adalah warna alami masa kanak-kanak yang tak tergantikan. Bahkan ketika amarah kecil mereka meledak karena keinginan yang belum terpenuhi atau harus ditunda, semua itu hanyalah bumbu penyedap dalam resep keluarga bahagia.
Engkau, ayah, sosok perkasa yang tak kenal lelah. Dengan pundak kokoh, kau pikul beban hidup yang sedemikian berat dengan keikhlasan yang dalam.
Tidak kau hiraukan tubuh yang mengering diterpa terik mentari yang membakar, tidak kau keluhkan baju yang basah kuyup diterjang hujan yang mengguyur. Bahkan ketika angin malam menembus hingga ke sumsum tulang, membuatmu menggigil kedinginan, kau tetap teguh berdiri.
Di relung hatimu hanya ada satu tujuan: kebahagiaan istri dan anak-anakmu tersayang. Keringat yang mengucur deras dengan aroma yang mungkin tak sedap di hidung orang lain, bagimu adalah parfum perjuangan.
Tidak kau hiraukan pandangan sekeliling karena yang utama adalah menunaikan amanah suci ini. Bahkan ketika kulit punggungmu terkelupas dan melepuh akibat setiap hari memikul beban berton-ton sebagai kuli angkut, semangatmu tak pernah surut, tak pernah padam.
Dalam pandangan matamu, hanya terpancar wajah istri dan anak sebagai cahaya kehidupan. Di telingamu, rengekan dan tangis si buah hati adalah lantunan melodi terindah yang selalu kau rindukan.
Tidak pernah terlintas dalam benakmu untuk bergaya atau tampil menawan saat mencangkul di sawah yang berlumpur, saat merawat tanaman di ladang yang terbentang, atau ketika berkebun di bawah terik matahari. Bahkan ketika memikul bahan bangunan yang memberatkan pundak.
Tak ada gaya yang perlu dipamerkan saat tanganmu mengais rejeki dari sampah-sampah rumah tangga, mencari secercah berkah dalam setiap bungkusan yang terbuang. Jauh panggang dari api untuk disebut kaya raya, tetapi hatimu selalu kaya dengan rasa syukur.
Alhamdulillah terucap dari bibirmu kala dapat mengisi piring keluarga di pagi dan siang hari. Sisa rejeki yang ada, kau simpan dengan penuh harap, demi masa depan anak-anak di bangku sekolah dan keperluan hidup lainnya.
Ayah, kau sungguh sosok yang luar biasa. Dagingmu seolah dilebur dari besi paling tangguh, tulangmu seakan ditempa dari baja termulia, dan urat nadimu bagaikan kawat yang tak mengenal putus. Lelah mungkin hinggap, tetapi tak pernah kau biarkan singgah terlalu lama. Putus asa? Kata itu bahkan tak ada dalam kamus kehidupanmu.
Debu jalanan dan kepulan asap kendaraan yang menerpa wajahmu seakan hanya angin lalu. Riuh rendah suara mesin yang memekakkan telinga tak kau gubris, bagai melodi yang terlupa. Bahkan celotehan dan teguran dari majikan serta atasan di tempat kerja kau terima dengan hati lapang, bagai air mengalir yang tak meninggalkan bekas.
Langkahmu tetap pasti, dipenuhi semangat membara dan ambisi yang menyala-nyala. Karena dalam setiap derap kakimu, tertanam keyakinan mendalam bahwa Allah Yang Maha Kuasa senantiasa menyertai dan membimbing perjalananmu.
Rezeki halal yang kamu cari memang tidak mudah dan penuh tantangan, tetapi selalu ada jalan. Sedikit atau banyak bukanlah masalah, yang penting adalah rezeki itu halal dan baik saat dinikmati oleh istri dan anak-anak.
Ayah, kami bangga atas dedikasi dan loyalitasmu demi kesejahteraan dan kesuksesanku. Sekecil apa pun, meski hanya sebutir kerikil, pemberianmu telah menjadi bagian dari tubuh ini, mengalirkan darah dan menyemai semangat juangmu dalam diriku. Kami mungkin belum bisa membalas setitik pun dari setiap tetes keringat yang engkau curahkan setiap waktu.
Kami, anak-anakmu, belum tentu mampu mengungkapkan terima kasih atas semua jasamu yang tak pernah tercatat dalam buku mana pun—tak terhitung besarnya kasih sayang yang kau berikan, juga nilai materi yang tak pernah terhitung dalam neraca keuangan.
Dari ketulusanmu kami belajar, dari ketangguhanmu kami mendapat inspirasi, dari kegagahanmu kami meraih semangat, dan dari kekhusyukanmu kami berusaha konsisten menuju visi hidup yang bermakna di dunia dan akhirat.
Ayah, kami memohon maaf dan ampunanmu ketika kami marah, jengkel, dan kesal saat uang jajan yang diberikan tak sesuai harapan. Kami juga mohon maaf atas kelancangan kata-kata kasar dan sikap sombong yang sering terlontar dariku. Kami, anak-anakmu, tak berdaya saat godaan syaitan merasuk ke dalam hati, membisikkan keburukan.
Kami terus berupaya keras agar bisa menjadi anak-anak sholeh, seperti keluarga Luqman yang tercatat dalam firman ilahi sebagai kisah keluarga bahagia dunia akhirat. Kami pergi jauh menuntut ilmu dari hasil kerja keras tenaga dan pikiranmu. Meski kini kami telah berkeluarga, kami tetap berusaha untuk selalu berbakti dan menjaga posisi sebagai anak-anakmu.
Usiamu kini telah renta, tubuhmu tampak kurus, lusuh, dan kulitmu berkerut, tanda usia yang kian lanjut. Namun, engkau tetaplah ayahku. Menahan setiap rasa sakit dalam tubuhmu, sering kali kau sembunyikan kondisi itu dari kami, agar anak-anakmu tetap bersemangat dan penuh optimisme.
Tak ada ayah sehebat dirimu. Keteladanan dan semangatmu dalam mengabdi kepada Ilahi adalah bukti tanggung jawabmu sebagai pemimpin keluarga. Kami, sebagai anak-anakmu, akan terus berdoa dengan sepenuh hati agar engkau senantiasa sehat, kuat, tangguh, dan hebat, dalam keadaan dan usia berapa pun.
Ayah terima kasih atas perjuanganmu, engaku selain menjagaku dengan penuh dedikasi tinggi, kami sangat bersyukur dan sujud sambil mengangkat tangan karena emgkau bukan hanya menjaga kami melainkan telah menjaga ibuku sebagai istri kesayanganmu. Karena semangat juangmu mengabdi, ibuku telah melahirkan kami dengan tulus dan ikhlas.
Menyusui, mengasuh, dan mendidik kami dengan sepenuh tenaga, ibuku telah kau jaga dengan penuh kasih sayang. Terima kasih, ayah, atas kesungguhanmu menjaga ibuku.
Kami mohon doa ikhlasmu agar kami bisa menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah di antara jutaan hingga miliaran anak yang lahir di dunia. Hanya dengan doa tulusmu, kami memiliki kekuatan dan semangat untuk terus melangkah, menjalani hidup, hingga cita-cita kami tercapai.
Banyak kisah nyata tentang perjuangan seorang ayah yang tak kenal lelah dan putus asa, tak gentar menghadapi bahaya, apalagi sekadar merasa malu. Demi anak dan istri tercinta, ia mendaki gunung tinggi, menyeberangi lautan luas, menerobos langit yang tinggi, dan melewati hutan belantara. Jiwa dan raganya benar-benar menyatu, sepenuhnya untuk istri yang setia dan anak-anak yang dikasihi.
Kewajibanmu memang menjaga amanah, hingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang engkau berikan kepada kami sudah lebih dari cukup. Kami terus berupaya menjaga rasa syukur, meskipun banyak perbedaan dengan keluarga lain yang berlimpah harta, memiliki rumah megah, kendaraan mewah, dan jabatan tinggi yang begitu wah.
Kami ingat betul saat masih kecil, tangisan kami hanya untuk meminta uang jajan. Namun, sering kali permintaan itu tidak terpenuhi, entah karena keterbatasan atau memang cara Ayah mendidik kami.
Pada saat-saat itu, kami sering merasa jengkel dan marah, tetapi ternyata itulah cara ayah dan ibu mendidik kami untuk membentuk karakter kami. Ayah, engkau memang luar biasa, selain kuat dan tangguh dalam mencari nafkah, engkau juga cerdas dalam mendidik kami hingga kami tumbuh besar dan dewasa.
Ayah, selain Ibu yang berperan sebagai guru, ternyata engkau juga adalah guru sekaligus kepala sekolah di rumah kami. Benar apa yang dikatakan Zakiyah Drajat bahwa rumah adalah sekolah pertama dan kami benar-benar merasakan serta mengakui hal itu. Terlebih lagi, apa yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, “Rumahku surgaku” (baiti jannti), itu sangat benar dan kami rasakan sepenuhnya.
Bahkan, jika tidak dikendalikan, saking selalu tersedianya makanan dan minuman di rumah, sangat mungkin hal itu bisa membuat kami menjadi malas. Rumah sebagai surga, simbol keluarga yang bahagia dan sejahtera, itu semua diciptakan oleh Ayah sebagai pemimpin dalam keluarga.
Ayah, engkau mungkin bukan lulusan perguruan tinggi dengan gelar panjang, namun berkat kehebatanmu, kami bisa menempuh pendidikan hingga tingkat sarjana dan pascasarjana. Kami, anak-anakmu, meskipun telah menjadi sarjana berkat didikanmu, belum tentu mampu mendidik anak-anak kami, cucumu, untuk melampaui apa yang telah kami capai.
Ya Allah, Ya Rabb, berikanlah kekuatan lahir dan batin kepada kami. Segala yang kami lakukan semata-mata hanya karena-Mu. Anugerahkan kesehatan jasmani dan rohani kepada ayahku, dan tempatkanlah mereka yang telah tiada di sisi-Mu dalam tempat terbaik.
Kami pun berharap dapat menjadi ayah terbaik bagi anak-anak kami kelak, agar mereka tumbuh dewasa, berkeluarga, dan meneruskan generasi-generasi rabbani yang qurani. Terima kasih, ayahku yang hebat dan kuat. Selamat Hari Ayah. ***