bandungmu • Jul 03 2023 • 32 Dilihat
BANDUNGMU.COM, Bandung — Terkadang istilah tunangan sering diidentikkan oleh sebagian orang dengan istilah khitbah. Padahal antara “tunangan” dan “hitbah” (melamar) memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Khitbah merupakan proses melamar wanita yang akan dinikahinya yang selanjutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama dilanjutkan dengan proses pernikahan.
Sementara itu, khitbah menurut syariat Islam adalah langkah penetapan atau penentuan sebelum pernikahan dilakukan dengan penuh kesadaran, kemantapan, dan ketenangan untuk menentukan pilihannya sehigga tidak terlintas dalam benaknya untuk membatalkan pinangan tanpa ada faktor yang dibenarkan.
Hal ini karena membatalkan pinangan dapat menyakiti perasaan wanita yang dipinang beserta keluarga besarnya, merusak kemuliaan dan nama baiknya, dapat memutuskan tali silaturrahim, serta tidak sesuai dengan akhlak yang mulia (akhlaq karimah).
Dengan demikian, khitbah merupakan sebuah proses pra nikah yang diperbolehkan dalam ajara Islam.
Istilah khitbah dalam syariat Islam dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi SAW.
Bahwa Ibnu Umar (diriwayatkan) berkata bahwa Nabi SAW telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya, dan janganlah seseorang meminang atas pinangan orang lain sehingga ia meninggalkannya atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.” (HR Al-Bukhari).
Praktik tunangan dengan saling memakaikan cincin, saling pegangan, atau bahkan dengan cium kening atau pipi pasangan, dalam syariat Islam termasuk sesuatu yang dilarang.
Pasalnya dua insan yang menjalin ikatan pertunangan ataupun khitbah tetaplah sebagai pasangan yang belum diikat dengan pernikahan yang syari.
Oleh karena itu, mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan berbagai tindakan sebagaimana layaknya pasangan suami-istri, seperti berduaan, berpegangan tangan, dan hidup serumah.
Dengan demikian, ungkapan yang menyatakan bahwa “Seorang tunangan laki-laki mempunyai setengah kewajiban dari calon istrinya” tentu merupakan pernyataan dan sikap yang tidak memiliki dasar sama sekali.
Dengan ungkapan lain bahwa orang yang bertunangan tidak memiliki kewajiban maupun hak untuk memberi dan mendapatkan nafkah, baik lahir (sandang, pangan, dan papan) maupun nafkah batin.
Namun, jika yang dimaksudkan itu adalah kewajiban untuk menjaga janji atau kesepakatan bersama atau menjaga nama baik masing-masing pihak, itu merupakan kewajiban setiap orang yang menjalin perjanjian atau hubungan kerjasama (muamalah).
Tentu saja selama hal tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma, ketentuan, dan hukum agama.
Oleh sebab itu, sebagai sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, tunangan perlu diatur dan diberikan rambu-rambu atau ketentuan-ketentuan agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Laki-laki dan wanita yang menjalin ikatan pertunangan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam.
Misalnya bersentuhan, berduaan, atau tinggal serumah layaknya pasangan suami-istri serta berbagai tindakan yang dilarang oleh agama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi SAW:
Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Hendaknya saling menjaga nama baik diri dan keluarga besar settiap pihak dengan tidak menceritakan aib atau kekurangan pihak lain. Kemudian tidak melakukan berbagai tindakan dan pernyataan yang dapat merusak nama baik diri ataupun keluarga besarnya.
Dari Ibnu Syihab bahwa Salim mengabarkannya bahwa Abdullah bin Umar mengabarkannya bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, Allah akan membantu kebutuhannya. Barang siapa yang menghilangkan suatu kesusahan seorang muslim, Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Menjaga dan menepati janji yang telah diikrarkan di hadapan keluarga besarnya karena melanggar janji merupakan perbuatan tercela dan termasuk ciri-ciri orang munafik.
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Tanda-tanda munafiK ada tiga, yaitu jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika diberi amanat dia khianat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pada prinsipnya, seseorang tidak boleh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada pihak lain, kecuali jika terjadi pengkhianatan terhadap kesepakatan yang telah diikrarkan sejak awal, hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW.
Dari Ibnu Abbas [diriwayatkan] dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Orang yang menarik (mengambil) kembali pemberiannya, seperti seekor anjing yang muntah dan memakan (menjilat) kembali muntahannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Seseorang yang sudah berniat untuk menikah, sepatutnya segera menikah tanpa harus menunggu-nunggu atau menunda-nunda, baik dengan cara bertunangan atau sejenisnya.
Hal itu bertujuan untuk menghindari sesuatu yang dilarang oleh agama, seperti berkhalwat (berdua-duaan), pegang-pegangan, dan tindakan lain yang dilarang oleh agama.
Dari Alqamah (diriwayatkan) ia berkata bahwa sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda kepada kita, “Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan menanggung beban pernikahan, hendaklah ia menikah, dan barang siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Namun, jika hal tersebut dilakukan karena pertimbangan tertentu, hendaknya dilaksanakan layaknya silaturrahim dua keluarga besar.
Yakni untuk menjalin sebuah komunikasi dan komitmen tentang masa depan hubungan anaknya sebelum melangkah ke pelaminan (ta’aruf), serta menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama seperti berduaan (berkhalwat), tinggal serumah, berpegangan, maupun mengadakan kegiatan (seremonial) yang berlebihan (tabzir).
Hal ini karena sesuatu yang disyariatkan dalam konteks pernikahan adalah khitbah untuk mengenal calon pasangan, akad nikah dan walimah, dan bukan dengan cara-cara yang tidak dituntunkan oleh agama serta membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap ajaran agama.***
___
Sumber: muhammadiyah.or.id
Editor: FA
sumber berita ini dari bandungmu.com
Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...
Oleh: Sukron Abdilah* BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...
BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...
BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...
CIREBONMU.COM — SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...
BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...
No comments yet.