Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • Jejak Sejarah Sunda Kelapa Jadi Jayakarta

    Oct 03 202338 Dilihat

    Oleh: Sopaat Rahmat Selamet, Sejarawan dan Dosen UM Bandung

    BANDUNGMU.COM — Lima Abad kurang empat tahun yang lalu, 22 Juni 1527, Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati (Syarif Hidyayatullah) menyiapkan kekuatan untuk mengusir bangsa Peranggi (Portugis) yang sudah berada di Kota Sunda Kelapa.

    Bukan saja dari Cirebon dan Demak, kekuatan untuk menghadapi dan mengusir mereka didatangkan pula dari kalangan ulama, syekh, atau waliyullah lainnya di tatar Sunda saat itu.

    Konon selain Ki Mas Jung dan Ki Mas Jo, hadir pula salah satu teman Kanjeng Sunan Kalijaga yaitu Syech Merah (Syech Merak). Beliau dikenal luas sebagai Syech Jamaluddin Al-Anshari.

    Waliyullah yang satu ini saat itu berjalan dari arah timur, hingga sempat berdiam di hutan di tengah tanah Pasundan. Di lembah yang berada di tengah-tengah yang dikelilingi gunung.

    Di sinilah beliau menanam pepohon sejenis beringin yang disebut dengan “kiara”. Pepohon kiara ini tumbuh rimbun di tempat tersebut.

    Di sebuah titik di mana tumbuh pohon kiara yang condong ke arah barat, Jamaluddin Al-Anshari–yang kemudian dikenal pula sebagai Syech Kiara–menancapkan tongkat di atas tanah. Sebagai penanda untuk niatnya membangun masjid untuk beribadah kepada Allah.

    Ilmu yang populer sebagai ikonnya Kanjeng Sunan Kalijaga,”tongkat” atau patok, itulah sebagai penanda yang kokoh menancap di dalam bumi. Hampir 5 abad usianya berada dalam tanah di titik tersebut.

    Di sinilah kemudian mula awal dikenal daerah hutan belantara dikenal dengan hutan “Kiaracondong”. Hutan yang lekat dengan nama Syech Kiara, seorang waliyullah yang mengembara.

    Terpaut jarak terhalang gunung di antara lembah yang kini dikenal sebagai “Bandung” (Bendung), sebelah timur-selatannya dataran lembah seperti ceruk lebih kecil dari lembah “Bandung” pun masih hutan belantara.

    Baru di abad ke-19 awal, dikenal sebagai ibu kota baru Limbangan (Garut). Abad 17 masih dikenal sebagai Kerajaan Timbanganten yang runtuh karena guguran letusan Gunung Gede (Guntur).

    Di tepi Gunung Guntur inilah sebelah selatannya merupakan pelabuhan pesantren di mana murid-murid dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) membuka dan mengembangkan dakwah. Pesantren dan perkampungan tua itu dikenal sebagai Pesantren Tanjung (Tanjungsingguru).

    Di antara tokoh pemuka dari pesantren ini adalah Syech Rohmatullah. Ia mendapat undangan dari Sultan Maulana Hasanudin (Banten) untuk bergabung dalam kekuatan bersama menghadapi kekuatan asing, bangsa Peranggi (Portugis), yang mengawali untuk menancapkan kekuatannya untuk menguasai sumber ekonomi perdagangan (rempah-rempahan) dari negeri Timur (nusantara). Yang mana pulau Jawa sebagai pusat kekuasaannya.

    Relasi kesultanan di Jawa dengan kesultanan lainnya di pulau luar terjalin kuat, dengan pulau Sumatera, Borneo (Kalimantan), Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya.

    Peristiwa 22 Juni 1527 itulah menandai terusirnya bangsa Peranggi (Portugis) yang bersekutu dengan Padjadjaran (saat itu).

    Sehingga mundurlah bangsa Peranggi (Portugis) itu ke bagian atas, ke selat antara Samudera (Sumatera) dan Kesultanan Malaka.

    Di Kesultanan Malaka inilah mereka bercokol yang sebelumnya sudah dikuasai mereka sejak tahun 1511.

    Kemenangan bangsa muslim yang dipimpin Sultan Maulana Hasanudin–putera Kanjeng Sunan Gunung Jati–serta bantuan dari kesultanan Cirebon dan Demak.

    Konon dengan mengutip surah Al-Fath, kalimat fathan mubina (kemerdekaan yang paripurna), nama Sunda Kalapa itu kemudian diubah namanya menjadi Jayakarta sebagai terjemahan dari kalimat fathan mubina.

    Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Ilahi Rabi atas keberhasilan memperjuangkan Sunda Kelapa bebas dari pengaruh penguasaan bangsa asing pertama (Portugis).

    Spirit Jaya-karta

    Nama Jayakarta tersebut di atas memberikan makna bagi kemenangan umat muslim, yang identik dengan kemandirian hidup, kemerdekaan dari penguasaan asing.

    Itu bertahan hingga kedatangan bangsa asing (Barat) berikutnya yaitu Belanda, yang mendarat di Banten tahun 1596, dan menguasai Jayakarta dan mengubah nama tersebut menjadi Batavia sejak 1602. Dengan pemimpinnya Jan Pieter Zoon Coen.

    Zaman beralih setelah munculnya bangsa Belanda. Kompeni (serikat dagang bangsa Belanda), singkatan dari Vereeniging Oostdische Company.

    Sebuah kongsi dagang swasta milik Belanda yang berhasil menduduki (mengkoloni) sejumlah kota pelabuhan di seluruh Nusantara, satu per satu ditundukannya. kekuatan ekonomi yang dipersenjatai.

    Politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) slogan yang diterapkan kompeni saat itu. Nafsu kekuasaan dan egois kedaerahan yang ada menjadi faktor internal keruntuhan para sultan.

    Sementara itu, bangsa Belanda dengan kelicikan akal bulusnya, strategi devide et impera, berhasil memukul kekuatan muslim dengan senjatanya serta dengan bujukrayu ekonomi (berbagi keuntungan).

    Maka runtuhlah riwaya kekuatan para sultan di Nusantara oleh kekuatan kompeni (VOC) yang diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda dari tahun 1800-1942.

    Spirit kemandirian (kemerdekaan) itu pula yang mendorong bangsa-bangsa Nusantara era modern, sepanjang satu abad setengah, berupaya bangkit.

    Terutama sejak awal abad ke-19 para pemuka di luar Jawa dan di Pulau Jawa–seperti Pangeran Diponegoro–bangkit menggaungkan harga diri, kemerdekaan umat, dan bangsa.

    Ratusan kiai dan hajilah pemuka perlawanan terhadap koloni Belanda di Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830). Lalu perlawanan rakyat Banten, 1888, yang juga dipimpin para pemuka agama, kiai, haji, dan pesantren.

    Bahkan pula di awal abad ke-19 perlawanan sering dipimpin para pemuka agama, kiai, dan haji.

    Dampak selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menerapkan para pemuka agama, para kiai terutama yang sepulang menunaikan ibadah dari Makkah dan Madinah, para jemaah haji itu diwaspadai.

    Mereka itulah kemudian diidentifikasi sebagai para pemuka yang harus diawasi. Untuk itulah para jemaah haji dari bumi Nusantara atau tanah Melayu, dikenal pula sebagai bangsa Jawi; pemerintah Belanda yang membuka konsul di Jedah sejak abad ke-19 (terutama setelah kepulangan Snouck Hurgronje) yang memberikan advis supaya mengawasi para haji.

    Para jemaah haji sejak itulah dilabeli dalam data nama-nama jemaah haji dari Melayu, khususnya dari Nusantara (yang berpusat di Jawa).***



    sumber berita ini dari bandungmu.com

    Author

    Share to

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top