Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • Karni Ilyas: Berita Itu Harus Diburu!

    Aug 03 202333 Dilihat

    BANDUNGMU.COM – Bagi orang yang sering nonton televisi khususnya saluran tvOne pasti tahu dan kerap kali melihat sosok wartawan senior Indonesia yang satu ini.

    Atau bila Anda generasi yang cukup dewasa atau senior yang sering membaca majalah “Tempo”, “Forum Keadilan”, tahun 198o-an, pasti pernah membaca liputan berita-berita hukum karya sosok yang bersuara berat ini.

    Ya, itulah Karni Ilyas, dia merupakan seorang wartawan Indonesia yang merintis karier kewartawanannya sejak tahun 1970-an dari surat kabar “Suara Karya”, media cetak yang didirikan oleh beberapa kader Golkar, yang ketika itu dipimpin oleh seorang anggota dewan bernama Rahman Toleng.

    Bagaimana prinsip Karya Ilyas dalam dunia jurnalistik, khususnya terkait masalah membuat dan memburu berita? Simak ulasan berikut yang dikutip dari buku “Karni Ilyas Lahir Untuk Berita” karya Fenty Effendy.

    ****

    ”Kalian jangan kayak menunggu tahi hanyut,” itu ucapan yang sering terlontar dari mulut saya, kalau staf redaksi yang saya pimipin hanya membuat berita seadanya.

    Wartawan yang pernah menjadi bawahan saya, sejak saya masih menjadi Redaktur Pelaksana majalah berita mingguan “Tempo”, pemred “Forum Keadlian”, direktur pemberitaan SCTV, ANTV, sampai ke tvOne, tahu kalau saya tidak akan puas jika mereka hanya membuat keterangan dari sumber-sumber kelas dua, bahkan kalau hanya menunggu humas memberikan keterangan pers.

    Bagi saya, siapa saja yang terkait dengan sebuah berita, wajib hukumnya untuk dikejar dan didapatkan informasinya. Begitu juga bahan-bahan tertulis harus sampai ke meja redaktur.

    Ketika saya masih menjadi redaktur pelaksana “Tempo”, saya belum akan puas kalau wartawan hanya membawa surat tuduhan jaksa, selain wawancara dengan segala pihak yang terkait perkara. Saya juga butuh berita acara pemeriksaan (BAP) lengkap dari perkara itu.

    Sebab itulah yang saya lakukan ketika saya jadi reporter. Bahkan ketika perkara Endang Wijaya, terdakwa subversi dan korupsi proyek perumahan Pluit, 1978, hakim yang akan mengadili perkara itu terpaksa meminta BAP Opstib (Operasi Tertib) dari saya karena Opstib belum menyerahkan berkas perkara ke pengadilan waktu itu.

    Begitu juga dengan berita televisi, gambar yang lengkap dan cepat selalu saya targetkan ke reporter dan cameraman di lapangan. Saya sering menertawakan reporter saya yang bergerombolan di depan ruangan humas sebuah instansi, menunggu kepala humas muncul dan kemudian mengerubutinya ramai-ramai.

    “Apa bedanya berita kalian dengan berita televisi lain, kalau kalian sama-sama menunggu begitu dan kemudian mengeroyok kepala humas,” kata saya.

    Sumber primer

    Saya sering menceritakan kepada wartawan yang saya pimpin bahwa saya ketika jadi reporter tidak pernah nongkrong di depan kamar humas.

    Bahkan banyak ruangan humas sebuah instansi yang saya tidak pernah injak. Saya tidak akan mencari humas kalau tidak terpaksa benar. Saya selalu berusaha menemui langsung pejabat yang diminta oleh koordinator liputan untuk saya cari.

    Bagi saya, humas tidak lebih dari narasumber sekunder. Ia hanya mengabarkan kepada kita apa-apa yang dikatakan pejabat instansinya setelah cerita itu disaring berkali-kali. Hasilnya, berita itu menjadi kering dan normatif. Sebab itu, setiap wartawan bagi saya harus mencari sumber primer, bukan sekunder.

    Ketika wartawan saya benar-benar gagal untuk melakukan itu, mungkin karena policy instansi bersangkutan, saya ketika jadi redaktur pelaksana “Tempo” atau pemimpin redaksi “Forum Keadilan”, segera mengambil alih tugas reporter saya.

    Suatu ketika, pada masa awal reformasi, kejaksaan agung yang lagi kebanjiran perkara-perkara korupsi di rezim Presiden Soeharto, mengambil kebijakan tidak mengizinkan seorang wartawan pun masuk gedung bundar Kejaksaan Agung. Akibatnya, wartawan terpaksa bergerombol di depan gedung bundar, termasuk wartawan saya.

    Pada situasi seperti itu, saya berkali-kali, walau sudah jadi pemred ”Forum Keadilan”, datang langsung ke gedung bundar. Setelah memarkir mobil, saya berjalan dengan santai ke pos keamanan dalam dan memberi tahu saya sudah janji dengan pejabat-pejabat di situ. Si petugas tidak bisa apa-apa karena saya memang sudah bikin janji lebih dulu sebelum datang ke situ.

    Artinya bagi saya setiap berita harus diburu untuk mendapatkannya. Tidak ada istilah jauh, hujan, atau sulit narasumbernya. Seorang reporter wajib ketemu narasumber yang ditugaskan kepadanya. Reporter hanya boleh pulang, bila narasumber menolak memberikan informasi atau mengusir si wartawan. Bukan berarti tugas si wartawan selesai.

    Namun, sebelum sampai di ujung pengejaran, si wartawan saya sarankan tidak perlu balik ke kantor kalau tidak membawa apa-apa.

    Kalau ada seorang wartawan gagal dan memberikan alasan bahwa narasumbernya sulit, saya akan langsung menukas, “Kamu tahu tidak, hidup ini memang sulit. Karena itu setiap bayi yang lahir ke dunia selalu menangis. Tidak ada bayi yang lahir sambil ketawa,” kata saya. Biasanya wartawan yang kena sindir begitu akan segera berlalu dengan muka kecut.

    Berlebihankah saya? Menurut saya tidak. Sebab itulah pekerjaan saya sehari-hari ketika menjadi reporter, bahkan ketika saya sudah jadi redaktur atau pelaksana. Ketika jadi reporter, sepeda motor yang saya kendarai setiap hari rata-rata menempuh perjalanan 100 kilometer. Motor itu bisa menelusuri gang-gang sempit di Kelurahan Warakas, Tanjung Priok, atau memeriksa setiap jalan tikus di Kelurahan Bangka, Kebayoran Baru.

    Pada hari lain, motor yang sama mungkin lagi tergelincir-gelincir ketika menelusuri jalan-jalan tanah yang becek sehabis hujan di Asrama Brimob di Kelapa Dua, hanya untuk bertemu prajurit brimob dan istrinya.

    Atau mungkin juga motor saya lagi parkir berjam-jam di depan gedung sebuah instansi pemerintah karena saya sedang menunggu pejabat dari pagi sampai sore di ruang tunggu, walau akibatnya sering terlambat makan siang.

    Laksamana Soedomo, ketika menjadi Pangkopkamtib/Wapangab, merupakan pejabat yang sulit ditembus wartawan di kantornya karena tamunya selalu antre. Karena selalu sulit akhirnya saya memutuskan subuh-subuh datang ke kantornya di Jalan Merdeka Barat (Kantor Menkopolhukam sekarang). Sebab, saya mendapat informasi, beliau setiap habis main golf subuh, pukul 06.00 sudah ke kantor.

    Pagi itu, matahari masih separuh terbit, almarhum sudah sampai di kantornya, dan di depan resepsionis saya sudah menunggu kedatangannya. Hasilnya suka tidak suka, dia terpaksa menjawab pertanyaan saya.

    Pemburu berita

    Pemburu berita, itulah akhirnya hobi saya. Sebab itu, ketika Densus 88, dipimpin Jenderal Makbul Padmanegara, hendak menggerebek Noordin M Top yang disinyalir bersembunyi di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 2005, saya memutuskan turun sendiri walau saya waktu itu sudah jadi pemred ANTV.

    Ternyata malang bagi saya, ketika sore itu saya hendak mandi di sebuah losmen di Wonosobo, ternyata kamar mandi itu licin sekali. Saya jatuh dan tangan patah. Saya segera dilarikan petugas ke sebuah rumah sakit kecil di kota itu. Namun, tidak ada peralatan yang memadai.

    Oleh karena itu, setelah disuntik pain killer, saya disarankan ke RS Sardjito di Yogyakarta–4 jam perjalanan dari Wonosbo. Sekitar pukul 22.00 sampai di RS Sardjito. Para dokter meminta saya dioperasi, tapi saya menolak dan meminta hanya diberi obat antisakit lebih banyak dan tangannya digips dengan kayu dan perban.

    Malam itu saya sudah hampir menyerah karena sakit tulang yang patah itu luar biasa. Dari rumah sakit saya mampir ke Hotel Hyatt Yogya dan sudah mau istirahat di hotel itu sambil menunggu pesawat pagi ke Jakarta agar tangan dioperasi.

    Namun, setelah minum secangkir kopi di lounge hotel itu, saya bimbang. Kalau saya chechk in dan masuk kamar, pagi saya akan terbang ke Jakarta. Tetapi, saya ‘kan kehilangan berita besar penggerebekan Noordin M Top.

    Akhrinya, saya putuskan balik ke Wonosobo. Benar saja sampai di Wonosobo subuh itu, penggerebekan terjadi. Saya menyaksikan ketika tembak-menembak terjadi sampai reda. Ternyata yang ada di rumah itu hanya dua orang anak buah Noordin, sedangkan dan Noordin sendiri entah di mana.

    Seorang anak buahnya menyerahkan diri dan seorang lagi tertembak. Saya yang sudah bergabung dengan kru ANTV melaporkan langsung dari TKP dengan sebelah tangan digantung ke leher dan saya tutup tangan itu dengan jaket kulit.

    Selesai stand up, mata saya mulai berkunang-kunang karena belum makan dari sore dan belum tidur semalaman dengan tangan menahan sakit. Saya segera memutuskan naik mobil dan tanpa pamit kepada siapa pun, saya meluncur ke Yogyakarta. Dari Yogyakarta saya langsung terbang ke Jakarta ditemani putra saya, Renold Bareno, yang pagi itu terbang ke Yogyakarta menjemput saya.

    Di pesawat saya berpikir. Buat apa saya paksakan balik ke Wonosobo dengan patah seperti itu. Toh tidak ada yang menugasi saya. Kalaupun saya malam kemarin balik, tidak pula ada yang akan menegur saya. Kalaupun saya akhirnya dapat berita, tidak ada pula bonus dari perusahaan menunggu saya.

    Akhirnya saya mendapat jawaban bahwa “semua itu panggilan profesi saya sebagai pemburu berita (news hunter). Walau setelah itu saya terpaksa MPP (masa persiapan pensiun) sebagai pemburu berita.***



    sumber berita ini dari bandungmu.com

    Author

    Share to

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top