Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • Kolom Safrin Octora: Makan untuk Hidup

    Aug 06 202231 Dilihat

    Makan Untuk Hidup

    Oleh : Safrin Octora

    Ada dua fenomena tentang hidup dan makan. Fenomena pertama adalah Hidup untuk Makan. Disini seseorang itu menempatkan makan sebagai bagian dari dinamika hidup. Dengan kata lain, dia hidup hanya untuk mengisi lambung yang sejengkal. Rugi besarlah orang yang menganut faham ini.

    Fenomena kedua adalah Makan untuk Hidup. Pada posisi ini makan adalah sarana untuk bertahan hidup. Dengan makan seorang itu dapat bertahan untuk hidup. Dengan hidup, dia dapat berkarya untuk mengisi dunia ini dengan menghasilkan karya-karya kreatif yang berguna untuk  kebaikan dunia.

    Saya memilih fenomena kedua. Untuk mewujudkan fenomena kedua, selain masakan istri di rumah, sesekali saya berburu masakan-masakan yang dapat mempengaruhi umpan tekak. Standar umum untuk makanan pilihan saya adalah enak, murah dan bersih.

    Kemarin saya mendapatkan tempat makan seperti itu di sekitar Jl. Panglima Denai Medan. Sebenarnya siang itu (sekitar jam 10.30) saya lagi berjalan kaki untuk  membeli keran air dan alat listrik. Saya memilih berjalan kaki, karena tempat berjualan keran air itu “hanya” berjarak 5 km pulang pergi dari rumah. Dengan berjalan kaki, banyak yang bisa kita lihat, bila dibandingkan kalau naik kendaraan. Nilai pembakaran lemaknya juga ada. Nilai pembakaran lemak itu yang paling penting.

    Selesai membeli keran air dan berjalan pulang, tiba-tiba saya melihat deretan ikan panggang yang berjajar rapi di dalam rak kaca tempat makanan. Pangkal lidah saya bergetar. Air liur menggumpal menjadi satu dan berasa agak kecut. Sama saya itu tandanya ikan panggang yang ada disitu, menggugah selera saya.

    Saya memutuskan untuk membeli ikan panggang tersebut. Sambil masuk saya melirik nama rumah makan tersebut. Sepertinya bukan rumah makan Minang.

    Pelayan disitu seorang laki-laki muda menanyakan kebutuhan saya. Sambil mengatakan mau membeli ikan panggang, sambil mendekat ke rak kaca tempat makanan. Wuih, aneka makanan ada disitu.

    Ada sale yang digulai. Ada juga ikan baung, yang dimasak pakai santan encer sepertinya. Sementara untuk sayurannya ada daun ubi tumbuk dan gulai rebung (bambu muda).

    Saya memesan gulai rebung dan ikan panggang yang ternyata jenis ikan mujair. Untuk kedua makanan ini, harganya tidak sampai sebesar uang  makan dari pemerintah untuk golong IV. Untuk pelengkap makan si penjual menyertakan cabai rawit yang ditaburi bawang dan disiram kecap asin plus perasan jeruk nipis.

    Jam 11.30 saya tiba kembali di rumah. Saya yang biasa makan siang sekitar jam 12.00, kali ini minta lebih cepat. Ketika istri saya menyiapkan nasi, saya membuka bungkusan makanan yang saya beli. Mujair panggangnya menebarkan aroma lezat hasil dari bumbu yang dipanggang. Sementara cabe rawit yang ditaburi rajangan bawang mentah dan siraman kecap, memberi sensasi aroma lain. Sengitnya cabe rawit. Namun membuat perut bergejolak.

    Saya mencuil sedikit mujair panggang tadi, lalu mencocolkannya ke dalam sambal kecap cabe rawit dan memasukkannya ke dalam pulut.  Perpaduan mujair panggang dan sambal kecap cabe rawit, membuat pangkal lidah saya bergetar hebat. Amboi, enak sekali. Maka nikmat Allah mana lagi yang harus didustakan, ucap saya sambil berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa yang masih memberi kenikmatan pada indera perasa.

    Lalu saya menyendok sedikit kuah dan irisan rebung. Duch, nikmat. Rasa khas rebung masih tersisa dalam kuahnya.

    Tanpa berlama-lama saya menuangkan gulai rebung ke piring nasi yang telah tersedia. Suap demi suap nasi yang digabung dengan mujair panggang dan gulai rebung, menari-nari dalam mulut yang memberikan rasa nikmat, sebelum masuk ke dalam perut.

    Saya yang biasanya makan cuma satu piring, siang itu menambah lagi nasi satu piring lagi. Ternyata rasa membuat kita lupa akan pola makan.

    Setelah nasi tuntas, saya dan istri menghabiskan mujair panggang itu dengan mencocolnya ke dalam sambal kecap yang ditaburi bawang mentah. Sesekali saya menyendok kuah rebung yang masih tersisa dan menuntaskannya hingga licin tandas. (***)

    sumber berita dari infomu.co

    Author

    Share to

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Please write your comment.

    Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) must be filled.

    *

    *

    back to top