Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • Mancing Ikan Mujair – bandungmu.com

    Jul 05 202341 Dilihat

    Oleh: Iwan Yuswandi, penulis buku anak

    BANDUNGMU.COM, Bandung — Didin. Nama lengkapnya Didin Sahrudin. Ciri khas nama sunda dengan pengulangannya. Saudara sepupu saya yang telah pulang lebih dulu karena menderita kanker otak di usia 40-an.

    Di kampungnya ia selalu dipercaya menjadi ketua RT, aktif di kemasyarakatan, serta akrab dengan pengurus desa.

    Tidak heran, semua itu merupakan DNA dari sang ayah sebagai jurutulis desa dan kakeknya sebagai lurah termasyur pada zamannya.

    Saya tidak akan berecrita tentang bagaimana ia sakit. Tapi saya akan mengenang saat kami berdua masih kecil.

    Didin punya kakek yang sangat rajin, saya juga menyebut dia kakek karena nenek saya adalah adik dari kakeknya Didin.

    Kakek kami punya kolam besar. Di pinggir kolam sebelah utara ada kandang kambing memanjang yang sebagian bangunannya adalah tempat menumbuk padi.

    Tidak jauh dari kolam itu, sekitar lima puluh meter, mengalir sungai dengan bebatuan yang hitam berbagai ukuran.

    Tapi kakek saya galak, tidak sembarangan orang bisa masuk ke kolam tersebut, apalagi iseng mancing tanpa izin.

    Kami berdua saja sebagai cucunya, harus benar-banar mencari waktu yang tepat untuk bisa memancing di kolam itu.

    Asal mula ikan mujair

    Kolam di kampung-kampung pada saat itu umumnya memelihara ikan mujair kecil termasuk di kolam kakek kami.

    Mujair dengan nama latin Oreochromis mossambicus yang konon ditemukan pertama kali oleh Pak Mujair dari Blitar Jawa Timur pada 1939 sekarang sudah sulit ditemukan.

    Ikan kecil yang renyah dan gurih tersebut hidup di perairan Afrika dan Indonesia dan fakta itu masih jadi perdebatan: apakah orang Afrika yang membawanya ke Nusantara, atau orang Nusantara yang membawanya dari Afrika.

    Saat hujan gerimis berhenti, kami turun menuju kolam. Menenteng pancingan sederhana dari bambu yang diraut sendiri lalu di ujungnya diikatkan benang layang-layang dengan ujung kail berwana hitam.

    Biasanya setelah hujan turun ikan akan lapar dan mencari makan karena dingin, begitu persepesi kami sebagai anak-anak, membayangkan seperti halnya manusia kalau kedinginan.

    Padahal ikan itu berdarah panas. Entah ada hubungannya atau tidak, tapi kami selalu berhasil mancing saat setelah hujan atau bahkan kadang sambil hujan-hujanan.

    Sebelum memancing kami harus mencari umpan. Menyusuri pinggiran kolam yang gembur oleh tanah berhumus dan basah oleh air hujan, sudah pasti akan menemukan cacing sebagai umpan.

    Kami tinggal mencungkil tanah dengan potongan kayu dan membalikannya, pasti akan menemukan cacing. Lalu kami simpan cacing-cacing itu bersama sebagian tanahnya agar tidak lepas, di atas daun pisang.

    Filosofi mancing

    Entah sejak kapan kegiatan memancing bisa menjadi salah satu pemicu problem rumah tangga. Khususnya untuk yang tidak bisa membagi waktu dan keuangan keluarga.

    Apalagi mancing zaman sekarang juga bukan lagi untuk kebutuhan makan seperti orang-orang terdahulu.

    Memancing merupakan salah satu hobi yang tidak takut oleh cuaca buruk, petir, hujan, angin puting beliung sekalipun. Pemancing sejati adalah pria-pria tangguh yang duduk berjam-jam melihat kumbul ditarik ikan dalam berbagai cuaca.

    Memancing zaman dulu mengajarkan kami tentang proses mendapatkan sesuatu. Tujuannya bukan hanya bersenang-senang, melainkan memang ingin makan ikan.

    Memancing juga melatih kesabaran yang laur biasa, dari proses membuat pancingan sendiri, mencari umpan, dan memasukkan umpan cacing ke dalam kail yang membutuhkan keterampilan tersendiri, mencari momen yang tepat, membaca alam, dan melatih insting serta reflek yang bagus.

    Memancing juga mengajarkan kami tidak serakah, karena ada banyak cara untuk mendapatkan ikan yang cepat dan sekaligus banyak, tapi kami tahu itu hanya boleh setelah lebaran.

    Umpan kami sangat alami bukan umpan pelet, tidak melawan alam, tapi sesuai dengan rantai makanan.

    Semoga bermanfaat.***



    sumber berita ini dari bandungmu.com

    Author

    Share to

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top