Breaking News
Categories
  • #muktamar muhammadiyah aisyiyah 48
  • Acara
  • Berita Organisasi
  • Berita Sekolah
  • Cerpen
  • Featured
  • Gerak
  • Kabar
  • Kegiatan Mahasiswa
  • Kegiatan Sekolah
  • Keislaman
  • Muhammadiyah News Network
  • Muhammadiyah or id
  • Palestina
  • Pendidikan dan Pelatihan
  • Politik
  • PWMU CO
  • Resensi buku
  • Srawung Sastra
  • Tarjih
  • TVMU
  • Uncategorized
  • Video
  • wawasan
  • Mukti Ali, Intelektual Peletak Kerangka Kerukunan Beragama di Indonesia

    Aug 14 202327 Dilihat

    BANDUNGMU.COM — Prof Dr KH Abdul Mukti Ali merupakan mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan II. Ia lahir pada 23 Agustus 1923 dan wafat pada 05 Mei 2004.

    Ia juga terkenal sebagai ulama ahli perbandingan agama yang meletakkan kerangka kerukunan antarumat beragama di Indonesia sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika atau istilah yang sering dipakainya “Setuju dalam Perbedaan.”

    Ia juga terkenal sebagai cendekiawan muslim yang menonjol sebagai pembaharu pemikiran Islam melalui Kajian Keislaman (Islamic Studies). Bahkan ia kerap disebut sebagai Bapak Kerukunan Antar Umat Beragama.

    Beluarga berkecukupan

    Mengutip Wikipedia, Mukti Ali memiliki nama kecil Soedjono (Sujono). Namun, sumber lain ada yang menyebutkan Boedjono (Bujono). Adapun nama Abdul Mukti Ali sendiri ia dapat dari pemberian KH Hamid Pasuruan ketika menjadi gurunya.

    Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Mukti Ali hidup di kalangan keluarga yang berkecukupan. Ayahnya bernama Idris atau Haji Abu Ali (nama yang digunakan setelah menunaikan haji) adalah seorang pedagang tembakau yang cukup sukses.

    Sementara itu, ibunya bernama Mutiah atau Hj Khodijah (nama yang digunakan setelah menunaikan haji) merupakan seorang saudagar kain.

    Pendidikan pesantren

    Meskipun Haji Abu Ali memiliki pendidikan yang sangat rendah, yakni hanya diperolehnya dari mengaji kitab di pesantren di Cepu, tetapi ia termasuk orang tua yang sangat memikirkan pendidikan anaknya.

    Pada usia delapan tahun, Mukti Ali menempuh pendidikan formalnya dengan masuk HIS (Hollandsch Inlandsche School), sekolah milik Pemerintah Hindia Belanda setingkat Sekolah Dasar.

    Di samping itu, ia juga mengaji (belajar agama Islam) di Madrasah Diniyah (Sekolah Islam) di Cepu yang kegiatan belajarnya berlangsung sore harinya.

    Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS dan mendapat sertifikat pegawai pemerintah Belanda (Klein Ambtenar Examen), Mukti Ali dikirim ke Pondok Pesantren Assalam di Cepu untuk belajar Al-Quran kepada Kiai Usman.

    Di bawah asuhan Kiai Usman yang terkenal tegas, Mukti Ali belajar membaca Al-Quran dengan fasih dan tartil menurut kaidah ilmu tajwid.

    Pada pertengahan 1940, Mukti Ali lalu dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Termas, Pacitan, di bawah asuhan KH Dimyati dan puteranya KH Abdul Hamid Dimyati.

    Ia intensif mempelajari berbagai kitab klasik seperti Nahwul Wadlih, Balaghatul Wadhihah, Jurumiyah, Alfiyah, Taqrib, Iqna’, ‘Mustalah Hadis’, ‘Jam’ul Jawami’, dan lain-lain.

    Di pesantren tradisional ini Mukti Ali mengaji di bawah asuhan kiainya dan banyak belajar dan berdiskusi dengan para seniornya.

    Di antara para senior Mukti Ali tersebut adalah KH Abdul Hamid (asal Lasem yang kemudian menetap di Pasuruan) dan KH Ali Ma’sum (Rais Aam Syuriyah PBNU 1981-1984).

    Di Pesantren ini juga Mukti Ali bersama KH Ali Ma’sum sempat merintis berdirinya madrasah yang kemudian KH Ali Ma’sum menjadi kepala sekolah dan Mukti Ali menjadi wakilnya.

    Setelah selesai belajar agama di Pesantren Termas, Mukti Ali malanjutkan pendidikan agamanya di Pesantren Hidayah, Saditan, Lasem, Rembang, di bawah asuhan KH Maksum, ayah dari KH Ali Ma’sum, sahabat dan gurunya di pesantren Termas.

    Meskipun kedua pesantren yang pernah ia singgahi untuk belajar tersebut berbasis Nahdlatul Ulama, tetapi Mukti Ali tumbuh dan berkembang menjadi ulama intelektual dan ulama pembaru yang berpengaruh.

    Pendidikan akademik

    Setelah menuntaskan pendidikan agamanya di berbagai pesantren, Mukti Ali pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri.

    Ia memutuskan Fakultas Agama sebagai pilhannya. STI inilah yang kelak dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Ketika di Yogyakarta inilah Mukti Ali aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) hingga menjadi perwakilan PII di Pakistan.

    Pada 1950, Mukti Ali meneruskan perjalanannya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Selanjutnya, ia memutuskan untuk pergi ke Karachi, Pakistan.

    Dengan kemampuan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris yang baik, Mukti Ali diterima di program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab Universitas Karachi. Ia mengambil program Sejarah Islam sebagai bidang spesialisasinya.

    Lima tahun kemudian, Mukti Ali mampu menamatkan program tingkat sarjana mudanya sekaligus melanjutkan program PhD di universitas yang sama.

    Pada Agustrus 1955, ia tiba di Montreal, Kanada, untuk melanjutkan belajarnya di Universitas McGill dengan mengambil spesialisasi Ilmu Perbandingan Agama.

    Mengutip masjidunia.com, di McGill, Mukti Ali berkenalan dengan peneliti Islam kelas dunia seperti Wilfrede C Smith. Dia banyak bergaul dan berinteraksi dengan mereka.

    Pandangan keagamaan Mukti Ali pun berubah. Dia mengaku selama kuliah di McGill dia mendapatkan pengajaran Islam yang sistematis, rasional, dan istilah dia sendiri: holistik.

    Jadi Menteri Agama

    Balik ke Indonesia, Mukti Ali mengajar di IAIN Jogjakarta. Usai pemilu, pada 11 September 1971 dia dilantik menjadi Menteri Agama. Ia menggantikan KH Achmad Dahlan.

    Penunjukan Mukti Ali banyak disebut sebagai upaya restrukturisasi dan reorganisasi Kementerian Agama di bawah Orde Baru. Dengan keahliannya dalam bidang agama dan kemampuannya di forum-forum internasional, dia dianggap figur yang tepat.

    Lalu pada 18 Maret 1973, setahun setelah berlangsungnya pemilu pertama di masa Orde Baru, ia kembali dikukuhkan sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan II.

    Jembatan penghubung

    Karier Mukti Ali ke pos Kementerian Agama bukan berawal dari politik, melainkan dunia akademik. Tugasnya di Kementerian Agama menjembatani kelompok Islam dan pemerintah yang kala itu masih tersimpan saling curiga. Kelompok Islam mencurigai bahwa Orde Baru akan membawa angin sekulerisme dan meninggalkan Islam.

    Salah satu jawaban yang diberikan Mukti Ali adalah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Kemudian surat keputusan bersama (SKB) nomor 19 tahun 1977 mengenai Pengembangan Tilawatil Quran. Lalu menyelenggarakan Lomba MTQ tingkat nasional yang diadakan tahunan.

    Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Menteri Agama yang banyak menulis buku ini behasil menjadi “juru bicara pemerintah berhadapan dengan kelompok Islam”.***

    ___

    Editor: FA



    sumber berita ini dari bandungmu.com

    Author

    Share to

    Related News

    Banjir Lampung

    Banjir Bandang Melanda Lampung Tiga War...

    by Jan 22 2025

    Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...

    Hak Pejalan Kaki – bandungmu.com

    by Nov 23 2024

    Oleh: Sukron Abdilah*  BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...

    Pelajaran dari Kehati-hatian Rasulullah ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...

    Islam Berkemajuan Harus Jadi Arus Utama ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...

    SDIT Muhammadiyah Harjamukti Latih Keman...

    by Nov 23 2024

    CIREBONMU.COM  —  SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...

    UAH Ajak Umat Islam Perkuat Akidah Demi ...

    by Nov 23 2024

    BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top