BANDUNGMU.COM — Setelah pulang dari tanah suci, jamaah haji di Indonesia kerap mendapat gelar “haji” di depan nama mereka. Bagaimana hukum dan sikap kita terhadap fenomena seperti itu?
“Penyematan gelar ini sebenarnya merupakan tradisi yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Beliau sekalipun tidak dipanggil haji. Begitu pula dengan Siti Aisyah tidak dipanggil hajah. Setahu saya, tradisi ini hanya terjadi di Asia Tenggara dan beberapa tempat di Afrika,” ujar Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan Abdul Wahid, dalam Pengajian Tarjih seperti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah pada Jumat (28/06/2024).
Ajengan Wawan menyoroti bahwa penggunaan gelar “haji” sebenarnya hanyalah tradisi yang berkembang di masyarakat, bukan kewajiban dalam syariat Islam. Meskipun tidak melanggar aturan agama, beliau mengingatkan pentingnya menjaga etika Islam dalam menjalankan tradisi ini.
Lebih lanjut, Ajengan Wawan menekankan bahwa keberhasilan ibadah haji tidak diukur dari gelar, tetapi dari kemabrurannya. Kemabruran, yang menandakan kesempurnaan ibadah haji dan perolehan rida Allah, seharusnya menjadi fokus utama para jamaah.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, Ajengan Wawan menjelaskan bahwa ganjaran haji mabrur adalah surga. Ia juga memaparkan ciri-ciri lahiriah haji mabrur menurut hadis, yaitu memberi makan dan menyebarkan salam. Kedua hal ini melambangkan kepedulian, kedermawanan, serta upaya menciptakan perdamaian dan keharmonisan dalam masyarakat.
Ajengan Wawan berharap para jamaah haji tidak hanya terfokus pada gelar, tetapi mengamalkan nilai-nilai haji mabrur dalam keseharian mereka. Ia menekankan bahwa haji bukan sekadar gelar, melainkan perjalanan spiritual yang harus tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari.***
sumber berita ini dari bandungmu.com
No comments yet.