BANDUNGMU.COM, Pakistan – Perbedaan budaya sering menjadi tantangan bagi keluarga diaspora Indonesia, terutama yang menjalani pernikahan campuran (mix married) dengan warga negara asing.
Bagi banyak pasangan yang tinggal di luar negeri, perbedaan pandangan, budaya, dan nilai-nilai sering kali menimbulkan masalah, bahkan tidak jarang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Isu ini semakin mencuat di Pakistan, di mana sejumlah keluarga Indonesia yang menikah dengan warga negara Pakistan menghadapi kesulitan dalam menjalani kehidupan rumah tangga mereka.
Menyikapi isu ini, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui dosen-dosennya, Lusi Nuryanti dan Bayu Suseno, berkolaborasi dengan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dan Pimpinan Cabang Istimewa Aisyiyah (PCIA) Pakistan serta KBRI Islamabad untuk mengadakan seminar kesehatan mental bagi keluarga multikultural yang tinggal di Pakistan.
Seminar ini bertujuan untuk membantu para diaspora Indonesia yang mengalami tantangan dalam hubungan rumah tangga mereka akibat perbedaan budaya. Acara ini juga dihadiri secara online oleh Kepala Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Islamabad Rahmat Indiarta Kusuma yang menyampaikan sambutan hangat meskipun terkendala akses yang sulit akibat polusi tebal di Lahore.
Rahmat mengungkapkan antusiasmenya terhadap seminar ini, mengingat pentingnya isu kesehatan mental dalam konteks keluarga diaspora. Seminar ini dihadiri oleh sekitar 40 pasangan keluarga diaspora yang berstatus mix married, yang tampak antusias mengikuti acara tersebut.
Lusi Nuryanti dalam pemaparannya menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental, yang sering kali diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. “Kesehatan mental adalah hal yang sering dianggap remeh, padahal dampaknya sangat besar, baik terhadap diri kita sendiri maupun hubungan dengan orang lain,” ujarnya seperti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah pada Kamis (21/11/2024).
Selain itu, Lusi juga menawarkan beberapa strategi untuk mengatasi masalah ini, seperti pentingnya komunikasi terbuka antara pasangan untuk memahami perasaan dan kebutuhan masing-masing, serta menghargai perbedaan budaya dan nilai-nilai yang ada.
Pada saat yang sama, Bayu Suseno menambahkan materi tentang mekanisme koping yang penting untuk menjaga keseimbangan mental. Ia mengibaratkan kondisi mental seperti tangan yang memegang beban; tangan tersebut membutuhkan waktu untuk beristirahat. Begitu pula mental kita yang perlu istirahat dari tekanan dan masalah yang terus-menerus datang.
Pada akhir acara, para peserta berharap agar program kesehatan mental untuk keluarga diaspora ini dapat terus berlanjut, baik secara offline maupun online. Usulan ini mendapatkan sambutan positif karena diyakini memiliki manfaat besar bagi keluarga diaspora yang tinggal di Pakistan.
Program ini sejalan dengan tujuan awal didirikannya cabang Istimewa Muhammadiyah di seluruh dunia, yaitu sebagai tempat berkumpul dan berbagi pengalaman bagi para diaspora yang tinggal di luar negeri.***