Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Lebih dari satu abad yang lalu, Kiai Dahlan melakukan inovasi dalam praktik beragama Islam di Indonesia, dengan pemahaman dan pengalaman memaknai ayat-ayat Ilahi yang berbeda dari arus utama saat itu.
Kegelisahan dan rasa hormatnya terhadap realitas sosial menjadikan Al-Quran surah Al-Maun sebagai senjata ampuh untuk melawan musuh kemanusiaan seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan lainnya. Meskipun dianggap aneh dan menyimpang pada masanya, apa yang dilakukannya berhasil mengubah dunia, khususnya wajah Islam di Indonesia.
Keyakinan yang mendorong Kiai Dahlan berbuat demikian bersumber utama dari ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Al-Quran. Untuk mengubah realitas sosial yang memprihatinkan, cukup dengan beberapa ayat Ilahi.
Bahkan, nilai-nilai manfaatnya bertahan lebih dari satu abad dan nyaris tidak termakan waktu. Dapat diprediksi bahwa selama dunia ini masih ada, nilai-nilai yang dikembangkan Kiai Dahlan akan tetap hadir di tengah dinamika kehidupan manusia.
Mengapa hal itu bisa terjadi dan penuh keyakinan? Alasannya karena sumbernya adalah Al-Quran yang dipahami tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Penting bagi umat muslim yang berpikir bahwa pemaknaan keabadian ayat-ayat Ilahi tidak berlaku dalam konteks kehidupan alam. Teks nash tidak mengalami perubahan dan itu mustahil terjadi. Namun, implementasinya dalam konteks kehidupan setiap generasi manusia harus diubah.
Hal ini penting dipahami oleh setiap muslim agar generasi mampu menjaga dinamika kehidupan tetap bertahan. Setidaknya mampu menghadapi tantangan yang muncul di hadapan mereka setiap saat, yaitu dengan melakukan rekontekstualisasi makna ayat nash.
Rekontekstualisasi bukanlah mengubah ayat nash, melainkan memaknai setiap realitas alam dan isinya yang menimbulkan berbagai dinamika kehidupan. Dengan demikian, ayat nash harus tetap memberikan rumusan yang diperbarui secara praktis dan solutif.
Hakikatnya seluruh ayat nash berlaku sepanjang masa meskipun dinamika alam mengalami perubahan yang sangat cepat. Oleh karena itu, siapa pun yang meyakininya, dalam setiap peristiwa yang terjadi, Al-Quran harus dijadikan alat mutlak dalam penyelesaiannya.
Demikian pula, teologi Al-Maun yang digagas Kiai Dahlan satu abad yang lalu perlu direkontekstualisasi, baik dalam rumusan praktis ataupun objeknya. Pada era global digital, umat muslim pada umumnya mengalami ketertinggalan.
Hal ini terlihat dari beban yang harus ditanggung umat muslim yang setiap saat harus membeli kuota internet secara konsumtif hingga tergesa-gesa. Sementara itu, hampir dapat dipastikan bahwa yang mengendalikan sistem teknologi perangkat keras dan lunak bukanlah entitas Muslim.
Artinya, saat ini kondisi umat muslim Indonesia berada dalam situasi kebodohan dan kemiskinan teknologi. Jangankan rakyat biasa, negara dengan kekuatan finansial dan regulasinya pun terbukti tidak mampu menjaga kedaulatan sistem data yang dibuat. Apalagi masyarakat biasa yang sehari-harinya menjadi “sapi perahan” kekuatan monster teknologi digital.
Fakta tersebut bukan berarti tidak ada Muslim yang memiliki kemampuan di bidang tersebut, melainkan sosok-sosok tersebut mungkin tidak memiliki sikap respek dan kepedulian terhadap realitas kemiskinan umat muslim dalam sistem teknologi digital.
Hal itu diakibatkan oleh penanaman nilai-nilai keislaman yang dangkal atau mungkin juga umat muslim menolak realitas tersebut sehingga tetap nyaman di zonanya. Memang pada umumnya para praktisi dunia teknologi memiliki sikap materialistis dan pragmatis. Hal itu sangat wajar jika dipahami demikian oleh sebagian orang di era perilaku manusia yang sangat hedonis saat ini.
Rekontekstualisasi teologi Al-Maun sah untuk digagas ulang sesuai dengan era kekinian. Dahulu, Kiai Dahlan fokus pada pendampingan orang-orang tak berdaya, selemah-lemahnya manusia dalam pendidikan dan kesejahteraan sosial.
Pada era sekarang, teologi Al-Maun fokus pada pendampingan. Tidak lagi memberi makan anak yatim piatu. Namun, kepada dhuafa atau mereka yang lemah kesadaran, lemah teknologi, lemah kejujuran, lemah keterbukaan, lemah profesionalitas, lemah keikhlasan, lemah syukur, dan lemah dalam berbagi kesempatan kepada orang lain.
Dampak dari kelemahan tersebut mengakibatkan seseorang berupaya memperlihatkan sikapnya seolah baik, hebat, dan memiliki kemampuan. Padahal kenyataannya tidak ada sesuatu yang mengubah lingkungannya menjadi lebih baik.
Manusia pada umumnya cenderung menjadi sombong dengan kekayaannya, angkuh dengan posisinya, dan pamer dengan prestisenya. Ironisnya, sikap ini sering kali tidak disadari. Lebih tragis lagi, orang tersebut justru mengajarkan kesederhanaan kepada mereka yang sudah hidup sederhana, sementara dirinya sendiri menikmati kendaraan mewah, rumah megah, dan posisi yang prestisius.
Ia sering berbicara tentang keadilan kepada para pemimpin bangsa dan umat. Namun, tindakannya sendiri cenderung dipengaruhi oleh rasa suka atau tidak suka. Seolah-olah dirinya penguasa atau dewa yang selalu benar dalam setiap pandangan dan keputusan yang diambil.
Baik dalam memegang jabatan negara, organisasi sosial, maupun entitas lainnya, orang-orang seperti ini kerap kali berlama-lama menikmati kekuasaan mereka. Fenomena ini menunjukkan kelemahan mendasar dalam praktik keberagamaan yang sesungguhnya di kehidupan sehari-hari.
Sikap di atas menunjukkan fenomena kemiskinan dan dhuafa moral sehingga rekontekstualisasi Al-Maun sebaiknya memberikan asupan dan nutrisi dalam bentuk immateri untuk meningkatkan nilai keberagamaan yang lebih baik.
Menolong para pejabat, birokrat, dan pemimpin organisasi untuk diingatkan agar tidak terjerumus dalam perilaku egois dan supaya memberikan ruang keadilan dan keadaban yang terbuka dan transparan. Sehingga mereka tidak alergi terhadap kritik dan saran dari bawahan dan kolega dekat, serta tidak menganggap kritik sebagai ancaman terhadap jabatannya.
Untuk sedikit memahami makna dari teks nash, sejauh yang diketahui dalam ilmu Al-Quran dikenal istilah asbabun nuzul sebagai sebab dan hikmah di balik turunnya ayat Ilahi. Demikian pula dalam hadis dikenal istilah asbabul wurud.
Dimaknai bahwa istilah asbabun nuzul maupun asbabul wurud merupakan kontekstualisasi peristiwa yang dijadikan alasan sebuah ajaran Islam untuk diimplementasikan. Teks nash tidak berubah, tetapi kontekstualisasi bersifat temporal yang memungkinkan saat ditarik pada konteks lain dalam waktu dan tempat berbeda diperlukan kajian empiris.
Dijelaskan dalam ilmu Al-Quran ada kaidah yang populer yaitu “al-ibrah bi umumil lafzhi la bi khususi as-sabab”. Artinya bahwa penyebab hukum syariat dapat berubah karena alasan tertentu atau istilah ‘illat dalam terminologi ushul fiqh.
Rekontekstualisasi pemahaman ajaran Islam dalam implementasinya di berbagai masalah kehidupan masyarakat sebaiknya dilakukan. Hal itu untuk meningkatkan dan memajukan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan umat muslim dalam menjalankan syariat sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi setiap generasi manusia.
Sangat mungkin fenomena umat muslim pada umumnya tertinggal dari peradaban karena pengetahuan, wawasan, dan keterampilan tidak meng-update kontekstualisasi ajaran Islam yang sangat visioner.
Tanggung jawab para ilmuwan adalah mampu mengubah paradigma berpikir. Selalu melakukan rekontekstualisasi setiap implementasi ajaran Islam yang bersifat umum (kulli), ijmali atau global. Termasuk bagi aktivis Muhammadiyah untuk merekontekstualisasi teologi Al-Ma’un. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar