Akhmad Sutikhon • Feb 12 2023 • 48 Dilihat
RELASI SAINS-AGAMA-NEGARA: SEBUAH ALTERNATIF
Ketiga pikiran ini: sains, agama, dan negara (negara dalam tulisan ini, mewakili bentuk-bentuk pemerintahan) beserta seluruh struktur dan pendukungnya telah mengalami dinamika dialektis-trialektis yang cukup Panjang, mungkin sepanjang sejarah peradaban manusia itu sendiri. Meski agama mengklaim berfokus untuk menunjukkan kebahagiaan kehidupan pasca-kematian, tapi aturan keduniawiannya telah bergesekan cukup sering dengan pendekatan ilmiah dan pendekatan negara atau kekuasaan. Kadang selaras, tapi lebih sering salah satunya mendominasi yang lain.
Di suatu waktu di suatu tempat ada yang menjadikan (tafsir) agamanya sebagai pedoman inti, mengabaikan ilmu pengetahuan dan perspektif kenegaraan. Dalam pola seperti ini sangat mungkin agama akan dikomodifikasi oleh elite untuk kepentingannya, bahkan jika itu berarti harus menyingkirkan kelompok lain. Di samping juga pola seperti ini cenderung anti kemajuan, karena kemajuan (yang berarti penerimaan pada ilmu pengetahuan) akan mengurangi dominasi pengaruh elite keagamaan. Kita bisa memasukkan kelompok-kelompok ekstrem keagamaan sebagai mereka yang menggunakan pola ini: ekstremis Islam Timur Tengah, ekstremis Hindu India, ekstremis Budha Myanmar, atau ekstremis Kristen Ku Klux Klan.
Pada ekstrem lain ada yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai mono-prinsip, acuan tunggal. Mengabaikan nilai-nilai agama dan kepercayaan serta pengaturan kenegaraan. Kalaupun tetap mengakomodasi, hanya sebatas memanfaatkan. Termasuk dalam kelompok ini adalah para sekularis atau aktivis kiri-radikal. Penolakan mereka terhadap agama dan negara, cenderung dipicu oleh pelbagai penyimpangan elite agama dan negara. Sehingga berdasarkan pengamatan sepintas, mereka melihat agama dan negara seperti instrumen hegemoni semata.
Di ujung lain ada yang menempatkan negara sebagai struktur puncak. Jika negara berkehendak, maka persetan dengan ajaran agama atau kajian ilmiah. Semua harus mengikuti, harus menuruti. Bahkan apa pun keinginan elite negara harus dijustifikasi oleh agama dan ilmu pengetahuan. Tafsir keagamaan menjadi melenceng, dan kesimpulan ilmiah bisa dikarang. Ada banyak sekali contoh untuk hal ini, pembangunan yang mengorbankan lingkungan dan nyawa manusia berceceran kita temukan sepanjang sejarah peradaban di mana pun. Ironisnya, secara fisik hasilnya menjadi landmark yang kita kagumi.
Di tengah-tengah ekstremis agama, ekstremis sains, dan ekstremis negara itu beruntung banyak juga yang berusaha membuat simpul yang lebih integratif. Maka kemudian banyak kita dapati narasi-narasi yang menempatkan agama, sains, dan negara dalam skema yang terhubung dan dependen (saling bergantung). Problemnya—sejauh tangkapan saya pribadi—belum ada skema relasi yang cukup operasional. Karena belum cukup operasional, maka terus terjadi ketegangan dalam tataran praktisnya. Apakah agama(wan) yang menjadi kunci dalam simpul ketiganya? Ataukah ilmu(wan)? Atau justru negara(wan)?
Saya jadi teringat pada sebuah analogi yang dibangun oleh Jonathan Haidt tentang tiga aspek yang mempengaruhi tindakan dalam Happiness Hypothesis. Haidt menggambarkan aspek rasional pikiran kita seperti seorang pawang (manusia). Ia bisa menalar, menganalisis, dan memiliki pengetahuan luas akan dunia. Kelemahan Si Pawang adalah ia tidak kuat secara fisik. Di sisi lain, intuisi dan emosi kita seperti Gajah. Ia kuat, punya kecerdasan untuk melakukan sesuatu yang merupakan kebutuhan alami. Namun tentu tetap saja ia tak sepandai si Pawang, tidak mampu menalar secara sistematis dan konsisten. Jika si Pawang dan si gajah lomba Tarik tambang, siapa yang bakal menang? Tentu si Gajah. Itulah mengapa meski rasionalitas kita menginginkan kebaikan jangka Panjang (misal: lulus kuliah dengan nilai baik) tetap akan kalah jika si Gajah kita beda keinginan (misal: bermain dan malas belajar).
Bagaimana jika si Pawang sudah bisa mengendalikan si Gajah? Tentu mereka berdua bisa melakukan banyak hal bersama. Tapi jauh lebih lancar bagi keduanya jika “jalan” yang dilalui sudah lebih rata dibandingkan melewati jalan terjal atau penuh rintangan. Dalam analogi Haidth, yang dimaksud jalan itu adalah “metode, teknik, atau cara”.
Saya jadi menyadari relevansi analogi ini dengan kasus yang sedang kita bicarakan, termasuk ketiga aspeknya. Rasionalitas yang diwakili si Pawang adalah gambaran ilmu pengetahuan, intuisi yang disimbolkan si Gajah adalah energi keagamaan, dan metode yang dianalogikan dengan Jalan adalah institusi negara. Ketiganya memiliki kemiripan, karena masing-masing punya karakteristik aspek yang sama. Maka analogi Pawang-Gajah-Jalan ala Haidt bisa menjadi skema alternatif relasi Sains-Agama-Negara.
Mengapa Sains yang menjadi pawang dan bukan agama atau negara? Pertama, jelas karena agama (dan kepercayaan) ada sangat banyak di dunia ini. Kesepahaman antar iman tidak cukup menjadi jembatan komunikasi, terlalu banyak hal-hal yang kadang saling bertentangan (bahkan antar kelompok tafsir dalam satu agama yang sama. Kedua, antar-agama belum punya metode yang sama untuk memahami sesuatu. Ketiga, antar-agama belum punya mekanisme evaluasi yang obyektif terhadap kebenaran suatu keyakinan. Untuk negara, pengalaman panjang peradaban kita memberi banyak contoh bagaimana negara (atau bentuk lainnya) mudah disalahgunakan untuk kepentingan elite. Selain bahwa antar-negara juga tidak punya mekanisme yang sama, tidak seperti sains.
Perlu dipahami bahwa meski Sains yang menjadi si Pawang, bukan berarti agama dianggap tidak punya pikiran jangka Panjang. Semua agama punya dimensi teleologis. Tapi pembahasan soal itu terlalu jauh untuk disaling-pahamkan antar-agama. Pada umumnya agama juga berbicara sesuatu secara umum, padahal untuk menjadi pawang kita memerlukan pengetahuan yang spesifik namun tetap selaras dengan pedoman keumuman tersebut.
Lalu soal agama yang menjadi si Gajah. Kita tahu bahwa agama bisa menggerakkan, sekaligus bisa menahan, orang untuk berbuat—bahkan berkorban—secara lebih efektif daripada ilmu pengetahuan. Contohnya, manusia modern yang rakus tidak berhenti melakukan deforestasi mesti tahu secara rasional itu merusak, tapi masyarakat tradisional tidak berani merusak satu dahan pun jika ada kepercayaan soal magis di suatu area hutan.
Terakhir, negara harus menjadi instrumen “jalan” yang memudahkan si Pawang mengarahkan si Gajah. Negara memiliki semua perangkat untuk mempermudah itu, tentu dengan asumsi terdapat kemauan politik elite untuk melakukannya. Negara bisa membuat regulasi, punya pengawas regulasi, hingga penegaknya untuk memastikan jalan yang dilalui Pawang Sains dan Gajah Agama berjalan.
Saya beri satu contoh sederhana. Ketika ilmuwan telah meneliti bahwa merokok itu meningkatkan potensi kesakitan dan membebani finansial keluarga miskin. Maka elite keagamaan perlu memperkuat kampanye antimerokok melalui fatwa-fatwa, bukan malah memberi contoh dengan merokok di depan jamaahnya. Lalu kemudian negara menyediakan perangkat aturan tentang pembatasan rokok.
Contoh lain. Penelitian menyimpulkan bahwa keadilan Gender penting bagi pembangunan dan kemajuan masyarakat. Maka agamawan perlu ikut menggerakkan kampanye keadilan gender dan perlindungan perempuan-anak, bukan malah menjadikan perempuan sebagai obyek pemuas semata sebagaimana banyak terjadi pada kasus di sekitar kita. Lalu negara mempermudah terwujudnya itu melalui regulasi dan penegakannya.
Jika kita bisa mendorong skema ini berjalan, saya yakin akan lebih mudah bagi kita melakukan perbaikan-perbaikan. Insyaallah.[]
Secara resmi panitia pemilihan rektor (Pilrek) Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) telah mensosi...
Oleh: M. Islahuddin* Diakui atau tidak, bagi yang saat ini bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM),...
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan b...
Menyongsong Milad ke-112 tahun ini, Muhammadiyah mengambil tajuk “Menghadirkan Kemakmuran untuk Se...
IBTimes.ID – Simposium Best atau Beda Setara telah selesai digelar. Acara ini berlangsung selama d...
IBTimes.ID, Yogyakarta – Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian, Jay Akhmad,...
No comments yet.