BANDUNGMU.COM, Wonosobo — Agama Islam tidak anti budaya, tetapi juga jangan sampai kebablasan mencampuradukkan budaya menjadi ajaran agama. Membaca budaya harus melalui sudut ilmu kebudayaan.
Dalam pandangan “bablas” serba anti budaya dan memasukkan budaya sebagai ajaran agama tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan bahwa Muhammadiyah hadir sebagai kritik.
Praktek gerakan pemberantasan takhayul, bidah, dan churafat (TBC) yang dilakukan Muhammadiyah masa awal merupakan bagian dari kritik tersebut.
Namun, bukan hanya gerakan itu yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam mengarahkan paham keagamaan yang salah.
“Ziarah kubur, misalnya, padahal ziarah kubur itu sunah, termasuk untuk mengingat kita akan mati,” kata Haedar dalam Peresmian Hafshah Tower RS PKU Muhammadiyah Wonosobo pada Kamis (20/07/2023).
Namun, kemudian di masa setelah Rasulullah SAW, baik di Timur Tengah maupun Indonesia, praktek ziarah kubur dijadikan keramat – kuburan dan mayat dijadikan perantara untuk mengabulkan permintaannya.
“Nah, menjadikan proses ziarah menjadi identik seluruhnya dengan agama itu salah. Namun, juga menjadi salah jika orang Muhammadiyah alergi ziarah kubur. Nah, itu sama masalahnya,” ungkapnya.
Pandangan ekstrem dalam ziarah kubur menurut Haedar harus diketengahkan. Oleh sebab itu, warga Muhammadiyah harus bisa memahami praktek ziarah kubur dengan pandangan sesuai Manhaj Tarjih PP Muhammadiyah, yaitu bayani, burhani, dan irfani.
Menurut Haedar, munculnya pandangan ektrem tersebut disebabkan karena sempitnya pandangan umat Islam dalam memahami wahyu. Termasuk dalam berdakwah, kata Haedar, juga harus memiliki perspektif yang luas.
Dalam konteks dakwah, Manhaj Tarjih juga diperlukan untuk mendekat kepada audiens. Pasalnya dakwah juga membutuhkan aspek rasa.
Pesan-pesan yang disampaikan tidak bisa disampaikan secara apa adanya tanpa memahami konteks audiens.
“Menyampaikan kebenaran di hadapan orang yang sama-sama muslim dan kemuslimannya sudah santri itu akan berbeda dengan menyampaikan kebenaran bagi kaum muslimin yang masih awam. Bahkan berbeda bagi mereka yang beragama lain,” ungkapnya.
Maka tidak kemudian sosok mubalig yang berdakwah sesuai dengan konteks dianggap lembek. Sebab tidak selalu kebenaran dari Islam disampaikan dengan garang.
Cara dakwah tersebut bukan hanya untuk pesan agama yang umum, pasalnya pesan dakwah tentang tauhid juga ada sisi kebajikan.***