Muhammadiyah • Jun 05 2022 • 39 Dilihat
Muhammadiyah sering dituduh tidak bermazhab atau anti mazhab. Benarkah tuduhan tersebut? Jika tidak mengikuti salah satu mazhab, bagaimana posisi Muhammadiyah terhadap mazhab dan pemikiran Islam klasik?
Bagaimana pula posisi manhaj tarjih Muhammadiyah terhadap pandangan atau pemahaman keagamaan jika dihadapkan dengan empat mazhab dominan dalam Islam Sunni?
Dalam Islam Sunni, ada empat mazhab utama yang dinamai menurut nama pendiri masing-masing mazhab: mazhab Hanafi, Malik, Syafii, dan Hanbali. Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa mengikuti mazhab berarti mengikuti pendapat mazhab hukum.
Menurut Emad Hamdeh, Mazhab bukanlah pendapat satu orang, melainkan mengikuti metodologi yang ditetapkan oleh pendirinya. Mazhab merupakan kelanjutan dari wacana ilmiah selama berabad-abad, yang pada gilirannya membentuk tradisi ilmiah. Meskipun mazhab dinamai menurut nama pendirinya, ulama mazhab dapat memegang posisi hukum yang bertentangan dengan pendirinya.
Di mazhab Hanafi umumnya ditemukan pendapat dominan milik Yaʿqub bin Ibrahim al-Anshar atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan al-Shayban. Dalam mazhab Syafii, umumnya kita akan sering melihat pandangan Yahya bin Syaraf al-Nawawi dan Abu Qasim al-RafiʿI, kadang pandangan mereka berbeda dengan Imam al-Syafii.
Semua pendapat dalam mazhab tertentu tetap menjadi bagian dari mazhab itu selama mereka mengikuti metodologi yang ditetapkan oleh pendiri mazhab tersebut. Akan tetapi, tidak semua pendapat yang terdapat dalam suatu mazhab dapat dikatakan mewakili mazhab, tetapi seringkali posisi muʿtamad atau pandangan yang paling berbobot.
Munculnya mazhab adalah proses yang bertahap. Tidak ada tanggal pasti kapan mazhab-mazhab itu dibentuk. Tidak ada seorang pun yang bangun pada suatu pagi dan memutuskan untuk mendirikan mazhab. Sejatinya, proses pembentukan mazhab sebagaimana yang kita saksikan dalam sejarah Islam merupakan perkembangan alami yang terjadi sejak zaman Nabi Saw dan para sahabat.
Pada periode Mekah, Nabi Saw memfokuskan pada fondasi iman. Meski demikian, beliau masih menyampaikan beberapa hukum seperti tatacara salat dan pantangan makanan. Periode Madinah adalah saat mayoritas hukum diturunkan seperti konsep waris, zakat, nikah, dan lain sebagainya.
Perbedaan pendapat pada masa Nabi Saw terbatas karena jika para sahabat berbeda pendapat mereka akan merujuk kepada Nabi dan beliau akan menyelesaikan perbedaan apapun. Namun, ketika para sahabat jauh dari Nabi Saw, mereka berbeda pendapat. Bahkan semasa hidup Nabi, sebagian sahabat memberikan fatwa dan sebagian sahabat dikenal kepiawaiannya dalam hukum Islam.
Dengan tidak adanya Nabi Saw, bagaimana para sahabat menemukan solusi atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak disinggung dalam Al-Qur’an dan Sunnah? Jawaban sederhananya adalah mereka melakukan ijtihad. Ijtihad adalah ketika seorang ahli hukum merogoh “kotak peralatan hukum” untuk menemukan jawaban yang tidak dijabarkan dalam kitab suci.
Kotak ini akan mencakup alat-alat seperti penguasaan bahasa Arab, pendapat para sahabat, penalaran analogis (qiyas), konsensus (ijma), dan prinsip-prinsip tambahan seperti preferensi hukum (istihsan) dan kepentingan umum (maslahah).
Ijtihad pada masa Nabi berlangsung dalam kapasitas yang terbatas. Seringkali para sahabat diberikan jawaban langsung atas pertanyaan mereka. Namun, ketika para sahabat itu melakukan perjalanan, mereka menemukan masalah baru yang tidak dibahas oleh kitab suci.
Misalnya, ketika Amr bin al-ʿAsh bepergian, ia hanya memiliki air yang sangat dingin untuk berwudhu. Kemudian ia melakukan ijtihad. Hasil ijtihadnya adalah ia melakukan tayamum. Ketika kembali, Nabi menegaskan bahwa apa yang dilakukannya itu diperbolehkan.
Akan tetapi, para sahabat Nabi dan generasi awal tidak monolitik dan tidak berbagi metodologi tunggal. Mereka memiliki pemahaman dan interpretasi yang berbeda tentang Al-Qur’an dan Sunnah.
Misalnya, Abu Said al-Khudhri pernah melaporkan bahwa ketika dua orang sahabat bepergian, waktu salat tiba dan mereka tidak menemukan air. Kemudian mereka tayamum dan melaksanakan salat.
Tidak lama setelah salat, mereka menemukan air. Salah satu dari mereka mengulangi wudhu dan salatnya, sementara satunya lagi tidak mengulanginya. Persoalan ini kemudian ditanyakan langsung kepada Rasulullah.
Nabi berkata kepada orang yang tidak mengulangi salatnya, “Kamu telah mengikuti Sunnah dengan benar dan kamu akan diberi pahala untuk salatmu,” dan Nabi berkata kepada orang yang mengulangi salatnya, “Kamu akan memiliki dua kali lipat imbalan.” (HR. Sunan Abu Dawud).
Meskipun pemahaman yang berbeda ini mungkin tidak disebut mazhab, konsep mengikuti pemahaman tertentu telah ada pada masa para sahabat. Apalagi setelah Nabi wafat, beberapa sahabat mulai mengajar tentang apa yang dilarang dan diperbolehkan dalam Islam.
Ibnu Masʿud pindah ke Kufah dan mulai mengajar di sana. Secara alami orang-orang mulai menghadiri kelasnya, mengikuti ajarannya, dan murid-muridnya mencatat.
Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar memiliki kelompok pengikut yang serupa di Madinah. Hal serupa juga dilakukan Ibn Abbas yang berdedikasi di Mekah. Orang-orang secara alami datang kepada para Sahabat yang paling berpengetahuan dalam hukum Islam ketika umat memiliki pertanyaan.
Dengan demikian, Mazhab merupakan ilmu yang tahap-tahap pembentukannya ada pada zaman Nabi, diteruskan para sahabt dan terus berkembang seiring waktu. Sama halnya dengan ilmu al-Qur’an dan ilmu hadits, mazhab-mazhab tersebut secara bertahap muncul sesuai dengan kebutuhan dan zaman umat Islam.
Ketika Nabi masih hidup, tidak diperlukan metodologi lanjutan untuk mempelajari kitab suci. Jika seseorang memiliki pertanyaan, mereka hanya bertanya padanya dan menerima interpretasi yang benar. Ketika Nabi tidak lagi hidup, ada kebutuhan untuk membangun metode sistematis menafsirkan kitab suci.
Al-Qur’an dan Sunnah memang paling baik dipahami oleh para sahabat Nabi karena mereka tinggal bersamanya dan menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan pertumbuhan Islam. Mazhab adalah upaya untuk memahami kitab suci dengan cara yang mirip dengan para sahabat.
Misalnya, Imam Syafii adalah salah satu ulama generasi pertama yang menulis kitab tentang prinsip-prinsip hukum Islam (ushul al-fiqh) dalam upaya untuk memberikan metodologi interpretasi kitab suci. Meski para sahabat tidak menjelaskan metodologi mereka, dengan cerdas Imam Syafii mampu mengekstrak prinsip-prinsip hukum Islam berdasarkan studinya tentang bagaimana para sahabat menafsirkan kitab suci.
Ketika Muhammadiyah memutuskan untuk tidak berafiliasi pada mazhab tertentu, gosip pun berkembang.
Dari yang menyatakan keputusan tersebut benar-benar ahistoris, sampai dituduh melakukan diskontinuitas ilmu pengetahuan lantaran dianggap mengabaikan turats.
Gerakan Islam modernis yang memiliki jargon “kembali ke al-Quran dan al-Sunah” dan ijtihad ilmiah ini dituduh melakukan pemutusan dengan tradisi keilmuan klasik Islam yang begitu kaya.
Padahal Muhammadiyah dengan tegas mengatakan bahwa tidak mengikuti Mazhab namun tidak juga anti dengan Mazhab.
Artinya, dalam menyikapi karya-karya ulama masa lampau, Muhammadiyah memposisikan mereka secara proporsional, dan tidak secara ideologis: tidak membuang seluruhnya tapi juga tidak mengambil seluruhnya.
Dengan demikian, tidak benar Muhammadiyah melakukan diskontinuitas ilmu pengetahuan karena salah satu doktrinnya adalah kembali ke al-Quran dan al-Sunah.
Frasa “kembali ke Quran dan Sunah” memang memiliki kesan memotong narasi akademik ilmuwan Islam di masa lampau. Seolah kaum modernis merupakan gerakan Islam tanpa foot note.
Sebagaimana keterangan di atas, mazhab bukanlah sekte dalam Islam, tetapi mereka terdiri dari ulama yang mematuhi suatu metodologi interpretasi teks.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga memiliki metodologi intepretasi yang diambil dari spiriti tradisi ulama mazhab. Muhammadiyah memiliki seperangkat metode pengambilan hukum yang sering dinamakan dengan Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
“Tarjih” artinya kegiatan ijtihad dalam Muhammadiyah. Istilah “tarjih” sebenarnya berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Kemudian mengalami pergeseran sehingga “tarjih” tidak lagi hanya diartikan kegiatan sekadar kuat-menguatkan suatu dalil atau pilih-memilih di antara pendapat yang sudah ada, melainkan telah identik dengan ijtihad itu sendiri.
Karena itu, Manhaj Tarjih berarti suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan (semangat atau perpektif), sumber, pendekatan dan prosedur-prosedur teknis (metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan. Di dalam Manhaj Tarjih semua metodologi ulama Mazhab diadopsi dan digunakan seperti konsep qiyas, istislah, istihsan, dan lain sebagainya.
Penulis: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS
sumber berita ini dari muhammadiyah.or.id
muhammadiyah.or.id adalah website resmi persyarikatan Muhammadiyah. Dan dikelolah oleh PP Muhammadiyah
View all postsmuhammadiyah.or.id adalah website resmi persyarikatan Muhammadiyah. Dan dikelolah oleh PP Muhammadiyah
Hujan deras dengan intensitas tinggi melanda delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, termasuk La...
Oleh: Sukron Abdilah* BANDUNGMU.COM — Kita selalu beranggapan bahwa untuk berbuat baik harus mem...
BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering me...
BANDUNGMU.COM, Jakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad secara resmi membuka...
CIREBONMU.COM — SDIT Muhammadiyah Harjamukti Kota Cirebon adakan kegiatan camping yang penuh d...
BANDUNGMU.COM, Jakarta — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz A...
No comments yet.