Asal Usul Amil Zakat Modern di Indonesia, Peran Muhammadiyah

Sejarah pengelolaan zakat secara modern di Indonesia dipelopori oleh Muhammadiyah. Tahun 1914 menjadi babak baru model pengelolaan zakat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Di mana sebelum tahun itu pengumpulan dan penyaluran zakat masyarakat Islam di Indonesia dilakukan melalui otoritas seperti bupati, kawedanan pengulon, kiai, lurah, dan pamong.

Menurut Amelia Fauzia yang dirujuk oleh Hilman Latief (2019), model pengumpulan dan penyaluran zakat kepada otoritas sebagaimana yang disebutkan di atas disinyalir kerap terjadi penyalahgunaan dana zakat.

Pada Masa Belanda

Kenyataan tersebut menjadi salah satu penyebab Pemerintah Kolonial Belanda sempat memberlakukan pelarangan pengumpulan dan penyaluran zakat melalui bupati, kawedanan, kiai, lurah dan seterusnya. Muhammadiyah akhirnya mampu menggantikan peran-peran otoritas pengumpul zakat yang lama dengan menawarkan kebaruan dalam sistem pengumpulan dan penyaluran zakat.

Menurut Hilman Latief dalam bukunya Fatwa-Fatwa Filantropi Islam di Indonesia (2019) pengelolaan dana zakat yang disalurkan melalui kawedanan, kiai, dan lurah, bukanlah representasi dari bentuk kepatuhan warga negara terhadap peraturan pemerintah “kebijakan strutural”, tapi lebih kepada kegiatan individu seorang muslim dan merupakan representasi dari kepatuhan terhadap perintah agama “praktik kultural”.

Menurutnya, saat ini meskipun negara hadir dalam mekanisme sebagai regulator, akan tetapi urusan zakat sebagian besar di bawah kendali masyarakat sipil.

Peran Mohammad Kamaludiningrat

Di Yogyakarta, pergeseran pengumpulan dan distribusi zakat ditandai dengan dipercayainya Muhammadiyah sebagai otoritas yang mengumpulkan dan distribusi zakat. Menurut Ghifari dalam bukunya Filantropi Masyarakat Perkotaan (2020), ada sosok penting dalam pergeseran otoritas pengelolaan dana zakat di Yogyakarta dari Kawedanan Pengulon ke organisasi Islam, yakni Mohammad Kamaludiningrat.

Dia adalah pengganti Kiai Penghulu Mohammad Kholil Kamaludiningrat yang meninggal pada 1914. Kiai Mohammad Kamaludiningrat dulunya bernama Kiai Sa’idu, yang dipersuamikan oleh Putri dari Kiai Kholil Kamaludiningrat. Hubungan antara Kiai Sa’idu dengan Kiai Kholil itu menantu dan mertua. Ahmad Mu’arif (2010), pemerhati sejarah dan perkembangan Muhammadiyah ini mencatat, sikap Kiai Sa’idu terhadap Kiai Ahmad Dahlan berbeda sama sekali dengan sikap mertuanya kepada Kiai Dahlan. Masih lekat di ingatan, dirobohkannya Langgar Kidoel yang diasuh oleh Kiai Ahmad Dahlan pada tahun 1899 sebagaimana digambarkan dalam Film Sang Pencerah, aktor intelektualnya adalah Kiai Kholil.Meski dikemudian hari sikapnya melunak terhadap Kiai Dahlan.

Dukungan Kraton pada Muhammadiyah

Perpindahan kekuasaan hoofd penghulu dari Kiai Kholil ke Kiai Sa’idu memberikan akses Muhammadiyah ke Keraton. Selain itu, kuat dugaan pada akhir Ramadan sejak 1914, Muhammadiyah diberi kewenangan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Di mana sebelum tahun 1914, pengumpulan dan distribusi zakat menjadi otoritas Kawedanan Pengulon.

Budi Setiawan, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) PP Muhammadiyah, sekaligus warga asli Kampung Kauman di beberapa kesempatan sering menuturkan, bahwa jika dulunya zakat itu diantar oleh muzakki, namun ketika Muhammadiyah diserahi untuk mengelola zakat hal itu dibalik. Petugas atau amil zakat yang sering berkeliling menjemput zakat.

Menawarkan Konsep Baru Kedermawanan

Konsep kedermawanan baru mulai tumbuh seiring dengan tumbuhnya organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Sebelumnya, umat Islam di Indonesia hanya mengeluarkan zakat fitrah, namun setelah mendapat sentuhan kebaruan dari Muhammadiyah, kesadaran baru juga ikut berkembang.

Mereka tidak lagi hanya berzakat fitrah, tapi juga dermawan atas perintah Tuhan seperti galang dana untuk korban meletusnya Gunung Kelud di Kediri pada tahun 1919. Umat muslim juga mulai melakukan iuran rutin (infaq-shadakah) dengan sukarela untuk pembangunan sekolah, mushola/langgar, termasuk penerbitan surat kabar organisasi.

Kebaruan yang awet dan terus berkembang sampai sekarang adalah cara penyaluran dana zakat. Jika sebelumnya dana zakat yang terkumpul disalurkan kepada kiai atau tokoh agama, yang menyebabkan terjadinya penyelewengan, maka setelah otoritas pengelolaan zakat diberikan kepada Muhammadiyah, dana zakat yang terkumpul disalurkan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif dan progresif. Seperti dengan membangun poliklinik kesehatan, weeshuis, armenhuis, dan sekolah atau lembaga pendidikan lain.

Organisasi Islam seperti Muhammadiyah ini menghadirkan orientasi baru dalam kedermawanan yang sebelumnya belum ada.

Pelembagaan Amil Zakat dan Amal Usaha

Peneliti senior Muhammadiyah, Prof. Munir Mulkhan bahkan menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang memodernisasi dan mentransformasi zakat dan praktik filantropi Islam lainnya untuk keadilan dan kesejahteraan (welfare), khususnya bagi kaum dhuafa’ melalui lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Sejak tahun 2002 urusan zakat, infaq, dan shadaqah (ZISKA) di Muhammadiyah diurus oleh lembaga yang didirikan khusus dengan nama Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LazisMu).

LazisMu adalah lembaga zakat tingkat nasional yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendayagunaan secara produktif dana zakat, infaq, wakaf dan dana kedermawanan lainnya baik dari perseorangan, lembaga, perusahaan dan instansi lainnya.

Melalui 6 pilar program, LazisMu bergerak di ranah pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial kemanusiaan, dakwah, dan lingkungan. Dalam riset Erni Juliana Al Hasanah (2019), LazisMu sebagai lembaga pengelola zakat modern memiliki enam asas pengelolaan ZISKA. Pertama, LazisMu dalam pendistribusian dan pendayagunaan dana ZISKA mengacu pada delapan asnaf (mustahik) dan yang terbaru, LazisMu juga mengadopsi 17 tema SDGs.

Kedua, amanah dan integritas, artinya harus menjadi lembaga yang dapat dipercaya dengan memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. Selanjutnya yang ketiga, kemanfaatan, artinya memberikan manfaat yang besar bagi mustahiq.

Keempat, keadilan, artinya mampu bertindak adil, yaitu sikap memperlakukan secara setara di dalam memenuhi hak-hak yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Kelima, kepastian hukum.

Muzaki dan mustahik harus memiliki jaminan dan kepastian hukum dalam proses pengelolaan dana ZISKA, dan keenam, terintegrasi, di internal LAZISMU melakukan sinergi dengan majelis, lembaga, ortom dan AUM dalam merealisasikan program.

Penulis: Aan Ardiyanto

Editor: Fauzan AS

sumber berita ini dari muhammadiyah.or.id

Author

Vinkmag ad

Read Previous

Adakah Kemungkinan Idul Fitri 1443 H Jatuh di Tanggal yang Berbeda?

Read Next

1 Syawal 1443 H: Menyebar Mozaik Hikmah dan Nilai Utama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular