BANDUNGMU.COM, Jakarta — Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi, berharap agar kader-kader Muhammadiyah tidak memiliki sikap anti dan alergi terhadap politik.
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Dekan FISIP PTMA di Auditorium Kasman Singodimedjo UMJ pada Rabu (21/06/2023).
Dalam seminar dengan tema “Muhammadiyah di Tengah Kontestasi Politik 2024” ini, Ridho menjelaskan tentang dua fase hubungan antara Muhammadiyah dengan politik, berdasarkan penelitian yang mencakup periode hingga 2020.
Fase pertama terjadi antara tahun 1912 hingga 1971. Pada fase ini, kader-kader Muhammadiyah menyadari pentingnya Muhammadiyah bergabung dengan partai politik.
Tidak ada aturan resmi yang melarang kader-kader Muhammadiyah untuk terlibat dalam partai politik. Pada masa tersebut, kader-kader Muhammadiyah bahkan membentuk partai politik, seperti PII (Partai Islam Indonesia).
Fase kedua terjadi antara tahun 1971 hingga 2020. Ridho menyatakan bahwa fase kedua ini mungkin masih berlangsung hingga saat ini.
“Hingga saat ini, Muhammadiyah tidak memiliki partai politik. Para anggota Muhammadiyah saat ini berpartisipasi dalam tim sukses,” ungkap Ridho seperti dikutip dari muhammadiyah.or.id.
Kader-kader Muhammadiyah saat ini tersebar di berbagai partai politik dan menjadi pendukung partai politik sebagai tim sukses.
“Muhammadiyah tidak akan secara resmi mengeluarkan pernyataan yang mendukung calon presiden dan calon wakil presiden tertentu atau mendukung partai politik tertentu. Hasil Muktamar Solo 2022 menyatakan pentingnya kader-kader Muhammadiyah berperan dalam lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif,” katanya.
Meskipun menghadapi dilema, Ridho menegaskan agar kader-kader Muhammadiyah tidak memiliki sikap anti dan alergi terhadap politik.
“Muhammadiyah akan mendorong kader-kadernya untuk terlibat dalam politik, tetapi tanpa melibatkan Muhammadiyah secara langsung dalam politik praktis,” tegas Ridho.
Dilema ini terkait dengan adanya dua aliran pemikiran di kalangan warga Muhammadiyah mengenai hubungan antara Muhammadiyah dan politik.
Aliran pertama adalah pemikiran rasionalis-skripturalis yang cenderung tidak mendukung keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis dan menempatkan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan atau kekuatan moral.
Aliran kedua adalah pemikiran pragmatis-substansialis yang cenderung mendukung keterlibatan langsung Muhammadiyah dalam politik, karena mereka berpendapat bahwa perjuangan dapat dilakukan melalui jalur politik.
“Sebagian warga Muhammadiyah menginginkan kejelasan mengenai posisi Muhammadiyah dalam mendukung siapa,” jelas Ridho.
Ridho menyatakan bahwa dalam konteks Pemilu 2024, Forum Dekan FISIP PTMA dapat menjadi mitra untuk mendorong peran akademisi FISIP.
“Jangan menolak, tetapi mari kita cari pemahaman bersama. Kami menerima masukan dari para hadirin mengenai isu politik praktis dan menjelang Pemilu 2024,” tutup Ridho.
Seminar nasional dihadiri oleh 28 Dekan FISIP yang merupakan anggota Forum Dekan FISIP PTMA dari seluruh Indonesia. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Rektor UMJ Ma’mun Murod sebagai pembicara utama.
Seminar berjalan dengan sangat interaktif dan dalam kesempatan tersebut akademisi FISIP PTMA tidak melewatkan kesempatan untuk berdiskusi mengenai posisi Muhammadiyah dalam politik bersama Ketua LHKP PP Muhammadiyah.***