Idul Adha merupakan istilah yang populer di kalangan umat muslim sejak syariat ini disempurnakan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Dalam praktiknya, Idul Adha adalah hari raya umat muslim yang sangat erat kaitannya dengan ibadah ritual yang penuh dengan nilai-nilai monumental yang dilaksanakan di tanah suci Makkah Al-Mukarramah.
Perayaan ini tidak kalah meriah dibandingkan Idul Fitri. Bahkan, di kalangan masyarakat muslim di jazirah Arab, penyambutan Idul Adha lebih antusias dan meriah. Terutama bagi jamaah haji dari seluruh penjuru dunia yang menunaikan rukun Islam kelima, yang menjadi kewajiban bagi umat muslim yang memiliki kemampuan secara materi ataupun mental spiritual.
Kemeriahan perayaan Idul Adha di tanah suci Makkah telah berlangsung selama berabad-abad, begitu pula bagi umat muslim yang berada di luar tanah suci. Di Indonesia, misalnya, umat muslim bersahutan mengumandangkan takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil dengan syahdu dan khusyuk di berbagai masjid dan musala di perkampungan.
Ada hal menarik yang patut dicermati, yaitu pada hari Idul Adha bukan hanya melaksanakan ibadah salat Id, tetapi juga ada prosesi penyembelihan hewan kurban setelahnya. Hal ini menambah kemeriahan dan kebahagiaan tersendiri karena momentum tersebut digunakan untuk berbagi keceriaan dengan menikmati santap daging kurban secara bersama-sama.
Momentum Idul Adha diharapkan tidak dimaknai secara pragmatis yang berlebihan. Hal ini sangat penting agar makna syariat dan ibadah Idul Adha tidak rusak. Nilai-nilai ketauhidan yang seharusnya menyertai pelaksanaannya secara tertib dan khusyuk bisa hilang jika niat dan proses ibadahnya rusak karena orientasi yang salah.
Ibadah ini menjadi retak dan pecah jika dilakukan hanya demi memperoleh daging, tulang, dan kulit hewan kurban semata. Padahal, makanan-makanan tersebut adalah hadiah dari konsekuensi ibadah umat Islam yang ikhlas karena Allah Ta’ala yang telah mensyariatkan dalam ajaran-Nya.
Refleksi Hari Idul Adha mengandung nilai-nilai ketauhidan, kesyariahan ta’abudi, dan nilai akhlak yang menjelma dalam sikap, perilaku, dan perbuatan manusia di muka bumi. Melihat kembali kisah awal kenabian Ismail AS, sosok putra Nabi Ibrahim AS, sejak usia dini hingga remaja, Ismail menunjukkan perilaku yang patuh dan taat pada kaidah-kaidah yang berlaku.
Ia sangat tunduk dan patuh pada ajaran yang dibawa oleh ayahnya sebagai Nabi Allah Ta’ala. Ketundukan Ismail tidak diragukan, baik kepada ajaran-ajaran yang disebarkan ayahnya maupun sikap hormatnya sebagai anak kepada kedua orang tuanya. Kepatuhan dan cinta Ismail kepada ayahnya begitu membanggakan, melampaui anak-anak seusianya.
Hal ini menunjukkan bahwa Ismail adalah manusia pilihan yang kelak setelah dewasa menjadi pembawa risalah ajaran Ilahi, dan menjadi salah satu dari 25 nabi yang wajib diketahui oleh umat Islam sebagai teladan. Seperti yang sering disampaikan oleh ulama, ustaz, dan kiai dalam berbagai ajaran tarikh Islam, sosok Ismail AS dan ayahnya Ibrahim AS telah memberikan contoh nyata tentang kepatuhan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Meskipun perintah Allah Ta’ala meminta Ibrahim AS untuk menyembelih anak kesayangannya, dia tidak ragu, dan anaknya pun tidak membangkang. Mereka selalu bersedia mengikuti perintah Allah Ta’ala tanpa banyak tanya.
Sosok ayah dan anak yang taat kepada Allah Ta’ala ini telah menjadi simbol keluarga yang teladan bagi umat manusia di muka bumi dalam hal kuatnya akidah ketauhidan. Dari sikap tersebut, terjadi peristiwa penyembelihan Ismail AS sebagai kurban. Pada saat itu pula, mukjizat Allah Ta’ala diberikan kepada mereka dengan menggantikan Ismail AS yang hendak disembelih oleh ayahnya dengan seekor kambing jantan. Peristiwa ini kemudian dijadikan syariat ibadah dalam Islam sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat yang tak terhitung jumlahnya kepada manusia di mana pun berada tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama.