Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Hari-hari ini menjadi cukup menegangkan bagi satuan pendidikan, baik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dalam dua bulan terakhir, sekolah dan perguruan tinggi disibukkan dengan proses rekrutmen calon siswa dan mahasiswa baru, yang bertepatan dengan akhir dan awal tahun ajaran sekolah maupun tahun akademik di perguruan tinggi.
Kekhawatiran ini terutama dirasakan oleh sekolah dan perguruan tinggi swasta. Mereka sangat cemas tentang minat calon siswa dan mahasiswa baru yang akan mendaftar dan melanjutkan studi di institusi mereka pada tahun ini.
Pilihan sekolah bagi calon siswa yang akan melanjutkan ke jenjang berikutnya atau pilihan kampus bagi calon mahasiswa baru sangat beragam. Berbagai cara dan strategi digunakan untuk merayu dan membujuk agar mereka mendaftar dan masuk ke sekolah atau perguruan tinggi yang ditawarkan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa saat menawarkan, ada tanggung jawab moral yang harus diemban. Tawaran tersebut harus didasari oleh spirit kuat dan kepercayaan diri untuk menarik minat calon siswa dan mahasiswa, serta mampu menggambarkan jaminan mutu lulusan.
Masukan dari masyarakat maupun para ahli menunjukkan bahwa di era global ini, tidak ada lagi tawar-menawar terkait kompetensi dan keterampilan yang berstandar dan teruji di tingkat nasional dan internasional. Dalam dunia profesional, istilah sertifikasi profesi sering digunakan.
Namun, dalam konteks ini, sertifikasi tidak hanya mencakup standarisasi lokal-nasional, tetapi sertifikasi keterampilan dan keahlian yang diakui secara internasional. Keterujian di lapangan akan membuktikan keterampilan dan keahlian yang dimiliki.
Konsekuensi tuntutan tersebut adalah penyelenggara sekolah berbasis kejuruan dan vokasi serta kampus yang menyediakan tenaga ahli, harus memastikan proses dan isi pembelajaran dijalankan berdasarkan standar mutu yang memenuhi kebutuhan pengguna lulusan, baik industri dan bisnis maupun masyarakat umum.
Artinya, siapa pun penyelenggara pendidikan yang menawarkan programnya harus memastikan jaminan mutu lulusan. Baik itu melalui sertifikasi standar industri atau standar lain yang diterima dan diakui pada saat keterampilan dan keahlian digunakan.
Standardisasi keterampilan dan keahlian yang teruji tidak dapat ditawar dengan apa pun karena kompetisi akan terus semakin selektif dan ketat. Bahkan, standardisasi tidak hanya mencakup keterampilan teknis (hard skill), tetapi keterampilan non-teknis (soft skill) yang sangat mendominasi dalam menjalani pekerjaan atau aktivitas usaha.
Soft skill adalah jalan panjang untuk menjaga dan memelihara ketangguhan mentalitas kerja. Keterampilan dan keahlian teknis memiliki masa berlaku. Namun, mentalitas akan terus membentuk sifat dan karakter hidup, mendukung kehidupan di dunia, dan membawa kebaikan di hari akhir.
Disadari atau tidak, gerbang pertama untuk diterima oleh pengguna (industri dan sejenisnya) adalah bukti keterujian keterampilan dan keahlian berstandar yang dimiliki. Seiring waktu, ketajaman skill dan keahlian akan terus dipertajam sesuai tuntutan kebutuhan dalam berkarya yang diperkuat oleh soft skill.
Kreativitas dan inovasi dalam berkarya akan menjadi tantangan. Oleh karena itu, pentingnya sertifikasi adalah untuk menuntun, menjamin, dan menggaransi hasil kinerja.
Sangat penting keterlibatan pihak-pihak yang memberi legitimasi dan melegalisasi keterampilan serta keahlian setiap profesi. Misalnya Kemenaker yang menyediakan infrastruktur pelatihan keterampilan melalui balai latihan kerja yang tersebar di berbagai daerah.
Uji keahlian dilakukan oleh tenaga ahli. Contohnya seperti lembaga sertifikasi keterampilan dan pakar industri yang terlibat dalam persatuan insinyur Indonesia dan sejenisnya.
Mutu lulusan ketika digunakan oleh pelaku industri maupun saat memulai bisnis akan terlihat dan dapat dirasakan sejauh mana keterampilan dan keahliannya. Standardisasi meskipun mutlak, perlu dipahami oleh semua pihak bahwa hal tersebut merupakan batas minimum awal dalam menggunakan pengetahuan dan pengalaman.
Artinya, standardisasi saat lulus dari ruang belajar dan latihan bukanlah kemahiran, melainkan standar minimum sebagai prasyarat untuk memulai. Terpenting bagi penyelenggara industri adalah tidak sepenuhnya mengandalkan skill dan keahlian saat awal masuk. Namun, harus ada peningkatan skill secara berkala, terstruktur, sistematis, dan terukur sesuai kebutuhan prioritas dan mendesak.
Keterjaminan mutu lulusan bukan sekadar standar yang dituliskan dalam selembar sertifikat yang mudah diduplikasi atau dipalsukan. Keterjaminan lulusan saat ini melibatkan pelacakan pengalaman dan pencarian jejak digital.
Hasil karya dari kreativitas dan inovasi yang dikerjakan menjadi referensi dalam menguji keterujian dan keterjaminan sehingga pengetahuan dan pengalaman terintegrasi dalam pembelajaran selama studi dan pelatihan.
Orientasi dan motivasi siswa serta mahasiswa harus didukung oleh data dan peta potensi mereka. Penelusuran minat dan bakat penting untuk diketahui. Termasuk latar belakang dan kemampuan dasar yang dapat diukur dengan alat ukur yang diakui.
Saat ini, perguruan tinggi seperti universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi berlomba-lomba merekrut calon mahasiswa baru untuk tahun akademik baru. Tawaran yang disampaikan umumnya menekankan pada prestasi program studi yang sudah terakreditasi. Selebihnya, tambahan-tambahan berupa promosi yang menarik dengan bahasa yang dapat dipahami oleh generasi milenial.
Namun, tawaran keterjaminan mutu lulusan masih jarang berani disampaikan karena kesadaran akan hasil evaluasi diri menunjukkan kemampuan yang masih rata-rata dan di bawah standar. Mereka hanya menjamin bahwa proses pembelajaran akan dijalankan sesuai tradisi yang sudah berjalan semestinya. Jika ada perguruan tinggi yang berani menawarkan keterjaminan mutu lulusan, hal itu akan menjadi sesuatu yang luar biasa.
Apakah mungkin menawarkan keterjaminan mutu kepada calon mahasiswa, sementara pada umumnya perguruan tinggi tidak berani menjamin standardisasi yang diakui industri secara langsung?
Kebanyakan perguruan tinggi hanya memberikan bukti kelulusan berupa ijazah dan transkrip nilai. Sertifikasi keterampilan dan keahlian biasanya diserahkan kepada lulusan untuk dicari secara mandiri.
Hal ini mencerminkan kurangnya perhatian penyelenggara dan pengelola pendidikan terhadap nasib lulusan, apakah mereka mendapatkan pekerjaan atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah mahasiswa lulus, dan setelah itu, tanggung jawab kampus berakhir.
Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, ada aspek tanggung jawab moral yang hilang dalam jiwa dan karakter seorang yang beragama. Sekadar menempuh pendidikan formal tanpa adanya perubahan cara berpikir dan berperilaku yang lebih maju tidak akan memberikan dampak yang signifikan.
Sertifikasi berstandar yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesi idealnya harus benar-benar berkolaborasi dengan perguruan tinggi. Selama ini, keduanya terpisah tanpa ada jaminan kemampuan yang sesuai dengan perkembangan terkini.
Banyak yang merasa cukup bangga dengan gelar akademik. Namun, saat dibutuhkan dalam realitas sosial dan perkembangan teknologi, sering kali terjadi kebingungan dan rasa minder. Akhirnya, lulusan hanya mencari pekerjaan seadanya untuk menghindari status pengangguran. Ijazah dan transkrip nilai hanya disimpan rapi sebagai bukti sejarah pernah menempuh studi di perguruan tinggi.
Jika tradisi ini dipertahankan, tidak mustahil institusi pendidikan menengah ataupun tinggi akan perlahan-lahan tutup dan berakhir tragis. Kita berharap semua itu tidak terjadi di Indonesia.
Untuk menghindari hal tersebut, perlu segera mengubah niat, tujuan, dan orientasi penyelenggaraan pendidikan serta manajemen pengelolaannya.
Adaptasi terhadap dinamika dan perkembangan sains dan teknologi, sosial dan politik, serta perkembangan lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia menjadi mutlak diperlukan. Adaptasi dan akselerasi ini harus sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan hari ini dan masa depan.
Semoga filosofi “hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini” dapat terus dipegang teguh. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar