Oleh: Ace Somantri (Dosen UM Bandung)
BANDUNGMU.COM — Patut diapresiasi karena warga Muhammadiyah tidak reaktif atas informasi yang dirilis oleh lembaga survei cukup terkenal di Indonesia.
Hasil survei itu sebagai catatan baik dan positif selama hasil surveinya dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk berpendapat apalagi ada dasar yang melandasinya.
Beredarnya hasil survei Denny JA dapat diambil nilai positif karena hal itu salah satu bentuk informasi yang mengingatkan kepada Muhammadiyah. Selain itu, perbuatan tersebut juga bagian dari menjalankan syariat Islam yakni saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang di dalamnya terkumpul orang-orang dengan tujuan yang sama. Mereka mengabdi dan berdakwah mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan, menyerukan kebenaran, menghindari dan menjauhkan diri dari keburukan serta kemunkaran terhadap ajaran Islam.
Saat hasil rilis survei muncul dengan sampel yang diambil di tahun 2005 menyentuh diangka 9,4 persen yang mengaku warga Muhammadiyah.
Kemudian di tahun 2018 mengalami penurunan hingga menyentuh angka 5,7 persen jumlah orang yang mengakui sebagai warga Muhammadiyah.
Ada beragam komentar atas hasil rilis hasil survei Denny JA tersebut. Ada yang berkomentar surveyor dalam survei tersebut bukan orang-orang Muhammadiyah.
Ada juga yang berkomentar cukup biarkan saja tidak perlu ditanggapi karena yang penting bukan berapa jumlah anggota Muhamamdiyah, melainkan lebih penting kualitas.
Kemudian ada pula yang berkomentar bahwa hasil survei tersebut harus menjadi catatan bagi pimpinan Muhammadiyah. Bahkan ada yang mengomentari bahwa data riil di level cabang dan ranting masih didominasi orang tua. Orang-orang muda cenderung kurang minat dan enggan berkolaborasi.
Muhammadiyah memang sudah makan asam garam. Namun, juga bukan berarti tidak ada kelemahan. Disadari atau tidak, kita warga Muhammadiyah harus jujur pada siapa pun bahwa apa yang disampaikan dalam rilis tersebut ada benarnya meskipun tidak mutlak benar saat ditarik dalam perspektif tertentu.
Saat narasi yang dikembangan ada penurunan hanya karena sampel ditanya sebatas pengakuan lisan atau tulisan yang tidak mengikat, jangankan warga biasa, guru, dosen, staf, dan karyawan yang bekerja di Muhammadiyah belum pun tentu mengatakan pengikut Muhammadiyah.
Bahkan sangat mungkin karena takut dan malu menyatakan diri sebagai warga Muhammadiyah atau karena hal lainnya sehingga mereka masih berat menyatakan dirnya sebagai warga Muhammadiyah.
Hal tersebut masih terjadi di lingkungan Muhammadiyah, apalagi saat kasus perbedaan paham Idul Fitri dan Idul Adha.
Penulis sendiri pernah menulis artikel opini bertema tentang pegawai Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang sempat menuai berbagai tanggapan di kalangan Muhammadiyah.
Minus teladan
Disadari betul oleh warga Muhammadiyah bahwa di Muhammadiyah saat ini boleh dikatakan minus pigur yang menjadi teladan umat.
Bahkan dari pimpinan-pimpinan yang ada di berbagai level tingkat persyarikatan kecenderungan sangat elitis dan kurang berbaur dengan masyarakat grasroot.
Apalagi aktivis muda Muhammadiyah cenderung ada dalam lingkaran internal. Mereka hanya bergerak di lingkaran sekolah dan perguruan Muhammadiyah. Nyaris tidak berkolaborasi dengan masayarakat luas.
Keberadaan dan kehadiran Muhammadiyah dapat dirasakan manfaatnya. Namun, masyarakat yang ikut merasakan enggan mengakui sebagai warga Muhammadiyah karena paham beragamanya masih tidak sepaham dengan Muhammadiyah sekalipun anak dan cucunya sekolah di Muhammdiyah.
Hal seperti itu sangat banyak. Bagi Muhammadiyah jumlah pengikut atau yang mengikuti tidak menjadi masalah dan bukan tujuan utama. Muhammadiyah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat utama yang sebenar-benarnya sesuai dengan ajaran Islam.
Saat ada masyarakat muslim memiliki tujuan tersebut, itu bagian dari niat dan tujuan yang sama. Dengan hal itu tidak mesti harus diklaim sebagai pengikut Muhammadiyah karena yang penting bagi Muhammadiyah adalah bisa tercapai visi, misi, dan tujuan.
Muhammdiyah hanya sarana untuk mencapai tujuan. Pengakuan diri Muhammadiyah atau bukan tidak ada soal bagi Muhammadiyah.
Hanya perlu disampaikan kepada siapa pun yang beraktivitas di Muhammadiyah, baik itu di persyarikatan langsung masuk dalam struktur, guru, dosen, staf, dan karyawan AUM, seperti di sekolah, kampus, rumah sakit, klinik kesehatan, panti jompo, panti asuhan, koperasi, maupun pengurus masjid dan majelis talim dan juga amal usaha lainnya.
Mereka harus berkontribusi dan berkolaborasi dengan ranting dan cabang Muhammadiyah. Jangan sungkan dan enggan hanya karena aktif di level pimpinan persyarikatan paling bawah.
Kemuliaan bukan terletak pada tingkatan level organisasi, melainkan ketulusan berkhidmat. Hindari hanya sekedar bekerja di Muhammadiyah, sedangkan pada satu sisi mereka aktif di organisasi Islam yang berideologi gerakan yang berbeda dengan Muhammadiyah.
Sebaiknya hal tersebut dihindari untuk menjaga sikap yang bertentangan dengan visi dan misi serta tujuan Muhammadiyah.
Hasil survei dan rilis di media online terkait dua ormas besar di Indonesia sejatinya harus dijadikan momentum evaluasi dan introspeksi diri bagi warga Muhammadiyah di mana pun berada.
Generasi muda atau angkatan Muda Muhammadiyah harus turun dan urun rembug kembali ke cabang dan ranting Muhammadiyah. Fakta dan realitas kondisi cabang dan ranting Muhammadiyah sangat memprihatinkan.
Begitu pun para guru, dosen, staf, dan karyawan yang bekerja dan berkhidmat di amal usaha Muhammadiyah untuk ikut serta berpartisipasi menggerakkan seoptimal mungkin berbagai potensi yang dimiliki Muhammadiyah di cabang atau ranting.
Membuat dinamika organisasi Muhammdiyah di tingkat cabang dan ranting lebih hidup dan menghidupkan warga Muhammadiyah dan masyarakat lainnya.
Melakukan pembaruan program kegiatan yang aplikatif dan solutif di berbagai majelis dan lembaga untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara.
Memajukan gerak laju dan langkah dakwah bersama dan berjamaah dengan bekal berbagai disiplin ilmu yang dimiliki. Tidak harus berlatar belakang ilmu keislaman yang parsial.
Buat apa ramai diperbincangkan kelemahan dan kekurangan Muhammadiyah, sementara diri kita hanya wait and see dan bingung harus mulai darimana berbuat.
Rasanya benar apa yang terjadi saat ini, diakui atau tidak, selain krisis pigur teladan umat, juga terjadi krisis kepekaan dan kepedulian para pegawai amal usaha terhadap gerakan dakwah secara kultural di lingkungan Muhammadiyah dan di luar dengan atas nama diri sebagai warga Muhammadiyah.
Padahal, para guru, dosen, staf, dan karyawan amal usaha Muhammadiyah atau anggota lainnya bermacam-macam profesi. Mereka rata-rata secara strata pendidikan orang-orang terpelajar.
Namun, saat harus guyub urun rembug di tingkat cabang dan ranting sangat terlihat kurang. Wajar saja ketika disurvei banyak di antara warga Muhammadiyah tidak menyatakan terbuka atau memang surveinya di pelosok desa yang warga Muhammadiyahnya sangat minus.
Rilis survei tersebut ada kesan sangat politis pasalnya saat ini sedang hangat menjelang pemilu presiden.
Dugaan sementara survei tersebut untuk menaikkan citra ormas tertentu dan menurunkan citra ormas lainnya sehingga para pihak yang berkepentingan dapat menghitung ulang kalkukasi politik pemilu presiden.
Jikalau itu tujuannya, maka sangat keterlaluan dan kurang etis. Patut diduga rilis hasil survei ini tidak murni ilmiah karena bisa jadi ada niat lain sebab sepintas ada tujuan di balik survei tersebut.
Terlebih saudara Denny JA selama ini, pemilik lembaga survei, yang selalu diperjualbelikan untuk kepentingan survei politik saat pemilu presiden dan pemilukada.
Semoga ini bukan tuduhan, melainkan analisis subjektif dari warga Muhammadiyah Jawa barat. Kiranya segala hal sesuatu yang terjadi akan ada hikmah positif.***