Yogyakarta , InfoMu.co – I’tikaf menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tuntunan Ramadan menjelaskan I’tikaf secara istilah adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
Ibadah ini termaktub dalam QS. Al Baqarah ayat 187. I’tikaf sangat dianjurkan dilaksanakan setiap waktu di bulan Ramadan. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang waktu pelaksanaan i’tikaf, apakah dilaksanakan selama sehari semalam (24 jam) atau boleh dilaksanakan dalam beberapa waktu (saat).
Al-Hanafiyah berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang sebentar tapi tidak ditentukan batasan lamanya, sedang menurut al-Malikiyah i’tikaf dilaksanakan dalam waktu minimal satu malam satu hari.
Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misal dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).
Sementara itu, i’tikaf dilaksanakan di masjid. Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan i’tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i’tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak.
Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa i’tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).
Menurut Majelis Tarjih, masjid yang dapat dipakai untuk melaksanakan i’tikaf sangat diutamakan masjid jami (masjid yang biasa digunakan untuk melaksanakan salat Jum’at) , dan tidak mengapa i’tikaf dilaksanakan di masjid biasa.
Untuk sahnya i’tikaf diperlukan beberapa syarat, yaitu; 1) Orang yang melaksanakan i’tikaf beragama Islam; 2) Orang yang melaksanakan i’tikaf sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan; 3) I’tikaf dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa; 4) Orang yang akan melaksanakan i’tikaf hendaklah memiliki niat i’tikaf; 5) Orang yang beri’tikaf tidak disyaratkan puasa. Artinya orang yang tidak berpuasa boleh melakukan i’tikaf.
Selain itu, penting untuk diperhatikan bahwa para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di dalam masjid tidak keluar dari masjid.
Namun demikian bagi mu’takif (orang yang melaksanakan i’tikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan, yaitu; 1) karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan salat Jum’at; 2) karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya; 3) karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya. (muhammadiyah.or.id)