Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Muhammadiyah maupun umat dan bangsa saat ini bukan hanya berhadapan dengan ideologi dan paham keagamaan lain yang berbeda secara kontras seperti salafi, wahabi, jaringan liberal, dan orientasi gerakan lainnya dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Pada saat yang sama berhadapan pula dengan gerakan sosial masyarakat sipil yang beraliran radikal-kiri dari NGO’s (non-government organizations) yang di Indonesia disebut Lembaga Swadaya masyarakat atau LSM.
NGO-LSM sebagai organisasi sosial yang berada di ranah masyarakat sipil (civil society) sejatinya beragam atau heterogen dari yang moderat sampai garis keras atau radikal-ekstrem. Gerakan-gerakan sosial garis keras atau radikal-ekstrem itu sering dominan mempengaruhi dinamika kehidupan. Di antara yang paling kuat atau menonjol ialah NGO-LSM aliran kiri khususnya gerakan “kiri-baru” (new left) dengan ideologi, pendekatan, dan aksi-aksi gerakan yang keras dan kontradiksi. Aksi gerakannya selalu berhadapan atau menentang pemerintahan, karena ideologinya anti-negara dan anti kemapanan.
Muhammadiyah, umat beragama, dan bangsa Indonesia tidak lepas dari pengaruh ideologi dan gerakan NGO-LSM itu. Pengaruhnya telah lama dan masuk ke berbagai ranah kehidupan karena berinduk dengan gerakan civil-society, sehingga tidak terasa dan bahkan ada yang mengalami glorifikasi. Lebih-lebih dalam suatu masyarakat, umat, dan golongan yang cenderung oposisi dan kritis sehingga gerakan NGO-LSM tersebut sering beririsan dengan serta berubah menjadi gerakan-gerakan protes, termasuk dalam gerakan sosial-keagamaan yang beraliran keras.
Radikal Kiri
Pada umumnya NGO-LSM garis keras sering disebut radikal-kiri. Radikal kanan biasanya dilekatkan pada gerakan agama garis keras. Radikal kiri juga dikaitkan dengan gerakan anti-pemerintah, sedangkan gerakan kanan identik dengan pro-pemerintah. Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Gerakan yang menganut paham radikal (radical) ialah usaha bersama untuk mengubah status-quo (Collins Dictionary of Sociology, 1991). Radikal ialah taking things by the roots, yakni mengambil sesuatu hingga ke akarnya (Giddens, 1994).
Dalam kajian Giddens (1994), menjadi radikal berarti memiliki wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Beberapa kelompok radikal itu revolusioner. Boleh jadi karena ingin kembali ke akar (radix), maka sebagian kaum radikal menjadi “true believers” atau kelompok fanatik buta, dari sinilah benih radikalisme yang ekslusif, monolitik, dan intoleran bermula. Sikap kepala batu atau keras itu milik semua kaum radikal, termasuk radikal nasionalisme yang dikenal “ultra-nasionalis”, sebagaimana terjadi pada kaum “New-Left” atau “Kiri Baru”.
Sejarah paham dan pergerakan radikal dimulai di Eropa, khususnya Inggris, pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1797 gerakan “radikal” dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox dengan mendeklarasikan “reformasi radikal” dalam sistem pemilihan untuk reformasi parlemen. Sejak abad ke-19 pemikiran dan gerakan radikal bertumbuh menjadi liberalisasi politik untuk melakukan reformasi atau perubahan kehidupan politik yang progresif. Gerakan “Kiri Baru” di banyak negara sering diadopsi oleh gerakan-gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk di Indonesia.
Gerakan radikal dan radikalisme lebih banyak dijumpai dalam kelompok politik, sosial, dan keagamaan. Komunisme merupakan lanjutan paham Marxisme radikal, yang dalam sejarah dunia menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik dan diktatorial dalam pemerintahan. Gerakan proletarianisme yang mendewakan populisme juga menjadi bagian dari Marxisme-Komunisme. Di Indonesia banyak peristiwa kelam akibat gerakan Komunisme, sebagai ideologi berpaham proletar (kaum papa, wong cilik) melawan kaum borjuis (berpunya, penguasa) produk dari Marxisme garis keras.
Karenanya paham dan gerakan yang dipengaruhi oleh Marxisme radikal dalam gerakan NGO-LSM maupun gerakan sosial sejenis menampilkan pandangan dan aksi-aksi konfrontasi melawan pemerintah, oligarki ekonomi, oligarki politik, dan bahkan kelompok status-quo lainnya. Gerakan radikal-kiri bahkan sering berhadapan dengan gerakan keagamaan. Gerakan radikal-kiri memandang sumber lemahnya kaum miskin, marjinal, dan kelompok sosial yang secara stratifikasi sosial disebut proletar atau wong cilik adalah negara-pemerintah dan kekuatan-kekuatan oligarki. Mereka anti penguasa, orang kaya, dan kelompok mapan lainnya yang selalu dikonstruksikan negatif sebagai sumber masalah-masalah struktural.
Pengaruh di Indonesia
Gerakan LSM-NGO di Indonesia bertumbuh sejak awal Orde Baru pada kisaran tahun 1970-an. Pada saat itu pemerintah Indonesia di bawah Soeharto menerapkan kebijakan pembangunan yang berbasis pada developmentalisme. Developmentalisme merupakan ideologi pembangunan yang beraliran pada pembangunan ekonomi pertumbuhan mengikuti mazhab ekonomi klasik. Tahapan pembangunan dijalankan mengikuti teori W.W. Rostow tentang tahap lepas landas (take off) sampai tercapai tingkat konsumsi massal tinggi (high mass consumption) sebagai tanda bangsa yang maju atau sejahtera. Developmentalisme merupakan aliran teori ekonomi yang menyatakan bahwa pembangunan negara-negara Dunia Ketiga dapat diwujudkan dengan baik melalui pasar dalam negeri yang kuat dan beragam disertai tarif barang impor yang tinggi beraliran kapitalisme.
Pilihan Orde Baru menerapkan pembangunan ekonomi sebagai prioritas memang dapat dipahami karena pada era Orde Lama terutama ketika terjadi pergantian kekuasaan tahun 1965, kondisi perekonomian Indonesia morat-marit dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi sehingga membawa negara ini pada kebangkrutan secara ekonomi. Orde Baru menyasar pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan tinggi disertai kebijakan depolitisasi dan deideologisasi di bidang politik untuk stabilitas nasional yang memberi peluang bagi keberhasilan pembangunan. Rezim developmentalisme Orde Baru dirancang sistemik dengan menerapkan pembangunan jangka pendek dan menengah hingga jangka panjang melalui Repelita.
Indonesia berhasil keluar dari kemelut nasional dan kebangkrutan ekonomi, serta berjembang menjadi negara berpertumbuhan ekonomi tinggi. Indonesia kemudian menjadi negara Macan Asia dengan keberhasilan pembangunan ekonomi. Swasembada pangan dan pembangunan pertanian termasuk yang berhasil. Sarana prasarana nasional dibangun luas, termasuk rintisan jalan tol. Kesuksesan dalam pembangunan ekonomi menjadikan Soeharto berkuasa lama dan mentasbihkan diri atau dinobatkan sebagai Bapak Pembangunan.
Namun selalu ada masalah dalam pembangunan, lebih-lebih pada pembangunan fisik dan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan. Aspek pemerataan mulai diabaikan sehingga timbul kesenjangan sosial. Pembangunan fisik dan eksploitasi sumberdaya alam mengakibatkan kekayaan berlebih pada kelompok pengusaha yang saat itu menjelma menjadi konglomerasi yang bergandengan dengan istana. Lingkungan hidup, hutan, dan sumberdaya alam terkuras habis dan hanya dinikmati oleh segolongan kecil pihak. Dari kondisi yang bersifat saling kait antar aspek ekonomi, politik, dan lain-lain timbullah keresahan sosial dan kritik keras terhadap pemerintah yang menganut rezim developmentalisme.
Dalam konstelasi kehidupan nasional yang mengakibatkan kemiskinan, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, dan masalah-masalah struktural lainnya maka lahirlah gerakan-gerakan kritik dan perlawanan antara lain melalui NGO-LSM yang bermacam aliran. Termasuk LSM aliran radikal-kiri yang memiliki landasan ideologi Marxisme dan Neo-Marxisme. Berbagai LSM lahir di Indonesia hadir menggarap buruh, tani, nelayan, kelompok marjinal di perkotaan dan pedesaan. Gerakan lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan dan anak, advokasi hukum, dan gerakan-gerakan kritis lainnya hadir secara bersambungan. Di situlah era NGO-LSM berjaya dan menancapkan pengaruhnya di Indonesia.
Pandangan dan pendekatan NGO-LSM generasi awal bermacam-ragam dari moderat sampai radikal-ekstrem. NGO-LSM moderat meski kritis dimotori oleh Adi Sasono, Dawam Rahardjo, Habib Chirzin, dan lain-lain yang memadukan pandangan keislaman dengan pendekatan struktural yang tetap dalam koridor keindonesiaan sehingga tidak anti-negara. Gerakan ini wawasannya modern dan di belakang hari melahirkan orientasi ekonomi kerakyatan. Pada masa reformasi Adi Sasono bahkan masuk dalam struktur pemerintahan, menjadi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada Kabinet Reformasi Pembangunan era Presiden BJ Habibie. Adi dan Dawam masuk dalam jajaran elite Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang direstui dan berada dalam payung pemerintahan Orde Baru di ujung kekuasaan Soeharto yang mulai dekat dengan Islam.
Sementara LSM-NGO lain yang sampai saat ini juga memiliki pengaruh kuat ialah yang beraliran sosialis dan radikal-kiri yang sepenuhnya menganut pandangan dan paham Marxisme dan Neo-Marxisme. Kelompok ini anti struktur dan anti-rezim pemerintahan sebagaimana NGO-LSM Barat. Gerakan ini memandang persoalan dengan mengedepankan kritik anti rezim negara. Teori ketergantungan (dependency theory) dari Theotonio Dos Santos, Andre Gunder Frank, teori pendidikan pembebasan Paulo Freire, menjadi rujukan utama gerakan ini yang sepenuhnya berbasis Marxisme dan Neo-Marxisme. Pandangan utamanya melihat persoalan dalam pertentangan dan ketegangan struktural rakyat versus negara, negara Dunia Ketiga versus negara maju, kaum miskin lawan kaum kaya dan borjuis, serta melawan hegemoni ekonomi-politik-sosial yang diproduksi oleh negara-pemerintahan. Orientasi emansipasi, liberasi, hegemoni, kemiskinan struktural, dan kontradiksi menjadi bagian dalam isu dan pendekatan NGO-LSM beraliran kiri. Ranah gerakannya berada dalam sentrum masyarakat sipil atau civil society versus negara dan pemerintahan. Gerakan ini kritis dan anti dalam pengelolaan sumberdaya alam karena dianggap produk rezim yang eksploitatif bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan oligarki. Termasuk dalam pengelolaan minerba.
Di sinilah pentingnya sikap kritis terhadap ideologi, pemikiran, pendekatan, metode, dan aksi NGO-LSM yang radikal-kiri beraliran Marxisme dan Neo-Marxisme yang memiliki paradigma sendiri. Organisasi dan gerakan dakwah keagamaan dan kemasyarakatan seperti Muhammadiyah penting memahami karakter gerakan sosial seperti itu agar tidak terpengaruh dan mengikuti arus pemikiran, pendekatan, dan metode NGO-LSM garis kiri tersebut, termasuk dalam orientasi kebangsaan. Sebab, pada dasarnya gerakan NGO-LSM radikal-kiri itu berbeda secara kontras-diametral dengan gerakan-gerakan keislaman yang moderat dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup utama untuk menebar rahmatan lil-‘alamin. Apalagi Muhammadiyah yang memiliki Kepribadian khusus dengan paham Islam moderat-berkemajuan!
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2024
Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Pengaruh Ideologi Kiri LSM, https://suaramuhammadiyah.id/read/pengaruh-ideologi-kiri-lsm